Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Pilihan yang Tak Pernah Sempurna

Aku tak tahu apakah dunia sedang menguji, atau memang sejak awal hidupku ditakdirkan untuk memilih antara luka satu dan luka lainnya.

Hari itu, Ayah berdiri di depan salon dengan wajah memelas. Lelaki yang dulu kusebut "pahlawan", kini terlihat seperti orang asing yang mencoba masuk ke rumah yang sudah tak ada ruang lagi untuknya.

"Aku cuma ingin bicara, Le... Satu kali saja. Bisa?" Ayah memohon.

Ibu Aisyah menggenggam tanganku erat. Tapi aku mengangguk pelan. Bukan karena aku lunak, tapi karena aku butuh penjelasan. Aku butuh mendengar dari mulutnya, kenapa aku dibuang,kenapa aku hidup seperti bayang-bayang yang disembunyikan.

Kami duduk di ruang tamu salon. Kursi rotan tua yang biasa digunakan pelanggan, sekarang jadi tempat pengakuan.

Ayah menatapku lama. Matanya berkaca-kaca. Tapi bagiku, air mata itu telat bertahun-tahun.

"Ayah tahu, semua ini nggak bisa dimengerti dengan kata maaf," katanya membuka suara. "Tapi Ayah memang pengecut. Dulu, Ayah terlalu takut sama Ibu dan keluarga besar kita. Pernikahan Ayah sama Ibumu dianggap aib. Waktu kamu lahir, Ayah pikir... cukup dengan kasih nafkah diam-diam. Tapi ternyata... itu nggak cukup."

Aku mendengus. “Kasih nafkah diam-diam? Bahkan di ulang tahunku yang ke-7, Ayah nggak datang. Aku cuma dapat kue dari warung yang dibeli Ibu dengan uang terakhirnya. Dan kamu... kamu di mana?”

Ayah terdiam. Jemarinya meremas ujung lengan jasnya sendiri.

“Ayah... waktu itu, lagi ulang tahun adikmu juga. Adik dari istri yang sekarang. Mereka buat pesta besar. Dan—”

“Berarti aku bukan bagian dari keluarga, kan?” potongku. Suaraku meninggi, tapi aku tak peduli. “Aku hanya kesalahan yang harus ditutupi. Anak dari perempuan yang kalian singkirkan.”

Ayah tertunduk. Tak menjawab.

Aku berdiri. “Kalau kamu cuma datang untuk menyesal, simpan saja. Aku sudah kenyang dengan penyesalan orang-orang dewasa yang nggak pernah berani memilih yang benar.”

Ibu Aisyah bangkit, berdiri di sampingku. “Kamu dengar sendiri, Pak. Alena sudah bisa bicara untuk dirinya sendiri sekarang. Dia nggak perlu dilindungi dari kebenaran, tapi juga nggak akan kamu kendalikan dengan rasa bersalah.”

Ayah perlahan berdiri. Ia mendekatiku, mencoba menyentuh bahuku. Tapi aku mundur satu langkah.

“Aku akan selalu ada kalau kamu butuh,” katanya lirih. “Mungkin kamu belum bisa terima aku sekarang. Tapi Ayah tetap Ayahmu…”

Aku menatapnya tajam. “Ayahku adalah orang yang ada saat aku jatuh, saat aku lapar, saat aku takut. Dan kamu tidak ada di semua saat itu.”

Ayah tak berkata apa-apa lagi. Ia melangkah keluar, meninggalkan aroma parfum mahal dan kenangan yang tak bisa ditebus.

Hari-hari setelahnya, aku kembali fokus pada Ibu.

Kami mulai periksa ke dokter. Biayanya? Kami jual dua alat hair-dryer dan satu kursi cuci rambut. Aku juga bantu mencuci rambut pelanggan, menata handuk, dan mencatat pemasukan kecil-

kecilan. Semuanya demi pengobatan Ibu.

Setiap malam, aku bacakan surat-surat Ibu yang dulu ia tulis untukku. Tapi kali ini, aku balas dengan tulisanku sendiri.

Bu, aku nggak akan biarin Ibu sendirian lagi. Dulu mungkin aku kecil dan lemah. Tapi sekarang aku akan jaga Ibu, seperti Ibu dulu jaga aku meski dari kejauhan.

Kita nggak perlu keluarga besar yang mengaku-aku. Kita cukup jadi keluarga kecil yang saling menggenggam meski jatuh berkali-kali.

