
Ringkasan
"Namaku Alena. Sejak kecil, aku tak pernah tahu siapa ibuku. Ayah membesarkanku sendiri, dan Ibu yang tinggal di rumah hanya memandangku dengan dingin. Sampai suatu hari, aku mendengar percakapan yang mengubah hidupku—aku bukan anak dari perempuan yang kupanggil 'Ibu'. Aku... anak dari istri kedua Ayah." Di tengah kebohongan yang dibungkus rapi, Alena berusaha mencari kebenaran dan tempatnya sendiri di keluarga yang menolaknya. Tapi rahasia masa lalu tak hanya menyakiti dirinya... melainkan seluruh keluarganya.
#####Ibu yang Selalu Membenci
Sejak kecil, aku tahu ada yang berbeda dalam rumah ini.
Ibu tidak pernah memelukku. Bahkan saat aku menangis karena jatuh dari sepeda di usia tujuh tahun, ia hanya berdiri di ambang pintu, melipat tangan, dan berkata dingin, “Jangan cengeng.”
Namaku Alena. Aku 17 tahun. Dan aku tumbuh di rumah ini dengan hati yang selalu bertanya-tanya: apa salahku sampai Ibu seolah membenciku?
“Lihat Vina, nilainya selalu sempurna. Kamu? Selalu pas-pasan. Malu punya anak kayak kamu,” katanya tadi pagi, sebelum aku sempat menyuap nasi ke mulut.
Vina, adik tiriku. Manja, cantik, dan kesayangan Ibu. Sementara aku? Hanya bayangan yang tak diinginkan di meja makan.
Ayah, satu-satunya orang yang menyayangiku, selalu mencoba menenangkan suasana. Tapi dia terlalu lemah di hadapan Ibu.
“Sudah, Bu. Jangan dibanding-bandingkan terus. Alena juga anak kita,” katanya pelan.
Ibu menoleh tajam. “Anak kita? Yang benar saja, Mas.”
Aku nyaris tak mendengar kalimat itu. Tapi entah kenapa, dadaku terasa sesak sejak pagi.
Sore itu, hujan turun deras. Aku pulang dari sekolah lebih awal karena pelajaran kosong. Saat membuka pintu rumah, aku tak mendengar suara siapa-siapa. Biasanya Vina sudah teriak minta camilan, atau Ibu menyuruhku menyapu lantai.
Tapi sore itu hening.
Aku menggantung tas dan hendak ke dapur saat langkahku terhenti.
Dari balik pintu kamar Ayah dan Ibu yang sedikit terbuka, aku mendengar suara Ibu. Nada suaranya keras dan menusuk.
“Kenapa kamu masih bela anak itu? Sudah kubilang dari dulu, aku nggak pernah anggap dia anakku!”
Hatiku mencelos. Kaki ini seperti membeku.
Lalu suara Ayah terdengar lirih, nyaris tak bisa kutangkap. Tapi satu kalimat itu menancap di kepalaku:
“Alena tetap darah dagingku. Dia anak dari istri keduaku. Apa kamu masih belum bisa terima itu?”
Dunia di sekitarku tiba-tiba terasa hampa.
Aku bukan anak Ibu?
Aku... anak dari istri kedua Ayah?
Sejak kecil, aku sudah terbiasa dengan sunyi yang menusuk. Di rumah besar ini, hanya ada tiga suara yang paling kukenal: detak jarum jam di ruang tamu, deru kipas angin yang terus berputar, dan suaraku sendiri berbisik, “Kenapa Ibu tidak pernah mencintaiku?”
Dulu, aku pernah berharap suatu hari Ibu akan menyapaku lembut, memelukku ketika aku sedih, atau setidaknya tersenyum saat melihatku. Harapanku itu kandas sejak pertama kali aku menyadari ada bayangan lain di balik cintanya—bayangan adik tiriku, Vina, yang selalu mendapat pujian, selalu dipuji kecantikannya, selalu dipeluk hangat sebelum tidur.
Pagi ini, seperti hari-hari sebelumnya, kulihat Ibu menyuapkan sesendok nasi ke piring Vina sambil bilang, “Bagus, jangan takut sama ujian nanti.” Saat giliran piringku, ia menyela, “Makan cepat, nanti ketinggalan shuttle. Jangan banyak melamun.” Nada itu—dingin, tergesa—membuatku merasakan sakit di dada. Seakan aku hanya beban yang menjengkelkan.
Aku meletakkan sumpit lima kali sebelum akhirnya nasi itu masuk ke mulut. Vina menatapku sinis. “Kenapa lama banget, Lena? Nanti bus sekolah jalan.” Suaranya seperti pisau kecil yang terus menusuk.
Di depan ibu, aku tak berdaya membantah. Ayah yang mencoba, “Sudahlah, Bu. Biarkan Alena makan dengan tenang.” Namun tanggapan Ibu hanya enteng, “Tenang? Dia nggak pernah ada di level anak kita.”
Kalimat itu terbang rendah, tapi terdengar jelas. Jantungku berdebar keras. Betapa pahit rasanya mengetahui diriku “bukan anak mereka” di mata sang ibu tiri.
Sore harinya, petir menggelegar memecah langit Jakarta yang sedang hujan deras. Langkahku di lorong rumah terdengar berat, seakan setiap tetes air di atap menambah beban di kaki. Buku tulis dan novel drama keluarga kubawa pulang sebagai tempat pelarian—aku suka menulis, meluapkan emosi di halaman kosong. Namun hari ini, kata-kata pun terasa hambar.
Saat kusentuh gagang pintu, aku terhenti. Dari celah pintu kamar Ayah–Ibu, kudengar suara Ibu yang lebih keras dari biasanya, bersisian dengan gemeretak rintik hujan.
“Kenapa kau masih bela anak itu? Dia tidak pantas berada di meja makan kita.”
Aku menahan napas, menempelkan telinga lebih dekat.
jawab Ayah lirih, suaranya parau menahankan emosi. “Alena tetap darah dagingku.”
“Darah dagingmu? Anak dari istri kedua?” Ibu tertawa sinis, “Kalau begitu, kau gagal memilih istri pertama. Seharusnya kau tidak pernah bawa dia ke rumah ini.”
Jantungku nyaris berhenti. Dunia seketika runtuh, pintu di depan mataku berputar tanpa henti. Bayangan diriku yang pernah berharap—bahwa akhir-akhir ini Ibu terlihat sedikit lebih lembut—sudah sirna.
Aku menutup pintu perlahan, jantungku berdegup sekuat pukulan. Tubuhku gemetar, mata panas menahan air mata. Sepi di lorong itu terasa amat menusuk, seolah rumah yang kukira tempat berlindung sebenarnya adalah istana es.
Langkahku terhuyung menuju ruangan kerjaku, tempat tumpukan kertas dan pena setia menungguku. Kuletakkan tas di meja, menggapai pena seperti orang tersadar dari mimpi buruk. Kertasku kosong. Aku menatapnya, bertanya dalam hati: “Bagaimana aku bisa menulis kalau hidupku penuh kebencian yang tak bisa kuhindari?”
Tinta pertama yang keluar adalah tetes air mataku. Garis demi garis terbentuk, mengalir menjadi kalimat:
“Aku bukan anak kandung mereka. Aku anak dari istri kedua yang tak diinginkan.”
Entah kenapa, menulis kata-kata itu membuat dadaku sedikit legah. Rasa sakitnya tetap ada, tapi setidaknya ada sesuatu yang kukendalikan—cerita ini, kisah tentang Alena yang tersakiti. Mungkin, dengan menuliskannya, aku bisa memahami siapa aku sebenarnya dan di mana tempatku di dunia.
Ketukan pintu terdengar pelan. Ayah masuk, wajahnya pucat, matanya penuh penyesalan. “Alena… maafkan Papa. Papa seharusnya lebih tegas melindungimu.”
Aku menghapus jejak air mata dengan lengan baju. Suaraku tertahan, tapi kutahan sedetik lalu kubiarkan lepas: “ayah… aku hanya ingin tahu, apakah aku punya tempat di keluarga ini?”
Ayah menunduk, lalu membuka pelukan selebar-lebarnya. Dalam dekapan itulah aku sadar—cinta ayah
mungkin satu-satunya cahaya yang masih tersisa di keluargaku yang dingin ini.
Aku terdiam di pangkuan Ayah, merasakan kehangatan pelukannya menembus dingin yang membekukan hatiku. Namun, kelegaan itu hanya sesaat. Pertanyaan yang sama berputar di kepalaku: ke mana aku sebenarnya akan berlabuh? Aku menarik napas dalam, lalu rapatkan mata, berusaha menahan gemetar.
“Ayah,” suaraku tercekat. “Kapan… kapan Ibu bisa menerimaku?”
Ayah terdiam lama, seolah mencari kata-kata yang tepat. Akhirnya ia menarikku lebih erat dan berbisik, Ayah akan selalu melindungimu, Nak. Ayah yang memilihmu, dan Ayah yang akan selalu menyayangimu.”
Tapi bisikan itu hanyalah suara samar di benakku ketika malam mulai memeluk rumah ini. Setelah Ayah pergi, aku berjalan ke jendela kamar. Di luar, hujan berhenti, menggantung rintik retak-retak di kaca. Lampu di teras berkedip, menciptakan bayangan bergerak di tanah basah.
Mataku tertuju pada langit gelap. Aku ingat ibuku kandung—yang tak pernah kukenal wajahnya—yang entah bagaimana, mungkin masih hidup di suatu tempat. Alena kecil selalu bertanya-tanya, mengapa ia pergi. Dan Alena remaja sekarang tahu sebagian jawabannya: aku adalah anak dari istri kedua Ayah, buah cinta dalam pernikahan yang tak lama bertahan.
Tanpa sengaja, jemariku menyentuh kotak kenangan kecil di sudut meja. Itu hadiah ulang tahunku yang pertama—sebongkah perak berukir kupu-kupu. Sejak Ibu menemukannya, ia meletakkannya di dalam laci gorden, katanya “terlalu murahan.” Perlahan aku buka kotak itu, mengeluarkan kalung kupu-kupu. Bentuknya kecil, dengan dua sayap berwarna lembut, seolah terbuai angin.
Aku memegangnya erat. “Mungkin ini satu-satunya warisan dari ibuku kandung,” gumamku. Air mata jatuh lagi, tapi kali ini lebih tenang. Ada perasaan baru bersarang di hatiku: tekad.
Aku menutup mata, merasakan setiap detik bergulir dalam kesunyian. Malam ini aku belajar satu hal penting:
Ketidakadilan dan kebencian boleh menorehkan luka, tapi hanya aku yang bisa menuliskan bab selanjutnya dalam hidupku.
Dengan tekad itu, aku membuka laci meja, merogoh pena favoritku. Pada halaman baru, aku tulis satu kalimat pendek:
“Malam ini, aku memulai langkahku untuk menemukan diriku sendiri.”
Kuletakkan pena, lalu mataku terpaku pada kalung kupu-kupu di genggamanku. Aku teringat akan nama asliku—nama yang menanti untuk diungkap. Esok, aku harus mencari tahu lebih banyak: siapa wanita dalam foto lama itu, ke mana ia pergi, dan bagaimana aku bisa menghubungi darah dagingku yang lain.
