Malam Pensi dan Bayangan Gelap
“Lampu mati? Apa ini lelucon?” Alya berbisik panik, matanya menatap gelap di sekeliling panggung.
“Tunggu, jangan gerak dulu!” Reno menggerakkan tangan, berusaha menenangkan.
“Tolong semua tetap tenang! Ini bukan bagian acara!” suara petugas keamanan menggema.
“Apa yang terjadi, Kak?” suara Sari terdengar dari belakang, penuh cemas.
“Dana pensi… dicuri lagi,” Alya jawab pelan, wajahnya putih pucat.
Di sudut panggung, layar besar tiba-tiba menyala, menampilkan video seseorang mengenakan hoodie masuk ke ruang OSIS.
“Ini bukan Dito,” suara misterius menyambung. “Ini lebih dekat dari yang kalian kira.”
Alya menatap Reno dengan mata penuh pertanyaan.
“Siapa dia, Reno? Apa maksudnya?”
Reno menghela napas dalam, “Kita harus cari tahu, sebelum semuanya terlambat.”
Malam pensi yang penuh harapan berubah jadi ujian terbesar. Dan rahasia gelap yang selama ini tersembunyi mulai terkuak.
Malam itu, udara di sekitar halaman sekolah terasa berbeda. Suasana yang sebelumnya penuh kegembiraan berubah menjadi tegang, berbalut rasa penasaran dan ketakutan. Setelah lampu panggung mati secara tiba-tiba, seluruh perhatian terfokus pada layar besar yang memutar rekaman seseorang mengenakan hoodie hitam, dengan langkah cepat dan gerak-gerik penuh kewaspadaan, memasuki ruang OSIS dan mengambil sejumlah uang tunai.
“Ini bukan pekerjaan Dito, tapi seseorang yang lebih dekat dari yang kalian kira,” suara misterius dari pengeras suara membuat bisik-bisik mulai menyebar di antara para siswa dan panitia.
Alya berdiri membeku. Matanya melebar, mencoba menebak siapa sosok itu. Beberapa detik berlalu sebelum Reno, dengan wajah serius, menarik Alya ke sisi panggung.
“Kita harus tenang, Alya. Ini pasti jebakan untuk menjatuhkan kita,” ucap Reno pelan, matanya penuh tekad.
Alya mengangguk, berusaha mengendalikan kepanikan yang mulai muncul dalam hatinya.
Tak ingin membiarkan situasi semakin kacau, Alya segera memimpin koordinasi. Dia menginstruksikan para panitia untuk memeriksa semua tas peserta dan staf yang berada di lokasi, memastikan tak ada barang mencurigakan yang terbawa masuk atau keluar. Sementara itu, Reno dan gengnya mulai mengintai area sekitar ruang OSIS dan panggung, mencari petunjuk.
Beberapa menit kemudian, Reno berteriak, “Alya, sini lihat ini!”
Di balik tumpukan dokumen anggaran, Reno menemukan sebuah surat kecil yang terlipat rapi dan tersembunyi.
Surat itu berbunyi, “Aku sudah capek berperan jadi teman. Saatnya aku tunjukkan siapa aku sebenarnya. Tunggu saja, Alya. Semua akan berubah.”
Wajah Reno berubah pucat. Ia menyerahkan surat itu pada Alya, yang membacanya perlahan sambil merasakan jantungnya berdegup kencang.
Di saat yang sama, salah satu anggota geng Reno datang dengan ekspresi serius.
“Kak, aku lihat Dito ketemu seseorang di belakang sekolah, tapi dia pakai hoodie dan menutupi wajahnya,” lapor anggota itu.
Reno dan Alya saling bertatapan, lalu bergegas menuju lokasi yang disebutkan.
Di bawah lampu jalan yang remang-remang, mereka melihat Dito berdiri bersama seorang pria berjaket hitam, wajahnya tersembunyi di balik topi dan masker.
Reno mengernyit, “Siapa dia?”
Alya memperhatikan dengan seksama. Ada sesuatu yang aneh tentang pria itu, sesuatu yang familiar tapi tak bisa dia jelaskan.
Dalam penyelidikan lanjutan, Alya secara tidak sengaja menemukan arsip lama di perpustakaan sekolah. Dokumen-dokumen itu mengungkapkan fakta mengejutkan ketika ada pria misterius yang tak lain adalah kakak kandung Reno yang hilang kontak bertahun-tahun lalu.
Ternyata, pria itu merasa kecewa dengan keluarganya dan sekolah, merasa diabaikan. Ia kemudian bekerja sama dengan Dito untuk menjatuhkan pengaruh Reno dan mengambil alih kekuasaan di sekolah.
Malamnya, di sebuah ruang kosong sekolah, Alya, Reno, dan kakak Reno bertemu untuk konfrontasi yang penuh emosi.
“Kau selalu jadi anak yang lebih disayang, Reno,” suara kakak Reno penuh kepahitan. “Aku ingin kau merasakan bagaimana rasanya kehilangan segalanya.”
Reno menatapnya dengan mata berkaca-kaca, “Aku tak pernah ingin melupakanmu. Aku cuma ingin kita tetap satu keluarga.”
Alya mencoba menengahi, “Ini bukan hanya soal kalian berdua. Ini soal sekolah, tentang kepercayaan dan masa depan semua orang.”
---
Konflik semakin memuncak saat rahasia keluarga ini terungkap ke publik sekolah. Beberapa siswa mulai berpihak ke kakak Reno, yang merasa sebagai korban, sementara yang lain tetap mendukung Reno dan Alya.
---
Alya merasa terjebak dalam dilema berat. Ia harus memilih antara menjaga persatuan OSIS dan mengungkapkan kebenaran yang bisa memecah belah sekolah.
---
Namun, dengan tekad yang kuat, Alya mengajak semua pihak untuk berdiskusi secara terbuka. Mereka mengadakan forum di aula sekolah, tempat semua siswa dan staf bisa menyuarakan pendapatnya.
Di sana, Reno juga tampil jujur tentang perasaannya, tentang keluarganya, dan tentang keinginannya membangun masa depan yang lebih baik.
---
Forum itu berlangsung lama, penuh air mata dan pengakuan. Tapi pada akhirnya, semua sepakat untuk memaafkan masa lalu dan berkomitmen bekerja sama demi kebaikan bersama.
---
Pensi berlanjut dengan semangat baru. Meski masih ada bayangan konflik, Alya dan Reno berhasil membawa acara hingga selesai dengan sukses luar biasa.
---
Di akhir malam, saat pesta usai, Alya berdiri di balkon aula, menatap bintang-bintang yang berkilauan.
Reno datang di sisinya, menyentuh tangannya perlahan.
“Kita sudah melewati banyak hal, Alya. Tapi aku yakin, ini baru awal perjalanan kita.”
Alya tersenyum, “Ya, perjalanan yang penuh warna. Bersama kamu, aku siap menghadapi apapun.”
