

BAB 3
Aku juga pernah mengikuti kakak naik ke genting rumah menggunakan tangga kayu yang telah dipasang oleh kakak. Tapi ketika aku sedang seru saling mengejek dengan anak tetangga yang bermain disebelah rumah. Tiba – tiba kudengar Mami berteriak dari bawah, “Turun! Dasar anak nakal! Emangnya kamu pikir kelakuanmu itu bagus, hah?! Kamu nih anak cewek, nggak pantas bertingkah kayak gt!”
Aku terkejut bukan kepalang. Dengan perasaan takut dan ngeri karena mendengar omelan Mami bagaikan serentetan peluru, Aku pun bergegas mencari ujung anak tangga dan menuruninya. Kudengar anak – anak tetangga sedang mentertawaiku habis – habisan sambil berteriak “Syukurin….syukurin!”
Ketika dikelas, jika teman – teman disuruh membaca bergiliran oleh guru, maka aku pun harus ikut membaca seperti mereka, akan tetapi aku menjadi bahan tertawaan teman – teman karena aku dalam membaca sangat lambat dan sering melakukan kesalahan. Hal ini membuat aku menjadi grogi hingga tanganku gemetaran dan mengeluarkan keringat dingin. Bagiku membaca adalah kegiatan yang menakutkan sekaligus melelahkan. Selain membaca, kegiatanku yang membuat aku lelah dalam kelas yaitu berlari ke papan tulis dan kembali ke bangku.
Aku sering sekali meminta pertolongan pada teman sebangku agar dia mau membacakan tulisan di papan tulis akan tetapi selalu saja bantuan itu tidak gratis, ada saja yang dia minta dariku. “ Aku mau bacain kamu, asal penggaris ini buat aku ya?” Begitu kira- kira cara temanku mengajukan penawaran. Awalnya aku tidak merasa keberatan memberika penggaris, karena menurutku pasti Papi atau Mami akan membelikan penggaris baru buatku. Namun lama kelamaan hal tersebut membuat aku menjadi kesal karena setiap kuminta bantuan, aku harus merelakan salah satu alat tulisku berpindah ke tempat pensilnya. Dari penggaris, penghapus, sampai permen atau adanya permintaan seperti membelikan sesuatu di kantin sekolah.
Hingga suatu hari, Mami bertanya kepadaku “Kenapa sih kamu sering minta dibelikan alat tulis dan penggaris baru? Memangnya alat tulis kamu kemana?”. Aku pun menceritakan semuanya kepada mami mengenai sikap temanku itu. Dan mami langsung naik pitam. Keesokan harinya, saat pulang sekolah, mami sudah menunggu didepan kelas. Ketika melihat teman sebangkuku keluar kelas, Mami langsung menghampiri temanku dan memegang bahunya dari belakang. Temanku terkejut saat melihat wajah Mami yang cemberut.
“Kamu jangan suka ambil barang Rachel lagi!” tegur mami perlahan tapi terdengar galak.
Temanku langsung melarikan diri dari hadapan mami. Sejak saat itu temanku tidak berani meminta sesuatu dariku tapi untungnya bantuan terus mengalir dan dia bersedia membacakan tulisan di papan tulis. Mungkin dia takut sama Mami atau mungkin sebenarnya dia baik walau dia membiarkanku mondar mandir dari meja ke papan tulis.
Tak terasa waktu pun berjalan hingga aku duduk di Kelas 6 SD dan saatnya akan mengikuti ujian kelulusan. Tiada angin badai ataupun hujan secara tiba – tiba kepala sekolah membatalkan keikutsertaanku dalam ujian kelulusan dengan alasan yang sungguh konyol. Kepala sekolah mengatakan bahwa jika aku gagal dalam ujian kelulusan maka akan berperngaruh dalam peringkat sekolah diantara sekolah lain. Tentunya mami tidak bisa menerima dan tidak akan menyerah begitu saja,
Dengan semangat pantang menyerah dan gagah berani Mami mendatangi kepala sekolah dan meminta supaya aku dapat di izinkan mengikuti ujian kelulusan. Beberapa kali mami berserta temannya mondar-mandir ke ruangan kepala sekolah untuk membelaku . Pada suatu hari, mami menjemputku ditempat les dengan wajah yang sangat pucat. Mami lalu bercerita kepada ku dan guru lesku bahwa tadi mami hamper saja mengalami kecelakaan di jalan. Mendengar hal tersebut, guru les menasehatiku, “lihat! Mami kamu hampir kecelakaan karena pusing mikirin kamu. Makanya kamu harus lebih rajin belajar agar bisa lulus ujian!”
