Pesan Misterius dan Kecurigaan Alya
Setelah rapat, Alya duduk di bangku taman sekolah sambil menatap layar ponselnya yang menampilkan pesan misterius itu.
“Jangan terlalu percaya pada Reno. Dia gak seperti yang kamu pikir.”
Hatinya langsung berdebar. Siapa yang mengirim pesan itu? Teman iseng? Atau benar-benar ada yang tahu sesuatu soal Reno?
Pikirannya berputar.
Besoknya di sekolah, Alya sengaja mengamati Reno dari jauh. Cowok itu tampak santai, seperti biasa, bercanda dengan teman-temannya dan membantu beberapa siswa yang kesulitan tugas. Tidak ada yang mencurigakan.
Namun, saat rapat persiapan pensi, Alya memperhatikan sesuatu yang aneh.
Saat membahas anggaran, Reno tiba-tiba membela diri dengan sangat tegas. Dia bilang punya koneksi dengan beberapa sponsor lokal yang bisa membantu pendanaan, tapi enggan menjelaskan detailnya.
“Kalau kamu benar, kenapa enggak bilang dari awal?” tanya Alya, mencoba mencari tahu.
Reno tersenyum samar. “Sabar, Kak. Tunggu aja buktinya.”
Tapi suara-suara mulai muncul dari anggota OSIS lain. Beberapa merasa Reno terlalu cepat mengambil keputusan tanpa konsultasi. Ada yang mulai mempertanyakan motif Reno.
Alya makin bingung. Dia ingin percaya Reno, tapi pesan misterius itu terus menghantuinya.
Suatu sore, saat pulang sekolah, Alya bertemu dengan Sari yang terlihat panik.
“Kak, aku baru denger dari teman sekelas, katanya ada yang liat Reno ketemu seseorang di tempat yang gak biasa,” kata Sari berbisik.
“Apa maksudmu?” tanya Alya.
“Katanya, di belakang sekolah, di gudang lama. Mereka kayak ngomongin sesuatu yang rahasia banget,” jelas Sari.
Alya memutuskan untuk menyelidiki sendiri malam nanti.
Dengan perasaan campur aduk antara penasaran dan khawatir, dia berencana menemui Reno dan mencari tahu kebenaran di balik sosok cowok yang tiba-tiba masuk ke ruang OSIS dan membawa angin segar sekaligus misteri.
Malam itu, Alya berjalan pelan menuju gudang tua di belakang sekolah. Hatinya berdetak kencang, campuran antara takut dan penasaran. Dia tahu ini berisiko, tapi rasa ingin tahunya lebih kuat.
Saat mendekat, terdengar suara-suara berbisik dan tawa pelan. Lampu remang-remang dari beberapa ponsel menerangi wajah-wajah anak-anak sekolah yang selama ini Alya kenal, tapi dalam situasi berbeda—lebih serius, lebih misterius.
Di tengah lingkaran itu, berdiri Reno. Tapi kali ini, dia bukan cowok santai yang suka bercanda. Matanya tajam, penuh wibawa, dan saat dia berbicara, semua orang mendengarkan dengan seksama.
“Ada yang bilang kita cuma geng biasa? Salah besar,” suara Reno bergetar penuh keyakinan. “Kita ini yang menggerakkan roda sekolah ini. Dana pensi, ekskul, sampai aturan yang guru buat—semua bisa kita pengaruhi.”
Alya terpaku. Selama ini, dia mengira Reno hanya anak aneh yang nyasar ke ruang OSIS. Tapi ternyata, dia adalah pusat kekuatan yang selama ini tersembunyi.
Seorang anak laki-laki berdiri dan berkata, “Reno, kita harus hati-hati dengan OSIS yang mulai curiga. Alya mulai mengendus sesuatu.”
Reno tersenyum sinis. “Biarkan saja. Dia butuh belajar, bahwa kekuasaan itu bukan soal siapa yang paling keras, tapi siapa yang paling pintar bermain di balik layar.”
Alya merasa dadanya sesak. Dia sadar bahwa pesan misterius yang dia terima bukan hanya peringatan, tapi juga undangan untuk memilih pihak.
Keesokan harinya di sekolah,
Alya duduk di ruang OSIS, wajahnya terlihat lelah. Sari duduk di sampingnya, cemas.
“Kamu harus cerita, Ly. Aku yakin kamu tahu sesuatu,” kata Sari pelan.
Alya mengangguk. “Aku tahu siapa Reno sebenarnya. Dia ketua geng rahasia yang ngatur banyak hal di sekolah.”
Sari ternganga. “Serius? Geng rahasia? Itu yang katanya berpengaruh dan bikin onar?”
Alya menatap jauh. “Ya. Dan sekarang aku harus putusin, mau lawan dia, atau... ikut strategi dia supaya pensi sukses.”
Di luar, Reno tersenyum. Dia tahu Alya sudah mulai mengerti. Pertarungan sesungguhnya baru akan dimulai.
Hari-hari setelah pengungkapan itu terasa seperti badai yang melanda sekolah.
Alya terus dipenuhi pertanyaan dan keraguan.
Di satu sisi, Reno menawarkan jalan mudah: menggunakan pengaruh gengnya untuk mengamankan dana pensi dan memastikan acara berjalan megah.
Di sisi lain, Alya tahu kalau ikut jalan itu berarti harus mengorbankan prinsip dan kepercayaan teman-teman OSIS yang mengandalkan kerja keras dan keterbukaan.
Suatu sore, Alya duduk di ruang OSIS, dikelilingi anggota lain yang mulai memperhatikan perubahan sikapnya.
“Tolong, Alya,” kata Rina dengan suara pelan tapi tegas. “Kita harus bersatu. Jangan biarkan geng itu menguasai semuanya.”
Sari menambahkan, “Aku tahu kamu kuat. Jangan biarkan teman-temanmu terpecah.”
Alya menghela napas. Dalam hatinya, ia masih teringat pesan misterius itu.
Malam harinya, Alya menghubungi Reno via chat.
“Kita perlu bicara, secara jujur.”
Reno membalas cepat.
“Aku tunggu di taman belakang sekolah jam 8 malam.”
Di bawah sinar bulan, mereka bertemu.
“Kenapa kamu bersembunyi di balik geng?” tanya Alya.
Reno tersenyum pahit.
“Aku nggak mau kayak dulu. Dulu aku anak yang diabaikan, disalahpahami. Geng ini bukan cuma soal kuasa, tapi juga perlindungan.”
Alya terdiam.
“Kamu ingin buktikan sesuatu?”
Reno mengangguk.
“Tapi aku juga gak mau nyakitin siapa-siapa.”
Alya tersenyum lemah.
“Kita bisa buat pensi ini sukses tanpa harus korbankan siapa pun. Dengan kerja sama dan kejujuran.”
Reno memandangnya lama, lalu mengangguk.
“Setuju. Kita mulai dari sini.”
Hari berikutnya, Alya mengumumkan rencana gabungan antara ide kreatif Reno yang didukung dengan semangat kerja tim OSIS.
Persiapan pensi jadi penuh semangat baru, dengan harapan dan kepercayaan yang mulai tumbuh.
