Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 5

Kemampuan membaca dengan alat bantu tersebut tidak bertahan lama, demikian juga dengan kaca pembesar, penglihatanku semakin menurun, dengan terpaksa kembali aku minta bantuan teman terdekat untuk membacakan tulisan di papan tulis, walau ada beberapa teman menolak dengan alas an ,”Malas,ah!”

Terkadang aku semakin sering menangis dan menumpahkan semua kesedihan dan beban jeritan hatiku kepada Tuhan, aku tidak mau kalau hobiku menangis diketahui oleh orang lain terutama kedua orangtua ku. Hanya kepada Tuhan kutumpahkan semua kesedihan, beban dan jeritan hati yang kurasakan. Maka dari itu aku berusaha sebisa mungkin tidak menyalahkan, apalagi sampai marah kepadaNya. Jika hal tersebut kulakukan maka aku termasuk orang yang tidak tahu berterima kasih.

Aku selalu mengikuti kegiatan olahraga di sekolah, untuk kegiatan berenang aku sering mendapat nilai paling bagus di antara teman- teman dikarenakan aku sering mengikuti kursus berenang ketika SD dan berhasil menjadi murid renang terbaik, walau kakiku dan bibirku sering sakit akibat terbentur ujung kolam. Sebagai hasil dari murid renang terbaik, guru renang pun memintaku untuk latihan lebih lama dari murid – murid yang lain, karena dia sedang mempersiapkanku untuk lomba renang. Akan tetapi ada musibah yang menimpaku, sebelum perlombaan renang, aku menderita penyakit diare sehingga aku pun harus opname di rumah sakit. Ini adalah penyakit diareku yang kedua setelah dulu di SD aku juga pernah diopname di rumah sakit gara-gara diare dan mami pun mengomel akibat aku yang sering jajan sembarangan.

Ujian kenaikan kelas pun tiba. Inilah saat pengalaman paling menyedihkan yang kurasakan. Kondisi ini berbeda jauh ketika saat aku duduk di bangku SD, dulu waktu di SD aku masih bisa membaca dengan menggunakan kaca pembesar, tapi kini penglihatanku semakin memburuk, aku semakin kesulitan membaca atau menulis. Sering kali ditengah ujian aku merasakan tangan gemetar, dahi berkeringat dan punggung terasa pegal akibat selama satu setengah jam aku membungkuk untuk mendekatkan mataku pada lembar soal, aku semakin gelisah dengan beranjaknya satu per satu temanku dari bangku untuk mengumpulkan lembar jawaban dan meninggalkan kelas, sementara aku masih banyak soal yang belum aku kerjakan. Ingin rasanya aku menangis dan membuang lembar soal dari jendela kelas, namun itu hanya imajinasiku.

Jika aku lakukan maka dipastikan aku tidak pernah naek kelas dan dikeluarkan dari sekolah yang berakibat mengecewakan perjuangan Mami. Akhirnya dengan sisa tenaga aku berusaha memaksakan kembali menggunakan kaca pembesar untuk membaca soal – soal yang tampak semakin kabur hingga tiba waktu lonceng tanda waktu ujian telah usai berbunyi, aku pun dengan tergesa-gesa memilih jawaban dengan asal-asal. Akhirnya semua ujian kenaikan kelas telah kulalui dengan tertatih-tatih dan tinggal menunggu pembagian rapor. Pada saat pembagian rapor, mami yang menemui wali kelas dan wali kelas pun memberitahu bahwa aku naik kelas walau dengan nilai secukupnya, alhasil sekolah pun menerima aku sebagai muridnya yang sah setelah mengetahui perjuanganku.

Tak terasa kini aku sekarang telah duduk di kelas 2 SMP, aku pun mulai mengalami banyak hal yang romantis, aku mulai tertarik dengan lawan jenis. Sejenak ada rasa khawatir dengan yang kualami tapi Diam – diam aku mulai naksir berat dengan cowok seangkatan denganku tapi sayangnya berbeda kelas. Aku menyukai dia karena bukan wajahnya yang ganteng atau kulitnya yang bersih melainkan karena suaranya yang lembut dan tidak banyak bicara.

