DUA IBU SATU LUKA
Aku berdiri mematung. Di hadapanku: Ayah, yang wajahnya terguncang antara panik dan malu. Di sampingnya: Ibu tiri, dengan sorot mata seperti belati yang siap menancap ke hatiku kapan saja. Dan di belakangku, sosok perempuan yang selama ini hanya hidup dalam mimpiku—ibu kandungku, Aisyah.
Udara malam terasa menggantung. Tak ada yang bersuara. Tapi detak jantungku menggedor lebih keras dari klakson mobil yang masih menyala pelan di ujung jalan.
“Alena,” kata Ayah pelan, langkahnya mendekat. “Kita pulang. Sekarang.”
Aku menggeleng. “Aku nggak ke sini buat kabur, Pa. Aku ke sini karena akhirnya aku tahu kebenarannya. Kenapa aku nggak pernah merasa punya tempat. Kenapa aku selalu dijauhkan dari sesuatu... yang seharusnya milikku.”
Ibu melangkah maju. “Kebenaran? Kebenaran apa yang kamu maksud, hah?!”
Suara Ibu menggema seperti gemuruh. Tapi tak ada gentar dalam dadaku.
“Kebenaran bahwa kalian menyembunyikan surat dari Ibu kandungku. Bahwa aku diambil darinya sejak bayi. Bahwa aku tumbuh bersama keluarga yang tidak pernah benar-benar menerimaku.”
Aisyah menarik napas tajam, suaranya parau tapi tenang. “Aku yang menulis surat itu. Bertahun-tahun aku menunggu… berharap suatu saat kamu datang.”
Ibu menoleh padanya tajam. “Kau pikir aku akan membiarkan anak itu kembali padamu setelah semua yang terjadi?!”
Aku berbalik menatap Ibu tiri. Suaraku gemetar. “Ibu selalu membenciku. Bahkan saat aku cuma anak kecil yang nggak tahu apa-apa. Kenapa, Bu? Apa salahku sampai dibenci seperti ini?”
Ibu terdiam. Matanya memerah. Tapi bukan karena iba—melainkan amarah yang nyaris meledak.
“Kau anak dari perempuan yang merebut suamiku,” bisiknya tajam. “Setiap kali kulihat wajahmu, aku hanya melihat pengkhianatan. Luka. Dosa masa lalu yang terus hidup di rumahku!”
Aku terhuyung.
Ayah memegang bahuku, berusaha menenangkan. “Cukup! Ini bukan salah Alena. Dia anakku. Dan kamu tahu itu sejak awal!”
Aisyah melangkah ke depan, berdiri tepat di hadapanku. “Lena... kamu mau ikut Ibu malam ini?”
Aku mendongak. Mataku bertemu matanya. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, ada kelembutan nyata di sana. Bukan pura-pura, bukan kewajiban.
Tapi kasih yang utuh. Yang utuh dan hilang selama bertahun-tahun.
Ayah menatap kami, bingung. “Lena, Papa mohon, jangan ambil keputusan tergesa-gesa. Kamu masih terlalu muda.”
Aku menatap ke semua wajah yang berkumpul malam ini—Ayah, yang hatinya terpecah dua. Ibu tiri, yang menahanku di rumah tapi tak pernah memelukku. Dan Aisyah, yang selama ini menungguku dalam diam.
Lalu aku bertanya pelan, nyaris tak terdengar, “Kalau aku ikut Ibu Aisyah... aku boleh, Pa?”
Ayah terdiam lama. Matanya berkaca-kaca. Tapi akhirnya ia mengangguk kecil. “Kalau itu yang kamu mau... Papa nggak bisa menghalangi.”
Ibu menjerit. “Jadi kamu akan biarkan anak itu dibawa pergi?! Setelah semua ini?!”
“Dia bukan milik kita, Bu...” Ayah menunduk. “Dia bukan boneka yang bisa kita simpan tanpa kasih.”
Aku menangis. Tak tahu apakah ini air mata lega atau sedih. Tapi aku tahu satu hal pasti: malam ini, aku pulang ke tempat aku berasal.
Beberapa jam kemudian, aku duduk di ruang kecil salon Aisyah. Bau krim rambut dan kayu tua terasa hangat. Di dinding tergantung foto-foto lama—dirinya muda, salon ini, beberapa pelanggan. Lalu... sebuah bingkai kosong.
“Dulu,” kata Ibu Aisyah sambil meletakkan secangkir teh hangat, “aku simpan fotomu di sana. Tapi setiap aku lihat, rasanya seperti ditusuk. Jadi aku copot. Tapi aku nggak pernah berhenti berdoa... agar kamu kembali.”
Aku menatap wajahnya. Setiap kerut di wajahnya bercerita. Bukan tentang usia, tapi tentang kehilangan. Tentang penantian yang sunyi dan lama.
“Ibu...” suaraku pecah. “Kenapa Ayah menyerahkan aku?”
Aisyah menarik napas dalam. “Karena dia takut. Dia waktu itu masih muda, lemah, ditekan keluarganya. Mereka tidak mau aku jadi bagian dari hidupnya. Mereka pikir aku tidak pantas... hanya karena aku bukan dari keluarga terpandang. Saat aku melahirkanmu, Ayahmu menangis. Tapi ketika kamu baru berusia tiga bulan, dia datang dan membawamu pergi. Katanya, dia tak punya pilihan.”
Aku menutup wajah. Tubuhku berguncang oleh tangis.
“Kalau begitu,” kataku pelan, “kenapa Ibu nggak pernah mencariku?”
Aisyah memelukku. Pelukan yang selama ini tak pernah kupunya. “Aku mencarimu. Tapi mereka begitu kuat. Mereka tutup semua akses. Bahkan surat itu... kutitipkan diam-diam lewat seorang mantan pegawai salon yang bekerja di rumah kalian. Aku nggak pernah tahu apakah surat itu sampai padamu atau tidak.”
Aku menggenggam tangannya. Kukecup punggungnya.
“Ibu... mulai malam ini, aku mau tinggal di sini. Kalau Ibu izinkan.”
Dia menangis. “Tentu, Nak. Ini rumahmu. Ini rumah kita.”
Malam itu aku tidur di kasur kecil di kamar yang penuh dengan kenangan yang belum sempat kubuat. Tapi aku tahu... mulai besok, aku akan menulis kisahku sendiri. Bukan sebagai anak dari istri kedua, bukan sebagai beban, tapi sebagai Alena—anak yang akhirnya pulang.
Pagi pertama di rumah Ibu Aisyah.
Aku terbangun dengan mata sembab dan kepala berat. Di luar, suara ayam berkokok bersahut-sahutan. Jendela kayu tua menganga sedikit, mengizinkan cahaya mentari menelusup perlahan ke lantai berubin kusam.
Rasanya seperti mimpi—tapi ini nyata. Aku di sini. Di rumah kecil milik seorang perempuan yang selama ini hanya hidup dalam bisik-bisik belakang pintu, dalam bayang-bayang larangan, dalam doa-doa yang tak pernah sempat kubaca.
Aku bangkit, berjalan pelan menyusuri rumah mungil ini. Dindingnya penuh bingkai kayu—bukan lukisan, tapi potongan hidup. Ada foto Ibu Aisyah muda berdiri di depan salon. Foto seorang bayi dibungkus kain flanel merah—aku. Dan ada satu foto yang paling membuatku terpaku.
Foto Ayah dan Ibu Aisyah. Bersama. Tersenyum. Bahagia.
Aku meraih bingkai itu. Tangan Ibu memeluk pinggang Ayah, dan tangan Ayah memegang pundaknya dengan lembut. Mereka terlihat... saling mencintai.
“Foto itu diambil seminggu sebelum kamu lahir,” suara Ibu Aisyah terdengar dari balik dapur. “Kami masih berharap bisa membesarkanmu bersama-sama waktu itu.”
Aku memegang bingkai itu erat. “Tapi nggak jadi…”
Dia hanya tersenyum kecil. “Hidup nggak selalu berpihak pada cinta, Lena. Kadang, cinta harus kalah oleh status, gengsi, dan tekanan keluarga.”
Aku menoleh. “Kenapa Ibu nggak pernah menikah lagi?”
Aisyah diam lama, sebelum menjawab dengan suara yang nyaris tenggelam. “Karena aku sudah menyerahkan seluruh hidupku ke satu orang—Ayahmu. Dan ketika dia pergi, aku nggak hanya kehilangan suami... aku kehilangan anak. Kehilangan separuh jiwaku. Setelah itu... apa lagi yang bisa kuraih?”