Aku nggak tahu masa depan, tapi satu hal aku yakin: Aku anak dari Ibu yang kuat. Dan itu cukup untuk jadi siapa pun yang aku mau.

Suatu sore, saat menata buku tabungan dan resep obat, Ibu Aisyah mengajakku duduk di kamar.

“Alena, ada satu hal lagi yang belum Ibu bilang…”

Aku menoleh. “Apa, Bu?”

Ibu menghela napas panjang. “Kamu bukan satu-satunya anak Ayahmu dari Ibu.”

Jantungku nyaris berhenti berdetak.

“Maksud Ibu?”

“Ayahmu… pernah tahu bahwa kamu punya kakak. Kakak laki-laki. Tapi waktu Ibu diusir, Ibu sedang hamil anak kedua. Dia… meninggal saat lahir. Dan Ayahmu... tak pernah tahu.”

Tubuhku membeku.

“Namanya... Raka. Ibu sempat kasih nama itu sebelum ia dikubur diam-diam di belakang rumah kontrakan dulu.”

Aku tak bisa berkata-kata. Ada tangis yang menggumpal di tenggorokan tapi tak bisa keluar. Ada luka baru yang terasa segar, seolah baru saja dipotongkan ke jantungku.

“Kamu pernah tanya kenapa Ibu begitu keras menolak kehadiran Ayahmu lagi, kan? Ini alasannya. Karena luka yang kamu tahu… belum setengah dari yang Ibu tanggung. Tapi Ibu pilih diam, karena Ibu nggak mau kamu tumbuh dengan dendam. Ibu ingin kamu tetap punya kesempatan mencintai... meski dunia pernah menolakmu.”

Aku menangis malam itu. Menangis sejadi-jadinya. Bukan hanya untuk diriku, tapi untuk Raka, untuk Ibu, dan untuk semua perasaan yang selama ini harus ku tahan karena aku terlalu sibuk bertahan hidup.

Pagi keesokan harinya, aku menatap wajah Ibu yang masih tidur. Di balik garis keriput dan napas pelan, aku melihat perempuan paling kuat dalam hidupku. Dan aku tahu...

Aku tak boleh menunggu waktu. Aku harus bertindak.

Mulai hari itu, aku tulis surat ke yayasan bantuan pasien tidak mampu. Aku kirim email ke komunitas kesehatan. Aku minta bantuan guru BP di sekolah, bahkan mengisi formulir beasiswa karena ingin mengurangi beban Ibu.

Aku tahu mungkin hasilnya tak instan. Tapi aku tidak akan diam. Karena kali ini, aku tidak ingin jadi korban. Aku ingin jadi penyelamat.

Bagi Ibu.

Bagi diriku sendiri.

Sudah beberapa hari sejak pertemuanku dengan Ayah. Sejak Ibu menceritakan tentang kakakku, Raka. Sejak kenyataan baru itu menamparku tanpa ampun.

Tapi di balik semua itu, ada satu hal yang perlahan menjadi pelipur lara: Keisha.

Gadis dengan rambut kriting acak-acakan, suara nyaring seperti toa masjid, dan tawa yang bisa membuat satu kelas berhenti menangis hanya untuk ikut ngakak bersamanya.

Pertemuan kami sebenarnya tidak dramatis. Tidak seperti di sinetron atau novel-novel cinta. Kami bertemu di kantin sekolah ketika aku tidak punya uang, dan Keisha sedang memesan mi ayam level tiga sambal.

“Aduh, Bu! Jangan pelit sambalnya! Mi ayam itu bukan mi ayam kalo sambalnya cuma tiga tetes!” katanya keras, sampai ibu kantin cemberut.

Aku berdiri di belakangnya, memegang uang seribu rupiah. Perutku keroncongan. Ragu mau balik ke kelas atau tetap mengantri, walau tahu uangku tak cukup bahkan untuk gorengan.

Keisha menoleh. Matanya tajam, tapi senyumnya seperti matahari pagi.

“Eh, kamu anak baru ya? Alena, kan? Wajahmu kayak nama-nama di novel yang sedih-sedih gitu lho. Penuh penderitaan. Nih, gue traktir gorengan satu. Tapi harus janji ketawa!”

Aku sempat bingung. Dia ini siapa? Tapi entah kenapa, aku tertawa kecil.

“Gue Keisha. Sahabat kamu yang ditakdirkan oleh semesta untuk menyelamatkanmu dari kesuraman dunia!” katanya dramatis, lalu menggandeng tanganku ke bangku kantin.

