Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Nyasar ke Hatimu

Pagi berikutnya, Alya berjalan cepat menuju sekolah dengan headphone menyumpal telinganya. Tapi tak satu pun lagu favoritnya bisa mengusir bayangan Reno dari pikirannya.

Aneh banget.

Padahal cowok itu bukan tipe dia. Jelas bukan. Bajunya kebesaran, celananya aneh, dan rambutnya... ya Tuhan, seperti bertengkar dengan sisir sejak lahir. Tapi kenapa malah kalimat "Kadang, kita butuh nyasar dulu buat tahu tempat mana yang nyaman" itu muter-muter kayak iklan YouTube tanpa tombol skip?

"Good morning, Bu Bendahara Negara," sapa Sari begitu Alya masuk kelas.

Alya mendesah. “Jangan mulai pagi ini dengan sindiran, Sar. Aku sudah cukup pusing karena...”

"Reno?" tebak Sari sambil menaikkan alis.

Alya diam.

Sari ternganga. “WOI SERIUS?! Cuma lima belas menit doang lho kalian satu ruangan, terus dia berhasil masuk ke kepala kamu kayak... kayak pop-up iklan pas buka situs streaming bajakan?!”

“Bisa gak kamu ngomong kayak orang normal?” desis Alya sambil menarik kursinya.

Tapi sebelum Sari bisa lanjut ngetawainnya, sebuah suara nyaring muncul dari pintu kelas.

“HALOOO SEMUA!”

Alya nyaris terjungkal.

Reno—lengkap dengan rambut yang makin berantakan dan jaket oversize berwarna hijau pupus—masuk dengan percaya diri, seperti dia pemilik sekolah.

“Pak guru belum dateng, kan?” tanyanya santai ke teman sekelas.

“Belum,” jawab beberapa anak.

Reno berjalan pelan... dan berhenti tepat di depan meja Alya.

“Pagi, Kak OSIS.”

Alya menatapnya dengan tatapan “serius deh, lu lagi?”

“Gue pikir... nyasar kemarin bukan kebetulan,” lanjut Reno sambil mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebuah... proposal?

Alya menyipitkan mata. “Apa ini?”

“Proposal buat penggalangan dana pensi. Gue punya ide—dan kayaknya lo harus lihat.”

Alya membuka lembar pertama. Judulnya: "Malam Pensi, Bintang Turun dari Langit (atau Minimal dari Sekolah Tetangga)."

Dia menatap Reno dengan ekspresi setengah kagum, setengah pengin melempar kursi.

“Kamu... nulis ini semalam?”

Reno mengangkat bahu. “Sebenernya udah gue bikin dari semester lalu, tapi gak tau kenapa baru kemarin ada niat buat ngeluarin. Mungkin karena... ruang OSIS itu adem, ya?”

Alya menghela napas. Ini cowok benar-benar gak bisa ditebak. Tapi ide di proposal itu—lomba band antar sekolah, bazar makanan khas tiap kelas, dan lighting outdoor dari anak-anak teknik—cukup... brilian.

“Kalau ini berhasil,” kata Alya pelan, “kita gak perlu ngamen depan sekolah.”

“See?” Reno tersenyum lebar. “Kadang orang aneh punya ide yang lumayan, kan?”

Alya membalas senyuman itu. “Jangan GR. Ini belum tentu gue setujuin.”

“Tapi kamu baca sampai halaman terakhir, kan?” goda Reno sambil jalan ke tempat duduknya.

Alya menunduk. Di halaman terakhir, ada satu kalimat besar ditulis tangan,“Karena kadang, yang kamu butuhkan bukan proposal terbaik—tapi orang yang bikin kamu berhenti mikir terlalu serius.”

Alya menutup proposal itu cepat-cepat, pipinya memerah.

Sari yang duduk di sebelahnya sudah menahan tawa. “Wah. Fix. Kamu nyasar ke lubang cinta, Ly.”

Alya mendesah.

Tapi dalam hatinya... dia gak keberatan tersesat sedikit lebih lama.

Hari-hari berikutnya, suasana di ruang OSIS berubah jadi medan perang kecil yang penuh ketegangan, semua gara-gara ide-ide Reno yang nyasar tapi mengguncang.

Alya duduk di meja depan, berhadapan dengan beberapa anggota OSIS lain yang mulai skeptis. Di sebelahnya, Reno sibuk ngoprek laptopnya, kadang nyeletuk ide gila yang bikin beberapa orang ngangkat alis.

“Kita gak bisa terus-terusan pake cara lama!” tegas Reno saat rapat dimulai. “Pensi bukan cuma soal nyanyi dan tarian. Ini kesempatan kita tunjukin sekolah kita keren dengan acara yang beda.”

Alya coba meredam suasana. “Tenang, Reno. Ide kamu menarik, tapi kita juga harus realistis. Dana terbatas, dan waktu tinggal sedikit.”

“Kalau kita gak coba, kapan lagi?” Reno balik menyulut semangat. “Kita bikin tema ‘Galaksi’! Semua dekorasi, penampilan, sampai makanan harus nuansa luar angkasa. Bisa bikin penasaran semua orang.”

Beberapa anggota mulai berbisik-bisik, sebagian mendukung, sebagian ragu.

“Nah, itu masalahnya!” ujar Rina, anggota OSIS senior yang juga bendahara. “Tema kayak gitu butuh biaya besar. Kita aja belum nutupin anggaran yang sekarang.”

“Tapi kalau kita pake cara tradisional, pensi kita bakal basi!” Reno menggeleng, matanya berbinar.

Alya menarik napas panjang. “Oke, bagaimana kalau kita adakan voting ide? Semua anggota OSIS kasih suara. Yang menang, kita realisasikan.”

Suasana langsung ramai. Ada yang setuju, ada yang khawatir ide Reno terlalu ambisius.

Di luar rapat, Sari mendekati Alya. “Kak, aku tahu kamu bingung, tapi aku rasa Reno bawa semangat baru. Mungkin ini yang kita butuhkan.”

Alya mengangguk, tapi hatinya tetap ragu.

Hari voting pun tiba. Semua anggota OSIS menuliskan pilihan mereka di kertas suara. Suasana tegang menunggu hasilnya.

Ketika Alya membacakan suara satu per satu, ternyata ide Reno mendapat suara terbanyak, sengan selisih tipis.

Rina menggerutu, tapi tak bisa berbuat apa-apa.

“Kita mulai persiapan dari sekarang,” kata Alya akhirnya, menatap Reno. “Tapi kamu harus tahu, ini tanggung jawab besar. Jangan cuma ide keren, tapi juga harus bisa dijalankan.”

Reno tersenyum percaya diri. “Tenang aja, Kak. Aku siap tempur.”

Namun, malam harinya, Alya menerima pesan misterius,"Jangan terlalu percaya pada Reno. Dia gak seperti yang kamu pikir.”

Siapa pengirim pesan itu? Apa maksudnya? Dan bagaimana Alya akan menghadapi persaingan ide yang ternyata bukan hanya soal acara pensi?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel