Harapan yang Terbit di Tengah Derita
Hari-hari setelah pembuatan video beasiswa itu terasa penuh semangat. Untuk pertama kalinya, aku dan Keisha bukan hanya menghabiskan waktu untuk tertawa, tapi juga berkarya.
Setiap adegan yang kami rekam, setiap kalimat yang keluar dari mulutku di depan kamera, seperti membongkar lapisan-lapisan luka dalam diriku. Tapi anehnya, itu tak menyakitkan. Justru terasa membebaskan."Aku yakin lo bakal lolos, Le!" kata Keisha sambil memegang ponsel yang masih memutar video finalnya. “Ini bukan cuma kisah sedih. Ini kisah harapan. Lo tuh simbol dari 'anak yang nggak nyerah'. Itu powerful banget, tahu nggak!”
Aku hanya tertawa. “Lo terlalu percaya sama gue, Sha.”
“Nggak! Dunia aja yang belum tahu lo sehebat itu!”
Kami tertawa, tapi jauh di dalam hati, aku takut berharap terlalu tinggi.
Seminggu setelah pengiriman video, aku menerima email.Selamat, Alena. Kamu terpilih sebagai salah satu calon penerima Beasiswa Muda Berkarya!
Tanganku gemetar.
Mataku berkaca-kaca.
“Ibu... aku... aku dapat!” teriakku di ruang tamu, sambil berlari ke kamar tempat Ibu sedang berbaring.
Ibu menoleh pelan, senyumnya mengembang. “Alhamdulillah... kamu memang pantas, Nak.”
Tanganku menggenggam tangan Ibu yang mulai dingin. Sudah tiga hari ini, Ibu sering pucat. Nafasnya kadang sesak. Tapi ia selalu bilang, "Ibu cuma kecapekan, Le."
Aku tahu itu bohong. Tapi aku memilih pura-pura percaya. Mungkin karena aku terlalu takut menghadapi kenyataan.
Dua hari kemudian, saat aku pulang dari sekolah, rumah kosong.
Pintu terbuka, kursi goyang Ibu tak bergoyang.
Aku panik.
Sampai tetangga depan rumah, Bu Nur, keluar dengan wajah panik. “Alena! Ibumu dibawa ke puskesmas. Tadi pingsan di dapur. Kakimu juga nggak kedengaran. Ibu nyuci sendiri tadi pagi…”
Aku seperti dilempar ke jurang.
Aku berlari, sepatu belum kulepas, napas tak beraturan. Sampai di puskesmas, kulihat tubuh Ibu terbaring dengan selang infus di tangan. Bibirnya pucat. Matanya terbuka sedikit, lalu menutup lagi.
Dokter berkata jantungnya melemah. Kondisinya kritis. Butuh penanganan di rumah sakit besar. Tapi biayanya...
Aku duduk di kursi ruang tunggu. Ponselku bergetar. Ada pesan masuk.
Ayah
"Alena, Ayah dengar dari tetangga soal Ibumu. Kalau kamu izinkan, Ayah bisa bantu. Tolong jangan abaikan. Ini darurat."
Aku menatap layar lama sekali. Lalu kututup pesan itu. Kutekan tombol matikan layar. Tapi air mataku sudah jatuh duluan.
Aku tak tahu harus bagaimana.
Esoknya, saat Keisha datang membawakan makanan dan uang sumbangan dari teman-teman sekolah, aku duduk lesu.
"Gue tahu ini berat, Le. Tapi lo nggak sendiri," katanya lembut. “Gue tahu lo muak sama Ayah lo. Tapi... gimana kalo kali ini lo nggak mikir soal dendam dulu? Mikirin Ibu lo aja dulu, Le.”
Aku menatapnya.
Mungkin ini bukan tentang memaafkan Ayah. Tapi tentang menyelamatkan satu-satunya orang yang kucintai.
Aku akhirnya membalas pesan Ayah.
“Ibu butuh rumah sakit besar. Biayanya terlalu berat. Kalau Ayah mau bantu, bantu Ibu. Bukan aku.”
Ayah langsung membalas.
“Kirimkan di mana Ibumu dirawat sekarang. Ayah akan datang.”