Sepulangnya ke rumah, ketika aku sedang asyik bermain, tiba – tiba mami memanggilku dari kamarnya. Akupun berlari menuju kamarnya.
“Iya, Mam. Ada Apa?” tanyaku sesampainya di depan pintu kamar
“Ke sini!” Mami menyuruhku mendekat
Aku menghampiri mami yang sedang duduk di tepi ranjang.
“Ayo kita berdoa bareng!” kata Mami. Suara mami pelan tapi seperti orang yang sedang capek. Aku pun masih duduk di tepi tempat tidur, Aku masih bingung dengan ajakan mami. Tak biasanya Mami mengajakku berdoa bareng, apalagi di waktu sore. Kututup mata dan hanya diam mendengarkan. Ternyata Mami pun memulai doanya dengan memohon kepada Tuhan agar aku diizinkan mengikuti ujian kelulusan. Aku mendengar mami berdoa sambil menangis. Hatiku sedih mendengar permintaanya dan menyaksikan air mata seorang ibu untuk anak sepertiku. Aku pun bertekad dalam hati bahwa aku akan rajin belajar demi lulus ujian kelulusan ini. Sampai guru lesku memberikan banyak nasehat dan semangat buatku
Bahkan guru lesku pun berjanji jika aku lulus dengan rata – rata enam saja maka dia akan memberikanku tiga pulpen.
“Bagaimana kalau nilai rata – rataku Tujuh?” tanyaku kepada guru les ketika dia mengajukan tawaran itu.
“Berarti ibu akan memberikan kamu pulpen dua kali lipat.”
“enam pulpen?” tanyaku lagi memastikan
“Iya!”
“Setuju” jawabku bersemangat, mengacungkan dua jempol kearahnya.
Akhirnya, setelah pihak sekolah mengadakan rapat dengan dihadiri oleh seluruh guru, aku mendapat dukungan terbanyak dari guru – guru dan akhirnya aku diizinkan mengikuti ujian kelulusan tersebut. Saat ujian berlangsung, aku tetap menggunakan kaca pembesar sebagai alat bantu membaca. Daya bacaku masih lambat, tapi aneh aku bisa menyelesaikan semua soal sebelum batas waktu terakhir, Bahkan aku masih ada kesempatan untuk memeriksa kembali semua jawaban aku. Seringkali guru pengawas dari sekolah lain yang saat itu bertugas mengawas jalannya ujian berdiri lama di samping mejaku untuk memperhatikan cara membacaku yang dibantu kaca pembesar. Sebenarnya hal itu mengganggu konsentrasi. Aku berdoa dalam hati agar mereka cepat berlalu dari sampingku. Mungkin mereka baru melihat murid langka sepertiku atau jangan – jangan mereka penasaran ingin mencoba membaca dengan kaca pembesar? Entahlah! Yang pasti aku sebal sekali jika orang memperhatikanku seolah –olah aku makhluk langka.
Sewaktu hasil ujian diumumkan, aku sangat terkejut dengan nilai yang aku peroleh. Ternyata Tuhan tidak menjawab doaku! Aku hanya minta agar nilai rata- rataku 6, tapi Tuhan malah memberikanku nilai rata-rata 8, selisih dua poin dengan nilai tertinggi di kelasku
Begitu senangnya aku sampai lupa dengan janji guru les yang akan memberikan tiga pulpen jika aku berhasil mendapat nilai rata-rata 6 dan berlaku kelipatannya, seharusnya aku mendapatkan 9 pulpen. Tapi baik guru les maupun diriku sendiri tidak lagi memperdulikan pulpen tersebut karena senang sekali.
walau dengan kondisi seperti ini, aku selalu bersyukur bahwa aku masih memiliki kedua orang tua, mampu melewati SD dengan baik.
apakah ada keseruan dalam bab berikutnya……mari kita sambung bab berikutnya