Sejak hari itu, hidupku jadi sedikit lebih ringan.

Keisha selalu punya cara untuk membuatku lupa bahwa di rumah ada obat jantung Ibu yang makin menipis. Bahwa Ayah pernah memelukku tapi bukan sebagai anak, melainkan sebagai rahasia yang memalukan. Bahwa aku pernah punya kakak yang tak pernah sempat ku gendong.

“Le, lo harus ikut pentas seni minggu depan!” katanya di kelas sambil menjambak rambutnya sendiri yang sudah dipilin jadi dua sanggul aneh. “Gue mau bikin drama musikal tentang kisah cinta mi ayam dan tahu isi!”

Aku terkekeh. “Apa maksudnya tuh?”

“Ya ceritanya si mi ayam itu suka sama si tahu isi. Tapi mereka beda kasta, Le! Mi ayam itu menu berat. Tahu isi cuma jajanan. Mereka dipisahkan oleh ibu kantin dan takdir sambal!”

Aku hampir tersedak air minumku.

Tawa Keisha menular. Dan entah kenapa, hari itu aku merasa... aku tak sendirian.

Keisha punya segalanya yang aku tidak punya: keberanian berbicara tanpa takut, orang tua yang terbuka, dan rumah yang tak penuh rahasia. Tapi dia juga punya luka, yang tak semua orang tahu.

Suatu sore, aku ke rumahnya. Kami sedang mengerjakan tugas matematika, atau lebih tepatnya: dia yang mengerjakan, aku yang mengantuk.

Tiba-tiba dia berkata, “Le... lo tahu nggak, nyokap gue dulu ninggalin bokap gue pas gue umur 4 tahun. Katanya bokap gue terlalu santai urus hidup. Tapi nyokap gue juga terlalu sibuk ngejar kesempurnaan. Jadi ya... mereka cerai. Dan gue tinggal sama bokap. Itu kenapa gue suka bercanda.

Soalnya, kalau gue serius, rasanya kayak balik ke masa kecil yang kosong banget.”

Aku terdiam. Lalu perlahan, ku genggam tangannya.

“Jadi kita sama-sama anak yang ditinggalin ya?” kataku pelan.

“Tapi kita nggak sama-sama nyerah, kan?”

Aku mengangguk. “Nggak.”

“Bagus!” Keisha berdiri, lalu berpose ala Sailor Moon. “Bersama kita adalah duet kesedihan dan kekonyolan yang tak bisa dikalahkan dunia!”

Sejak itu, hari-hari bersamaku dan Keisha berubah menjadi komedi kecil di tengah tragedi besar. Dia menulis namaku di daftar lomba baca puisi tanpa izin. Dia mengajakku syuting video lucu berjudul “Drama Ibu-Ibu di Salon” dan mengunggahnya ke TikTok. Videonya viral kecil-kecilan, dan tiba-tiba banyak orang yang mengomentari, “Anak-anak ini bakat aktingnya gede banget!”

Aku mulai merasa punya masa depan.

Punya sesuatu yang bisa kulakukan.

Punya alasan untuk terus berdiri.

Dan saat Keisha bilang, “Le, lo harus daftar beasiswa seni itu. Serius. Gue bantu bikinin videonya. Kita pake konsep dramatis. Lo cerita tentang lo dan Ibu lo. Lo bisa, Le. Lo harus bisa keluar dari hidup ini dan buka jalan baru.”

Aku hampir menangis.

Untuk pertama kalinya, seseorang percaya padaku bahkan saat aku belum percaya pada diriku sendiri.

Dan malam itu, saat aku menceritakan semua tentang Keisha pada Ibu, beliau tersenyum lemah.

“Ibu senang kamu punya teman seperti dia.”

“Iya, Bu. Aku juga.”

“Teman seperti itu langka, Le. Jangan lepaskan. Tapi juga jangan lupakan siapa dirimu.”

Aku mengangguk. Lalu membuka ponselku. Di layar, sudah ada draft video tentang kisah hidupku dan Ibu, dibantu Keisha.

Aku melihat wajahku sendiri di layar, dan berkata dalam rekaman itu:

Namaku Alena. Aku bukan siapa-siapa. Anak dari istri kedua yang tak diakui. Tapi aku punya mimpi. Dan sekarang, aku punya sahabat. Dan aku akan memperjuangkan semuanya, bukan untuk balas dendam, tapi untuk membuktikan: anak yang lahir dari luka, tetap bisa tumbuh jadi harapan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel