Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

chapter 5

Setelah melakukan ini, Rangga juga kembali bergegas menuju ke arah toko minimarket sesuai ingatannya.

Rangga tidak membuang waktu. Ia mengangkat tangannya perlahan, dan cahaya hijau penuh dengan vitalitas mekar di tangannya.

Akar-akar pohon di sekitar bangunan bergerak, menggeliat seperti makhluk hidup. Dalam hitungan detik, mereka menghantam dinding toko yang rapuh, menghancurkannya seperti kardus lapuk.

Batu bata runtuh, kaca pecah, dan debu beterbangan saat celah terbuka cukup lebar untuk dilewati.

Rangga melangkah masuk.

Udara di dalam lembap dan bau apek, namun ia merasa sedikit lega.

Meskipun luar toko tampak seperti kuburan, di dalamnya masih ada kehidupan—atau setidaknya, sisa-sisanya.

Rak-rak masih berdiri, meski miring. Beberapa produk terjatuh dan mengotori lantai, tetapi sebagian besar masih utuh.

Tanpa membuang waktu, Rangga mulai bergerak cepat, tangannya meraih barang-barang yang sekiranya bisa digunakan: makanan kaleng, air botol, baterai, bahkan pakaian dalam kemasan plastik.

Dengan sekali sentuh, semua barang itu menghilang, masuk ke dalam penyimpanan sistem miliknya.

Kemarin malam, saat ia menjelajahi antarmuka sistem, ia menemukan fitur praktis: Inventory Penyimpanan.

Ruang dimensi di mana makanan dan barang-barang dapat disimpan, bahkan tanpa khawatir basi atau rusak.

Penemuan itu seperti hadiah dari langit. Kini ia tahu, bertahan hidup akan sedikit lebih mudah.

Selama lebih dari dua jam, Rangga menjarah toko itu sampai tak tersisa.

Tak peduli seberapa remeh barangnya, semuanya disapu bersih.

Karena tak ada lagi yang tersisa, Rangga pun berbalik tanpa ragu, meninggalkan bangunan yang sudah hancur sebagian itu.

Langkahnya ringan, tapi cepat dan penuh tujuan. Ia melompat ke atas akar pohon besar yang melintasi jalanan, lalu bergerak gesit di antara reruntuhan dan pepohonan liar.

Matanya tajam menatap arah selanjutnya—sebuah toko serba ada yang dulu sering ia kunjungi.

Saat Rangga sampai di toko selanjutnya, ia menemukan sudah ada beberapa orang yang tengah berusaha membobol toko itu.

Melihat ini, Rangga menyimpulkan bahwa mereka adalah penyintas di area sekitar ini.

Orang-orang ini biasanya adalah orang pintar yang tahu bahwa situasi saat ini cukup buruk.

Berbeda dengan orang lainnya yang hanya bisa tinggal di rumah dalam ketakutan, berharap bantuan.

Orang-orang ini tahu, atau menebak, bahwa situasi ini sangat buruk dan bahwa makanan serta minuman adalah hal terpenting.

Rangga tak tahu bagaimana mereka bisa sampai di sini tanpa diserang oleh monster mutant.

Dan ia tak terlalu peduli tentang hal itu.

Ia sebenarnya bisa saja membunuh semua orang di sini dengan kekuatan supernya, lalu menguasai toko itu sendirian.

Namun Rangga tidak melakukannya, karena ia masih memiliki sedikit prinsip moral.

Dia mungkin bukan orang baik, namun ia juga bukan orang jahat.

Semua orang berhak untuk bertahan hidup. Rangga tak perlu menghalangi mereka.

Saat Rangga mendekat, suara gemerisik dari langkahnya membuat beberapa penyintas itu menoleh.

Ada lima orang di sana: dua pria dewasa, satu wanita muda, dan dua remaja.

Mereka semua membawa tas punggung dan alat sederhana seperti linggis dan obeng besar untuk membobol pintu toko.

Mereka sempat terdiam, menatap Rangga dengan waspada.