Aku merasa seperti tercekik.
Aku menghampirinya, memeluk tubuh ringkihnya. Tangannya gemetar saat membalas pelukan itu. Seakan ia menahan tangis selama bertahun-tahun dan baru hari ini bisa membiarkannya runtuh.
“Ibu maaf…” bisikku, “Maaf aku terlambat pulang…”
“Bukan kamu yang harus minta maaf,” katanya parau. “Aku yang gagal menjagamu. Aku yang tak cukup kuat melawan dunia. Tapi sekarang kamu di sini. Dan itu cukup.”
Hari-hari berlalu dengan pelan, seperti lembar-lembar baru yang kucoba tulis satu per satu. Tapi tidak semua hal berjalan mulus. Beberapa kali aku terbangun dari tidur karena mimpi buruk—mimpi tentang wajah Ibu tiri yang marah, tentang Vina yang menatapku dengan hina, tentang Ayah yang memanggilku tapi menghilang dalam kabut.
Kadang, aku menangis sendiri di kamar kecilku. Bukan karena menyesal, tapi karena terluka.
Karena aku baru sadar… aku ini seperti anak tanpa tanah. Aku tak benar-benar tumbuh di satu tempat yang mencintaiku sepenuh hati. Aku hanya numpang. Di rumah yang kuanggap rumah, aku adalah noda. Dan di rumah yang baru ini, aku masih asing—meski hangat.
Aku rindu Ayah. Tapi aku juga marah padanya.
Aku rindu rumah lamaku—bukan karena kehangatannya, tapi karena aku terbiasa bertahan di dalamnya.
Dan lebih dari itu… aku takut. Takut kalau semua ini hanya sementara. Takut jika Ibu Aisyah sakit. Takut jika dia pun akan pergi seperti segalanya yang pernah kumiliki.
Sore itu, aku duduk di kursi kecil dekat salon. Pelanggan mulai berdatangan, meski tak seramai dulu kata Ibu. Ia menyisir rambut seorang nenek tua dengan penuh kelembutan.
Aku memperhatikannya diam-diam. Cara dia berbicara, menyentuh, dan tersenyum membuatku sadar—aku telah melewatkan semua ini selama bertahun-tahun. Pelajaran-pelajaran kecil yang seharusnya kudapat dari seorang ibu. Bagaimana mencintai orang lain, bagaimana jadi kuat tanpa harus kasar, bagaimana menangis tanpa malu.
Tiba-tiba, handphoneku berdering. Sebuah pesan dari Vina.
Kamu puas ya? Sekarang rumah makin kacau. Ibu nangis tiap malam. Ayah nggak pernah pulang. Semoga kamu bahagia.”
Aku menatap layar ponsel itu lama. Lalu kutaruh. Tidak ada kata balasan. Karena bagaimana aku bisa menjelaskan luka, jika dia hanya melihat permukaan?
Aku hanya bisa menatap langit yang perlahan memerah. Dalam hati, aku berdoa: semoga luka-luka ini bukan untuk sia-sia.
Malam itu, Ibu Aisyah duduk di tepi ranjangku. Ia membawa satu kotak kayu kecil, warnanya sudah mulai usang.
“Aku ingin kamu punya ini,” katanya pelan.
Aku membukanya. Di dalamnya ada baju bayi yang sudah menguning, sehelai gelang nama bertuliskan ALENA, dan... selembar foto hitam putih.
Itu foto kami. Aku bayi, digendong Ibu Aisyah. Ia tampak muda, cerah, meski matanya lelah.
“Aku simpan ini sejak kamu diambil,” katanya. “Setiap malam, aku tidur sambil menggenggamnya. Seolah kamu masih di sini. Seolah aku bisa memelukmu lagi.”
Air mataku tumpah.
“Ibu… aku di sini sekarang,” kataku sambil mencengkeram tangannya. “Aku nggak akan ke mana-mana lagi.”
Dia membelai rambutku, seperti aku masih bayi. “Aku tahu, Nak… Tapi Ibu tetap takut. Takut Tuhan mengambilmu lagi. Takut semua ini cuma mimpi.”
Aku memeluknya. Erat. Dan untuk pertama kalinya, aku merasa… aku punya tempat. Bukan karena darah, bukan karena aturan, tapi karena cinta. Karena hati.
