Surat di Dalam Kotak Rahasia
Sudah dua minggu aku tinggal di rumah Ibu Aisyah.
Pagi-pagi, sebelum salon buka, kami sarapan bersama di dapur kecil. Biasanya nasi uduk sisa kemarin malam yang digoreng ulang, atau bubur instan yang dicampur daun bawang dari pot belakang rumah. Bukan makanan mewah, tapi entah kenapa terasa jauh lebih mengenyangkan dari nasi lauk tiga macam yang dulu sering tersisa di piringku.
Aku mulai terbiasa. Tapi belum sepenuhnya tenang.
Kepalaku masih penuh suara-suara dari masa lalu: tawa sinis Vina, langkah kaki Ibu tiri yang menggedor pintu saat aku tak sengaja menjatuhkan piring, dan tatapan Ayah yang penuh ragu setiap aku memanggilnya "Pa".
Malam-malamku sering terjaga. Aku duduk di lantai, menyisir rambutku pelan sambil menatap bayangan sendiri di cermin kecil salon yang tergantung di ruang tengah. Di sana, aku bertanya pada diri sendiri:
Siapa aku sebenarnya?
Putri dari siapa? Warisan dari siapa? Luka dari siapa?
Hari Senin, aku masuk sekolah baru. Sekolah negeri biasa. Bangunannya tua, beberapa jendelanya patah, dan cat di dinding mengelupas. Jauh dari sekolah lamaku yang mewah dan ber-AC, dengan kantin luas dan lapangan basket berubin halus.
Aku pakai seragam bekas yang dibelikan Ibu Aisyah dari pasar loak. Bajunya masih wangi sabun cuci, meski warnanya sudah pudar. Sepatuku sempit, tapi aku pura-pura tidak terasa. Aku tahu, Ibu sudah mengorbankan banyak hanya untuk itu.
Di gerbang, anak-anak memperhatikan aku seperti makhluk asing. Beberapa berbisik, beberapa menunjuk. Aku cuma menunduk dan jalan cepat ke ruang kelas. Aku duduk di bangku paling belakang. Tak banyak bicara. Pelajaran demi pelajaran kulalui seperti menelan nasi tanpa rasa. Sampai saat istirahat pertama, seorang perempuan bertubuh mungil mendekat.
“Eh, kamu anak baru ya?” katanya ceria. “Namanya siapa?”
“Alena,” jawabku pendek.
“Aku Tika. Duduk depan kamu. Kalau kamu mau ke kantin, bareng aja yuk. Tapi nggak usah beli gorengan sebelah koperasi, suka keras.”
Aku mengangguk. Dan hari itu, untuk pertama kalinya sejak lama, aku merasa ada yang benar-benar ingin dekat denganku bukan karena ingin menyakiti atau mengawasi.
Tiga hari kemudian, aku pulang sekolah lebih awal. Ibu Aisyah sedang menata rambut pelanggan. Aku masuk kamar, menaruh tas, lalu iseng membuka lemari tua di pojok kamar. Lemari kayu dengan engsel berderit itu punya bau khas: kayu lembap dan minyak rambut.
Di bagian bawah, aku menemukan satu kotak lagi. Bukan kotak perhiasan seperti sebelumnya. Ini lebih besar, agak berat, dan terkunci gembok kecil.
Aku tak berniat membuka awalnya. Tapi rasa penasaran perlahan mengalahkan sopan santun. Kuncinya tak jauh, tersembunyi di bawah karpet kecil.
Klek.
Kotak terbuka.
Isinya: tumpukan amplop. Surat-surat yang sudah menguning. Sebagian robek di tepiannya. Ada puluhan, mungkin ratusan. Semuanya ditujukan kepada Alena Putri Rahmawati.
Aku menahan napas.
Semua surat itu ditulis oleh Aisyah. Surat-surat yang tak pernah ia kirim. Alena kecilku… hari ini kamu ulang tahun yang ketiga. Ibu buatkan nasi kuning kecil, walaupun kamu nggak ada di sini. Ibu cuma bisa peluk bayanganmu lewat bantal di kasur.”
“Alena… Ibu lihat foto kamu di majalah sekolah. Kamu cantik sekali, Nak. Tapi di sana kamu berdiri di antara keluarga yang tak mengakuiku. Hati Ibu sakit.”
“Alena… Ibu sakit. Tapi Ibu belum mau menyerah. Ibu masih berharap kamu akan datang sebelum semua ini berakhir.”
Tanganku gemetar. Air mata menetes satu per satu.
Selama ini... dia menulis semua ini sendirian. Tahun demi tahun. Tanpa tahu apakah akan pernah dibaca.
Aku memeluk kotak itu. Seluruh tubuhku menggigil seperti diterpa badai. Ada bagian dari diriku yang merasa bersalah, ada juga bagian yang hancur karena menyadari… cinta sebesar ini disembunyikan begitu lama.
Saat Ibu Aisyah masuk ke kamar dan melihatku memeluk surat-surat itu, dia terdiam. Matanya membelalak, lalu berubah jadi sendu.
“Kamu nemuin itu ya…”
Aku mengangguk, menatapnya penuh tangis. “Kenapa nggak Ibu kirimkan surat-surat ini ke aku?”
Ia menatapku lama sebelum duduk di sampingku.
“Karena mereka pasti nggak akan kasih kamu baca. Bahkan surat pertama yang aku titipkan saja disembunyikan bertahun-tahun. Jadi aku menulis, hanya untuk meyakinkan diriku sendiri bahwa aku masih punya kamu. Meski hanya lewat kata-kata.”
Aku menangis lebih keras. Pelukannya kali ini erat sekali. Rasanya seperti semua luka dalam diriku menemukan rumah untuk pulih.
Tapi malam itu, saat aku hendak tidur, Ibu Aisyah batuk keras. Lama. Terus-menerus. Aku keluar kamar, menghampiri. Ia menahan batuknya dengan tisu. Tapi ketika kulemparkan pandanganku pada tisu itu…
Ada darah.
Aku terpaku.
“Ibu… Ibu kenapa?” tanyaku panik.
Dia buru-buru menyembunyikan tisu itu. “Cuma batuk biasa, Nak. Udah tua, biasa kayak gini…”
Tapi aku tahu itu bukan biasa. Itu tanda. Tanda bahwa kebahagiaanku mungkin tak akan berlangsung lama. Dan untuk pertama kalinya sejak aku tinggal di rumah ini, aku merasa takut kehilangan lagi. Sangat takut.
Malam itu aku tidak bisa tidur.
Bukan karena suara jangkrik yang terlalu nyaring, atau kasur tipis yang berdecit saat kugeser sedikit. Tapi karena satu hal yang tak bisa kuhentikan dalam pikiranku—tisu berdarah itu.
Aku tahu betul, Ibu Aisyah berbohong. Ia bilang hanya batuk biasa, tapi wajah pucatnya, tubuhnya yang makin kurus, dan cara dia duduk sambil memegangi dada... itu bukan sekadar batuk.
Aku menyelinap ke dapur, mengambil air, lalu duduk diam di ruang tengah. Kotak surat itu masih ada di pangkuanku. Surat-suratnya masih terbuka. Dan ada satu yang belum sempat kubaca.
Amplop itu lebih tebal dari yang lain. Bertuliskan: "Untuk Alena, jika Ibu tak sempat bicara."
Tanganku gemetar saat membukanya. Di dalamnya ada lima lembar kertas, ditulis tangan dengan tinta hitam. Tulisan Ibu sedikit bergetar, tapi jelas.
Alena sayangku...
Kalau kamu membaca ini, berarti mungkin Ibu sudah tidak punya cukup waktu untuk menjelaskan langsung. Ibu ingin kamu tahu satu hal paling penting sebelum semuanya terlambat: Kamu adalah anak yang sangat dicintai. Bukan anak yang salah, bukan anak dari pernikahan yang harus disembunyikan, bukan beban. Kamu adalah cahaya, meskipun lahirmu di lorong gelap yang penuh luka.
Ayahmu mencintaimu. Tapi dia lemah. Dia lebih takut pada ibunya, pada keluarga besarnya, pada penilaian orang-orang kaya itu… daripada kehilanganmu. Ibu tidak membenci Ayahmu, tapi Ibu tidak bisa memaafkan pilihannya.
Ibu juga tahu kamu tumbuh tanpa cinta yang layak. Dan Ibu menyalahkan diri sendiri setiap malam karenanya. Tapi sekarang kamu di sini. Dan kalaupun Ibu harus pergi… Ibu ingin kamu lanjut hidup. Jangan seperti Ibu, yang menunggu seseorang yang tidak akan pernah kembali. Bangun hidupmu. Sekolah. Punya cita-cita. Jangan hanya jadi bayangan dari luka lama.
Dan satu lagi, Nak… maaf kalau Ibu tidak jujur soal sakit ini. Ibu tidak ingin kamu kembali hidup dalam ketakutan. Tapi sekarang kamu sudah cukup kuat. Kamu bisa hadapi semuanya. Sendiri atau bersama siapa pun yang kamu percaya.
Air mataku menggenang, lalu jatuh satu per satu. Lembaran itu terasa seperti pelukan terakhir yang hangat dan getir.
Aku menutup suratnya, lalu kembali ke kamar Ibu.
Dia sudah tertidur. Napasnya pelan dan teratur, tapi tangannya masih menggenggam sisi dada kirinya. Ada obat-obatan di meja kecil—obat batuk, vitamin, dan satu strip pil yang tak kukenal. Aku mengambil bungkusnya diam-diam.
Obat jantung.
Aku mundur pelan-pelan, duduk di lantai kamar, dan menyandarkan kepala ke pintu.
Dalam hati, aku berjanji:
Ibu tidak akan melawan ini sendiri. Aku akan cari bantuan. Aku akan cari cara.
Keesokan harinya, saat Ibu pergi ke pasar untuk belanja kebutuhan salon, aku memberanikan diri mendatangi klinik dekat sekolah. Aku bawa foto obatnya, dan menanyakan nama dokter spesialis jantung yang bisa menangani pasien tanpa BPJS. Setelah itu, aku mencatat nomor dan alamat rumah sakit rujukan terdekat.
Lalu aku menulis sepucuk surat kecil. Surat itu kutaruh di tas Ibu.
“Kalau Ibu sayang Alena, tolong izinkan Alena bantu. Jangan Ibu lawan sendiri. Kita ke dokter, bareng.”
Hari itu Ibu tak langsung menanggapi. Tapi malamnya, ia memelukku lebih erat dari biasanya. Dan ketika kutanya, “Ibu sudah baca suratku?”, ia hanya tersenyum dan berkata, “Ibu siap kalau kamu temani.”
Hari-hari berikutnya terasa berat, tapi juga penuh harapan.
Setiap pagi, aku sekolah. Siang, bantu salon. Malam, temani Ibu minum obat dan menyisir rambutnya perlahan.
Tika, teman sekolah baruku, mulai jadi sahabat. Dia sering meminjamkanku buku pelajaran, membelikan jajan saat aku tak bawa uang, bahkan sekali dua kali mengantarku pulang saat hujan deras.
“Ibu kamu baik banget ya,” katanya suatu sore.
“Iya,” jawabku pelan. “Tapi dia sakit.”
Tika menatapku prihatin. Tapi dia tidak bertanya lebih jauh. Hanya meraih tanganku dan menggenggamnya lama.
Itu pertama kalinya aku merasa benar-benar didengar, bukan dihakimi.
Namun, di balik semua ketenangan kecil itu, ada badai yang mulai bergemuruh.
Suatu siang saat pulang sekolah, aku melihat seseorang berdiri di depan salon. Mobil hitam diparkir di pinggir jalan. Seorang pria turun. Mengenakan jas, rambutnya klimis, wajahnya... wajah yang sangat kukenal.
Ayah.
Tubuhku seketika kaku.
Ibu Aisyah berdiri di depan pintu, matanya merah, tapi tubuhnya tegak.
“Apa yang kamu mau, Pak?” tanyanya tegas.
“Aku mau bicara dengan Alena,” suara Ayah berat, tapi terdengar canggung.
Aku berdiri di ambang pintu. Menatap wajah Ayah dengan hati campur aduk. Marah. Rindu. Luka. Bingung.
“Apa kamu baru ingat aku anakmu setelah belasan tahun?” suaraku gemetar.
Ayah mendekat, matanya berlinang. Tapi Ibu Aisyah menahan di depan. “Kalau kamu datang hanya untuk mencampuri hidupnya, jangan. Dia baru belajar tenang. Jangan hancurkan itu lagi.”
“Aku tahu aku salah,” kata Ayah. “Tapi tolong... kasih aku satu kesempatan. Aku nggak bisa biarkan anakku terluka dua kali.”
Aku menggenggam tangan Ibu Aisyah. “Aku nggak butuh dikasihani, Pa. Aku cuma butuh Ayah jujur. Ayah pilih siapa sekarang?”
Ayah terdiam.
Dan di keheningan itu, aku tahu... jawabannya belum berubah.