Namun tak ada yang mengangkat senjata atau mengeluarkan suara permusuhan.

Rangga hanya berdiri di sisi jalan, menatap mereka dalam diam. Ia tak merasa terancam.

Tidak dengan kekuatan supernya sekarang.

Salah satu pria dewasa—berjaket denim robek dan rambut klimis yang mulai kotor—mengangguk pelan ke arahnya.

Sebuah sapaan tanpa kata, hanya sebagai tanda bahwa mereka sadar akan keberadaannya, tapi tak berniat cari masalah.

Rangga melihatnya dan mengangguk pelan, tanda ia mengerti.

"Setidaknya mereka cukup waras untuk tidak menggangguku," batinnya.

Setelah beberapa saat, kelompok orang itu akhirnya berhasil membobol pintu masuk toko.

Mereka bersorak kecil, penuh semangat, lalu bersiap masuk untuk mengambil barang-barang yang tersisa.

Salah satu dari mereka berseru pelan, "Berhasil! Cepat, ambil semua yang bisa kalian bawa!"

Namun, sebelum kaki mereka benar-benar melangkah ke dalam, sesuatu yang tak terduga terjadi.

Sebuah bayangan hitam melesat turun dari atap dengan kecepatan luar biasa, menerjang salah satu pria dari arah samping.

"AARRGH!!"

Pria itu menjerit kencang, tubuhnya terhempas ke belakang.

Dengan panik, ia mencoba mendorong makhluk itu menjauh, tangannya menekan keras kepala hitam pekat yang menggigit lehernya tanpa ampun.

"T-Tolong! Lepaskan!! A-ARGH!!"

Namun makhluk itu tak bergeming.

Gigi-giginya yang runcing mencengkeram kuat, dan kuku-kukunya mencakar seperti pisau.

Saat orang-orang mundur dengan wajah pucat dan mata membelalak, mereka akhirnya melihat jelas wujud si penyerang.

Seekor kucing hitam—namun bukan kucing biasa.

Tubuhnya cukup besar, bulunya berdiri liar, dan matanya bersinar merah dengan niat membunuh.

Suaranya menggeram pelan, tetapi menusuk tulang.

Lalu terdengar bunyi mengerikan—"KRAK!"

Leher pria itu patah. Matanya memutih dan diikuti oleh helaan napas terakhir yang pelan… dan sunyi.

MATI.

Ini pertama kalinya orang-orang itu melihat orang mati di depan mata mereka—dan cukup brutal.

Kucing itu lalu melepaskan leher pria yang sudah dibunuh, lalu menoleh, menatap orang lainnya sambil menyeringai kejam.

Namun seseorang mengambil tindakan.

Itu adalah pria dewasa dengan jaket yang tadi menyapa Rangga. Ia membawa batang besi lalu tanpa ragu mengayunkannya ke arah kucing hitam itu.

Serangan pria berjaket itu cukup cepat, namun reaksi kucing—termasuk yang terbaik di dunia—dengan mudah menghindari serangannya.

Pada saat itu pula, kucing itu berbalik. Ia menyerang seorang wanita di dekatnya. Namun sebelum sempat menyerang—

Tiba-tiba, sebuah rumput hijau muncul dari balik tanah, mencengkeram kakinya.

Menyebabkan kucing hitam yang sudah bersiap menyerang pria berjaket itu terjatuh.

Dengan panik ia mencoba melepaskan diri dari rumput itu, namun usahanya sia-sia.

Rumput itu mencengkeram kakinya seperti rantai besi—sangat erat.

Rangga lalu berjalan santai ke arah kucing mutant itu. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia langsung menusukkan pisau dapurnya ke leher kucing hitam itu.

Darah menyembur, membasahi tangan Rangga. Tapi ekspresinya tetap datar.

Wanita muda itu menatap Rangga dengan wajah pucat.

"T-Terima kasih..." gumamnya nyaris tak terdengar.

Dengan darah yang sedikit menodai tangannya, Rangga berjalan masuk ke toko itu seakan tak peduli.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel