BAB 4
Setelah kelulusanku, Mami merencanakan untuk mendaftarkan aku di sekolah yang sama dengan kakak. Sejak awal pendaftaran, mami telah dihadapkan dengan berbagai rintangan dari pihak sekolah. “Maaf,Ibu kami tidak bisa menerima anak Ibu menjadi murid kami!” jawab Kepala Sekolah setelah mengetahui hambatan penglihatan yang kuderita.
“Tapi anak saya mampu lulus SD dengan nilai yang sangat bagus!” jawab mami tak kalah sengit sambil menunjukkan lembaran hasil ujian kelulusan.
“Ya, itu memang nilai yang bagus. Tapi sekolah kami tidak bisa menerima murid cacat. Mengapa Ibu tidak menyekolahkan anak Ibu ke SLBA saja?Disana anak Ibu akan mendapat perhatian yang khusus disediakan bagi anak-anak yang memiliki hambatan penglihatan.”
“Tidak!” tolak mami dengan tegas, “Saya yakin, anak saya mampu bersekolah di sekolah umum!”
Sesaat kemudian keduanya terdiam, sesekali terdengar Kepala Sekolah menarik nafas, berat dan berkali – kali. Mami melihat pimpinan sekolah itu berkali-kali menyeka keringat di dahinya yang sebesar jagung. Mungkin baru kali ini dia menghadapi seorang ibu yang memiliki tekad sekeras baja dan semangat pantang menyerah.
“Begini saja.” Kata mami memecah kesunyian, “Bagaimana jika Bapak member kesempatan kepada anak saya untuk mencoba selama setahun? Jika anak saya terbukti tidak mampu, maka bapak boleh mengeluarkannya.” Sejenak mami menarik nafas kemudian mami berkata “Tapi jika anak saya mampu mengikuti pelajaran disini. Maka Bapak harus menerima anak saya sebagai murid disini!”
Kepala sekolah tak langsung menjawab. Tampaknya dia berpikir keras. Baginya ini mungkin ujian terberat dalam hidupnya sebagai kepala sekolah. Ketika bertemu mami,Aku adalah ujian terberat yang harus dia jawab.
“Baiklah’, jawab kepala sekolah dengan berat bagaikan beban berpindah dari pundak mami ke pundaknya.
“hanya satu tahun! Anak Ibu akan menjadi murid percobaan di sekolah kami hanya setahun dan dia tidak akan mendapat perlakuan khusus dan akan mendapat perlakuan sama seperti anak lain. Untuk sementara dia tidak akan menerima rapor sampai dinyatakan berhasil naik kelas. Jika anak ibu menghambat kegiatan belajar murid lainnya, maka dengan terpaksa akan kami hentikan percobaan ini.”
Mami pun Nampak tersenyum bahagia mendengar hal ini, akan tetapi berita diterimanya aku sebagai murid percobaan tidak pernah disampaikan kepadaku. Pada awal masuk sekolah, seperti biasa mami menempatkanku di bangku paling depan, hal ini kadang menyebabkan kami berebut dengan murid – murid lain yang ingin duduk di bangku depan. Jika ada murid yang mendahuluinya, maka mami akan mengusir secara halus dengan berkata “Maaf, kamu pindah saja ya, karena anak saya ini tidak bisa melihat dengan jelas.”
Biasanya murid tersebut langsung beranjak dari bangkunya dan mencari tempat duduk lain. Aku sendiri tidak tahu bagaiman perasaan mereka. Apakah mereka bisa maklum atau mereka kesal karena harus menyerahkan tempat strategis dan mencari tempat duduk lain.
Aku beranjak remaja sejak bangku SMP. Walau jarak penglihatanku memburuk tapi aku masih mampu berjalan sendiri tanpa bantuan orang lain. Begitu juga dengan perasaanku yang semakin sensitive, aku sampai menyembunyikan kecacatanku demi mendapat perhatian lebih dari lawan jenis.
Aku biasa menggunakan sebelah mata untuk melihat. Bukan karena sebelah mata yang lain buta, akan tetapi jika menggunakan kedua mata akan terlihat warna hitam, maka jika sedang membaca aku tanpa sadar sering memiringkan kepala dengan menggunakan kaca pembesar hingga pada suatu hari ada seorang teman baru menanyakan hal ini kepada yang lain.