Menurutku dia pasti cowok yang baik. Bahkan sampe kedua orangtuaku pun tidak mengetahui mengenai hal ini. Sering sengaja aku melintas di depan kelasnya hanya untuk merasakan kehadirannya, walau tidak bisa memandang wajahnya, tapi hati ini bahagia dan senang membayangkannya berada di dekatku.

Suatu hari, rahasia hatiku terbongkar. Siang itu aku dan Anggi, teman dekatku sedang mengobrol melalui telepon. Kami saling sepakat untuk membuka rahasia hati masing – masing dengan memberitahu cowok yang kami taksir. Awalnya kami hanya menyebutkan kelas berapa cowok tersebut, ternyata kami secara serentak menyebut kelas yang sama. Setelah itu kami menebak nama cowok yang kami taksir, akhirnya Anggi menyebut suatu nama dan aku pun gugup dan bungkam. Mendengar aku gugup dan bungkam, akhirnya Anggi pun mengetahui bahwa aku juga menyukai Wibowo cowok yang ditaksir oleh Anggi juga.

Keesokan hari setelah pulang sekolah, aku bermain di rumah Anggi. Anggi pun menyarankan aku agar menelepon Wibowo, tetapi aku menolak karena aku tidak ada bahan pembicaraan sama sekali selain itu aku pun malu dan grogi. Akhirnya Anggi pun menelepon Wibowo dan memulai pembicaraan. Setelah beberapa saat, kudengar Anggi berkata,”Ini Wibowo mau ngbrol sama kamu!” lalu menyerahkan gagang telepon ke tanganku. Spontan tanganku gemetaran, jari-jari terasa dingin karena aku kebingungan memilih kata-kata.

“halo,” ucapku

“Halo,Rachel,” Suara diseberang telepon hampir membuatku pingsan karena bahagia dan gembira. Secara tiba-tiba jantungku berdetak lebih cepat. Inikah rasanya jatuh cinta? . Aku pun segera sibuk mencari dan merangkai kata dalam pikiran agar obrolan kita tidak sekedarnya.

“Besok kamu ke sekolah pergi sama siapa?” tanyaku datar

“Iya, mau dijemput?”

Wahh! Tawaran Wibowo membuatku seperti melayang bebas ke udara. Benar – benar diluar dugaan. Hatiku senang bukan kepalang. Jantungku seperti hendak melompat keluar. Sejenak aku tersenyum membayangkan berjalan berdua dengan Wibowo dan itu terasa menyenangkan sekaligus menakutkan. Bukan menakutkan sekali karena bakal jalan melalui kuburan ditengah malam. Akan tetapi menakutkan karena aku akan salah tingkah.

Tidak mungkin karena gugup secara tiba-tiba aku memegang tangannya atau agar terlihat sopan dan tidak mengejutkan sipemilik tangan, aku permisi dulu kepada Wibowo dan berkata,"boleh nggak aku pegang tangan kamu?"

Bagaimana jika nanti aku tersandung batu atau terpeleset tangga? Bagaimana juga jika Wibowo ingat bahwa cewek yang disebelahnya ini matanya setengah buta?

Hatiku kembali ciut. Aku tidak mungkin menerima tawaran Wibowo. Walau Wibowo akan menuntuanku, tapi aku tidak mau. Aku malu! Malu tapi mau! Aku tidak memberikan jawaban. Kami akhirnya mengbrol apa saja, bahkan tidak jarang kami sering diam dengan bahan obrolan yang tidak terlintas di pikiran. Hingga akhirnya “klik” pembicaraan pun selesai.

Setelah mengakhiri dan menutup telepon , aku pun di goda oleh Anggi teman dekatku.

Gejolak dihati belum reda dengan berakhirnya obrolan. Masih terdengar seperti petir ditengah badai. Aku mulai berpikir bahwa tawaran Wibowo tadi hanya main – main. Wibowo tidak bermaksud serius, tapi dalam hati aku benar- benar berharap bahwa tawaran itu sungguh-sungguh. Akhirnya keesokan harinya berlalu seperti biasa, orang yang selalu mengantarkanku ke sekolah adalah mami.

Bagaimanakah kelanjutan cerita antara aku dan Wibowo….nantikan di bab selanjutnya

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel