BAB 2
“Memang mataku kenapa sih,mam?” tanyaku polos
Mami tetap diam tidak menjawab pertanyaanku.
Tak selang beberapa lama, mami akhirnya menjawab pertanyaanku.
“Oh,Kamu mengidap penyakit kelainan mata.”
“Kelainan mata itu apa, mam?” Tanyaku polos
“Yah, mata kamu lain dari anak-anal biasanya. Kamu tidak bisa melihat dengan jelas.” Jawab mami
Kembali pikiranku bekerja dengan maksimal untuk mencari sebuah jawaban akan tetapi masih saja aku tidak mengerti. Sejak saat itu, dalam pikiran dan benak sudah terpatri bahwa aku ini menderita kelainan mata. Aku merasa sedih namun tidak seperti yang mami rasakan. Setelah hari itu, aku lebih sering mendengar suara tangisan mami di kamar.
“Tidak! Aku tidak setuju anakku sekolah di SLBA!” tolak papi secara tegas. Papi secara tegas dan jelas menolak aku dimasukkan ke sekolah SLBA setelah mendengar penuturan mami mengenai saran dokter. Tidak hanya mami, papi pun tidak bisa menerima keputusan dokter yang mengatakan bahwa mataku akan menjadi buta. Bagi papi, hal tersebut merupakan sebuah pukulan telak sehingga sering terdengar pertanyaan “Dosa apa yang telah aku perbuat hingga anakku yang harus menanggungnya?” Mami selalu mencoba menghibur Papi agar tidak terus menerus menyalahkan diri sendiri. Walau hati mami terasa sedih dan hancur lebur, mami berusaha menekan perasaan sedihnya dan meyakinkan papi bahwa aku akan tetap bersekolah di sekolah umum seperti biasanya.
Setiap pagi mami selalu mengantarkanku ke sekolah. Teman – temanku banyak. Kami sekelas berjumlah sekitar 30 orang. Lebih banyak dari jumlah temanku sewaktu di taman kanak-kanak dulu. Untungnya beberapa dari kawan – kawan telah kukenal karena merupakan teman sekelasku waktu di TK
Ketika hari pertama sekolah, Mami meminta ke pada Ibu guru untuk menenmpatkanku di deretan bangku paling depan. Walau posisiku termasuk paling strategis, saat melihat tulisan yang ada di papan tulis, aku pun harus berlari kedepan untuk mendekatinya, lalu duduk kembali untuk menuliskan ke buku catatan. Begitu sering yang kulakukan sampai semua tulisan di papan tulis selesai kucatat.
Mami sering menemukanku menangis ketika menjemputku pulang sekolah dikarenakan aku tidak bisa menyelesaikan catatan sementara kawan-kawan yang lain sudah pulang. Tak heran aku menjadi lambat membaca karena aku memerlukan kaca pembesar untuk membaca tulisan di buku pelajaran.
Guru-guru pun tidak memedulikanku. Mereka pernah berkata kepada Mami bahwa mereka tidak berpengalaman dalam mendidik dan mengajar murid tuna netra sepertiku. Mereka pun menolak akan tetapi mami tetap pada pendiriannya dan ngotot serta memaksa menemui kepala sekolah agar dapat menerimaku sebagai peserta didik. AKhirnya mereka mengizinkanku belajar bersama murid lain dengan persyaratan tidak ada perlakuan khusus bagiku.
Berbagai hambatan dan rintangan harus kulalui, baik dengan teman-teman atau dengan system pembelajaran. Teman – teman sering mengejekku karena tingkah laku aneh dan kurang kelincahanku dalam bermain bersama mereka. Terlebih lagi system pembelajaran yang tidak mendukung bagi anak tunanetra bagiku. Membuatku harus menyesuaikan diri dengan para guru agar tidak ketinggalan pelajaran, terlebih lagi nilai – nilaiku menjadi sangat buruk karena setiap ujian aku tidak bisa menyelesaikan tepat waktu. Hal ini disebabkan karena kelambatan aku dalam membaca sementara waktu yang disediakan tidak cukup. Meski langkah tertatih-tatih melewati ini semua namun aku bersyukur aku tidak pernah tinggal kelas.
Mami selalu mendukung dan tidak pernah membiarkan aku menyerah dalam keadaan apapun. Dengan sekuat tenaga mami selalu membantuku. Kadang pulang sekolah Mami selalu meminjam catatan teman – teman untuk di catat kembali olehku dengan membacakannya perlahan.
Mami merupakan guru yang cukup galak. Aku sering dimarahi jika tidak bisa menjawab soal yang di tanyakan berulang olehnya. Akan tetapi berkat usahanya, aku berhasil mendapat nilai tertinggi di kelas untuk mata pelajaran IPS sehingga guru yang bersangkutan memujiku di depan kelas.
Mami atau papi tidak menganggap berbeda aku dan Kakak.
Pernah suatu saat, aku dan kakak menolak minum susu murni yang di sediakan dan di letakkan mama di atas meja. Terus terang aku agak mual mencium baunya yang agak amis dan merasakan lemak susu yang mengambang dipermukaan
“Ayo diminum susunya!” Perintah mami tegas sambil memperhatikan kedua anaknya yang hanya duduk diam tanpa menyentuh gelas tersebut
“Cepat diminum, bukannya dilihat terus!”
“Minumnya nanti aja, ah!” Kata kakak sambil bangkit dari kursi
Aku pun buru-buru bangkit hendak menyusul kakak, Namun sebelum melangkah terdengar suara menggelegar berteriak, “Minum sekarang!” Jangan banyak alasan!” . Buru – buru aku duduk kembali akan tetapi tindakanku tidak diikuti oleh kakak yang malah berpindah ke sofa. Mami langsung masuk kekamar dan tiba – tiba , dia sudah keluar membawa senjata yaitu kemoceng kecil. “MInum, nggak” ancam mami sambil mengangkat kemoceng
Karena pernah merasakan sabetan komoceng , akhirnya dengan perasaan enggan, aku buru- buru meminum. Sedikit demi sedikit susu tersebut masuk kedalam mulutku dan bau yang amis sangat menyengat hidung. Dengan susah payah aku berusaha menahan untuk tidak muntah, akan tetapi lemak susu sampai ke lidahm perut pun tak mau kerjasama, Alhasil semua susu yang telah kuminum kembali tertuang di gelas, membasahi meja dan kemejaku.
Melihat hal tersebut, kemarahan Mami langsung meledak. Dia berjalan mendekatiku dengan kemocengnya. Buru – buru aku berlari menghindar . Lariku mengarah ke kakak yang duduk di sofa, mami terus mengejarku. Aku terus berlari kencang memutari meja, dan kelihatannya kakak pun sadar bahaya yang mengancamnya jika terus duduk di sofa, karena langkah mami terus mendekatinya. Akhirnya kakak kabur mengikutiku memutari meja. Tapi sungguh sial, kakiku malah tersandung mengakibatkanku terjatuh dan dalam hitungan detik , pantatku merasakan sabetan kemoceng yang bertubi-tubi memukul. Aku menangis meraung –raung sambil meminta maaf , dan pada akhirnya sabetan kemoceng mami pun berhenti.
Aku masih menangis tapi kakak malah menghilang bersembunyi entah dimana. Setelah itu mami mengangkatku dan mendudukkanku di sofa sambil mengomel “Makanya jadi anak harus nurut! Disuruh minum susu aja susah, apalagi disuruh kerja!” Mungkin kakak bisa selamat karena kemarahan mami dilampiaskan kepadaku. Kakak hanya mendapatkan serentetan omelan dan dipaksa menghabiskan susunya setelah ditemuka bersembunyi di bawah kolong ranjang.
Saat bermain dengan Mami dan Papi, tidak pernah skalipun dibahas atau disinggung mengenai kelainan mataku ini. Mungkin mereka juga takut dan kuatir bahwa aku menjadi sedih. Mereka mengganggapku normal, namun dalam hatiku merasa sangat sedih dan malu dengan keadaan mataku yang berbeda ini.
Aku sering mencoba menutupi kecacatanku dengan menyembunyikan setiap kesulitan yang kuhadapi. Aku tidak mau diperlakukan berbeda dengan teman – teman sehingga aku berusaha dengan sekuat tenaga agar sama dengan kondisi mereka.
Dirumah pun, aku selalu bermain seperti anak yang lain. Pada suatu hari aku bermain sepeda di halaman rumah dan tidak sengaja menabrak pagar tetangga akibat dari penyakit yang aku alami ini. Aku juga pernah mengikuti kakak naik ke genting rumah menggunakan tangga kayu yang telah dipasang oleh kakak. Tapi ketika aku sedang seru saling mengejek dengan anak tetangga yang bermain disebelah rumah. Tiba – tiba kudengar Mami berteriak dari bawah.
Kira – kira apakah teriakan mami dan apa penyebab sehingga mami berteriak…kita sambung bab berikutnya ya