“Dia kenapa sih, kok baca buku kepalanya selalu dimiringkan seperti itu?”
Akibat sering menggunakan sebelah mata, mataku yang lain menjadi juling. Bukan nya tidak mau mengobati mataku, aku bahkan pernah sampai operasi untuk menjajarkan kembali posisi bola mataku, akan tetapi bola mataku selalu Nampak melenceng karena jika sedang melihat sesuatu atau seseorang aku selalu menggunakan sebelah mata. Aku pun pernah merasa sedih ketika aku hendak bertanya kepada seorang teman cowok, dia bukannya menjawab pertanyaanku, malah melihat kesamping kanan seolah-olah sedang mencari seseorang, ketika dia tidak menemukan siapapun baru dia menoleh lagi kepadaku dan menjawab pertanyaanku dengan nada agak bingung, mungkin dia bertanya “Anak ini sedang bertanya dengan siapa sih? Kok matanya tidak melihat aku, malah lebih melihat ke samping.”
Pernah kucoba untuk menutup mataku dengan telapak tangan saat sedang berbicara dengan seseorang. Ternyata caraku itu cukup berhasil karena orang yang ku ajak bicara tidak lagi melihat ke samping melainkan menatapku, akan tetapi cara tersebut tidak bisa kulakukan terus menerus karena di khawatirkan aku sedang mengejek atau tidak mempunyai sopan santun. Akibatnya aku jadi malas bertegur sapa dengan orang lain, terlebih lagi orang baru yang belum mengetahui keadaanku.
Terlebih dirumah terkadang ketika ada kunjungan tamu ada saudara, dengan cepat dan tanggap aku langsung masuk kamar dan mengurung diri. Walau hanya sebentar keheningan dan kedamaian yang kurasa di dalam kamar karena biasa mami selalu berteriak memanggilku agar menemui tamu-tamunya, terpaksa dengan langkah gontai, aku keluar kamar dan menemui mereka, walau tanpa obrolan panjang, apalagi canda dan tawa hanya obrolan sekedarnya. Sepulang sekolah pun aku sering menangis dikamar, dengan menangis sepuasnya, aku menumpahkan semua kesedihanku yang terasa memadati dan menyesakkan dada.
“Kenapa Tuhan tega memberikanku mata seperti ini? Kenapa harus aku yang menderita, kenapa tidak orang lain saja?” jeritku frustrasi. Tangisku tak berhenti hingga mataku terasa kering dan lelah. Aku sering membayangkan tentang masa depanku. “Apakah aku harus selamanya bergantung pada orangtuaku? Tidak bisa hidup mandiri? Bagaimana caranya agar aku bisa bekerja dan mencari uang? Apakah aku bisa menikah dengan keadaanku yang cacat ini?”
Semakin lama memikirkannya, hatiku terasa semakin diperas, perih,sakit dan menyebalkan! Membuatku menjadi takut menatap masa depan. Setelah isakan terakhir, aku puas karena telah mengeluarkan semua beban yang disertai air mata dan aku kembali berusaha menguatkan hati, berusaha bersikap kuat menjalani hari –hari. Suatu hari mami mendapat berita dari temannya tentang tempat yang menjual alat bantu untuk tuna netra, tidak lama mami pun bergegas membawaku mengunjungi tempat tersebut. Memang banyak sekali alat bantu yang terdapat disana, sehingga perhatianku teralihkan pada kacamata yang dirancang khusus untuk anak-anak dengan yang kualami.
Kacamata itu memiliki dua teropong di masing – masing lensa. Kacamata itu membantuku melihat dari jarak tertentu dan di dalamnya diberi kaca pembesar, sehingga aku dapat melihat lebih jelas. Mami sampai membelikan beberapa alat-alat bantu karena mereka bagaikan teman-teman yang siap kapan saja membantuku.
Langsung saja kugunakan kacamata teropong itu untuk membaca di papan tulis, sehingga aku tidak perlu bolak-balik dari meja ke papan tulis, akan tetapi kacamata itu sungguh berat dan besar akibatnya mataku jadi cepat lelah dan mukaku menjadi seperti tembok. Aku pun merasa malu dan minder terutama di depan cowok incaranku.
Apakah cowok incaranku masih tetap mau berkawan denganku?...Sambung di bab berikutnya….