Sore itu, Ayah datang.
Tapi tidak sendiri.
Ia membawa seorang perempuan yang sangat cantik. Rambut panjangnya tertata rapi. Wajahnya kalem. Ia menggenggam tangan seorang anak perempuan seumuranku—wajahnya mirip Ayah.
Itulah ibu tiriku, dan adik tiriku.
Perempuan itu menatapku dengan senyum tipis. Anak perempuannya tampak bingung melihatku.
"Alena, ini Tante Dinda, istri Ayah. Dan ini Dira, adikmu," kata Ayah pelan.
Aku hanya menunduk.
Perasaan bercampur aduk. Malu, marah, getir,dan... kosong.
Tanpa banyak bicara, Ayah menyerahkan berkas rawat inap baru ke bagian administrasi. Ibu akan segera dipindahkan ke rumah sakit besar di kota.
“Saya sudah koordinasi. Dokter terbaik akan tangani beliau,” katanya tegas.
Aku menatapnya. “Terima kasih... Tapi setelah ini, aku tetap bukan bagian dari keluarga kalian. Jangan salah paham.”
Ayah mengangguk pelan. “Ayah tahu. Tapi kalau ada kesempatan memperbaiki... biarkan Ayah mencobanya, meski kamu tak pernah mengizinkan Ayah masuk ke hidupmu lagi.”
Malam itu, di rumah sakit, saat Ibu sudah dipindahkan dan mulai sadar, aku menggenggam tangannya dan menceritakan semuanya.
Tentang beasiswa.
Tentang bantuan Ayah.
Tentang keluarga barunya.
Ibu hanya tersenyum lemah. “Kamu sudah dewasa, Le. Kamu tahu kapan harus melepaskan amarah untuk menggenggam harapan.”
Air mata menetes di pipiku.
“Kalau Ibu pergi nanti, kamu tetap punya jalan. Kamu tetap bisa kuat.”
Aku menggeleng keras. “Ibu jangan bicara gitu! Aku belum siap...”
“Ibu juga belum siap. Tapi hidup bukan soal siap atau nggak. Tapi soal berani... meski belum siap.”
Aku memeluknya.
Dalam pelukan itu, aku sadar...
Mungkin aku memang lahir dari istri kedua yang dibuang. Tapi dari luka itu, tumbuh keberanian yang tak bisa dimiliki siapa pun.
Dan dengan atau tanpa Ayah, aku akan jadi anak yang layak dibanggakan. Untuk Ibu. Untuk diriku sendiri.
Malam itu, setelah Ibu kembali tertidur karena obat penenang, aku duduk di kursi penunggu dengan mata sembab. Lampu temaram rumah sakit membuat semuanya terasa lebih sepi, lebih menggema di hati.
Keisha duduk di sebelahku sambil membuka kotak makan yang ia bawa dari rumah.
“Nih. Gue tahu lo nggak doyan makan rumah sakit. Ini nasi goreng buatan Babe gue. Pedesnya kayak mantan yang ninggalin pas lagi sayang-sayangnya.”
Aku tersenyum kecil, meski rasanya hatiku terlalu beku untuk tertawa.
Keisha mengunyah lahap, lalu tanpa basa-basi menatapku lurus-lurus.
“Lo masih kepikiran soal Ayah lo ya?”
Aku hanya mengangguk.
“Lo tahu, kan? Gimana pun juga, dia udah bantu. Meski telat, meski lo kecewa. Tapi nggak semua orang bisa seberani lo, Le. Lo tetap berdiri. Lo tetap sayang sama Ibu lo, nggak berubah. Dan sekarang lo bisa sekolah dengan beasiswa. Itu pencapaian besar, tahu nggak?”
Aku menoleh ke arahnya. “Kadang gue mikir, kenapa harus gue? Kenapa harus aku yang jadi anak dari istri kedua? Kenapa bukan anaknya yang lain? Yang sah? Yang hidupnya jelas?”
Keisha diam sesaat, lalu berkata pelan, “Karena Tuhan tahu kamu bisa.”
Kalimat itu seperti menyentuh sesuatu di dalam hatiku. Hangat. Menyakitkan. Tapi juga menyadarkan.
Keesokan paginya, aku berjalan ke kantin rumah sakit untuk membeli teh hangat. Saat kembali, aku melihat seseorang duduk di bangku luar kamar Ibu. Sosok kecil yang tak asing lagi.
Dira.
Adik tiriku.
Ia mengenakan jaket pink dengan gambar kartun. Wajahnya murung, kakinya menggoyang-goyang pelan di ujung bangku. Tangannya menggenggam sebungkus permen kapas.
Aku ragu mendekat. Tapi ia lebih dulu melihatku.
“Mbak Alena?”
Aku tertegun. “Kamu... ingat namaku?”
Ia mengangguk. “Iya. Papa cerita.”
Aku menarik napas. Ingin berkata sesuatu, tapi tak tahu harus mulai dari mana.
Tiba-tiba, Dira berdiri dan berjalan ke arahku. Tangannya mengulurkan permen kapas.
“Nih. Buat Mbak. Aku lihat Mbak sedih terus.”
Aku menatapnya lama, lalu tersenyum kecil. Kuambil permen itu.
“Terima kasih...”
Dira menatapku polos. “Mama bilang, Mbak bukan orang jahat. Tapi Mama juga bilang, kadang orang dewasa bikin keputusan yang nyakitin banyak orang. Aku nggak ngerti maksudnya. Tapi... aku pengen kenal sama Mbak.”
Aku menahan napas. Dunia seperti berhenti sejenak.
Anak yang bahkan bukan bagian dari rencanaku untuk hidup... mengulurkan tangan lebih dulu.
Dan saat itu, untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa seperti... kakak.
Siang harinya, saat Ayah datang menjenguk Ibu, ia sempat terkejut melihat aku dan Dira duduk bersama, memainkan origami dari kertas tisu rumah sakit.
“Dia pintar, ya,” gumam Dira sambil menunjukkan bunga yang kubuat. “Aku mau bikin seribu origami buat Mbak Alena. Biar Mbak nggak sedih terus.”
Ayah terdiam. Suaranya serak. “Alena... terima kasih mau... mengenalnya.”
Aku hanya menunduk.
Aku belum sepenuhnya memaafkan Ayah.
Tapi aku juga sadar, memelihara dendam hanya akan mewariskan luka ke generasi setelahku.Dan aku tidak mau Dira—atau siapa pun—merasa jadi korban dari keputusan orang dewasa yang egois.
Hari-hari berikutnya, Ibu mulai menunjukkan tanda-tanda membaik, meski masih dalam pengawasan intensif.
Beasiswa yang kudapat mulai masuk tahap lanjutan: wawancara dan presentasi karya.
Keisha terus membantuku menyiapkan semuanya. Dari konsep video hingga latihan menjawab pertanyaan juri.“Lo harus tunjukin kalau lo bukan cuma anak korban perceraian,” katanya sambil menempelkan kertas post-it penuh motivasi di dinding. “Lo itu petarung. Lo itu... inspirasi!”
Aku tertawa kecil. “Lo ini kayak motivator gagal ya, Sha.”
“Eh, enak aja. Gue bisa bikin seminar kalau mau!” katanya sok serius.
Tawa kami mengisi malam.
Dan dalam hati, aku berjanji... aku akan membuat semua ini berarti. Luka yang pernah ada, akan jadi alasan untuk bangkit. Bukan alasan untuk menyerah.Malam terakhir sebelum presentasi beasiswa, Ibu memintaku duduk di samping tempat tidurnya.
“Alena... Ibu bangga sama kamu.”
Aku menggenggam tangan Ibu yang mulai hangat kembali.
“Aku juga bangga jadi anak Ibu.”
“Kalau nanti Ibu harus pergi... jangan simpan dendam, ya. Jangan simpan marah. Karena kamu bukan anak dari rasa sakit. Kamu anak dari cinta yang pernah ada, meski berakhir dengan luka.”
Aku menangis dalam diam.
Dan malam itu, aku tahu... besok aku akan berdiri di panggung presentasi bukan sebagai Alena si anak dari istri kedua, tapi sebagai Alena—anak dari seorang ibu hebat yang mengajarkannya bertahan bahkan ketika dunia tak berpihak.
