#####SURAT YANG DI SEMBUNYIKAN
Pagi itu, sinar matahari menembus celah jendela kamarku dengan enggan. Seperti aku—enggan bangun, enggan kembali menghadapi tatapan Ibu yang dingin, dan enggan pura-pura bahagia. Tapi hidup tidak pernah menunggu mereka yang lelah, bukan?
Aku menatap bayanganku di cermin. Rambutku kusut, mata sembab bekas tangisan semalam, dan wajah pucat yang tak asing bagiku. Wajah yang... bukan milik Ibu. Tak pernah terasa seperti bagian dari dirinya.
Setelah mandi dan bersiap ke sekolah, aku melewati ruang makan dengan langkah hati-hati. Ibu ada di sana, duduk dengan rapi, mengaduk teh tanpa menatap siapa pun.
“Ayo makan,” katanya, tanpa sedikit pun intonasi keibuan.
Aku mengangguk tanpa suara. Vina duduk di sebelahnya, menggulir layar ponsel sambil tertawa kecil. “Tadi malam ada yang nguping, ya?” bisiknya tanpa melihatku.
Aku menoleh. “Apa maksudmu?”
Ia hanya mengangkat bahu. “Suara orang bisik-bisik di balik pintu tuh nyaring banget, tahu?”
Aku menahan napas. Jangan terpancing, Lena. Jangan.
Siang harinya, aku izin pulang lebih awal dari sekolah. Kepala sekolah percaya alasan klasik: sakit perut dan migrain. Tapi kenyataannya, aku sedang membara. Ada sesuatu yang harus kutemukan—dan aku tahu di mana mencarinya.
Langkahku langsung menuju gudang tua di lantai dua, ruang yang jarang dibuka dan selalu dipenuhi debu serta benda-benda masa lalu yang ditumpuk seperti rahasia. Aku membuka cahaya dramatis yang menusuk gelap.
Aku mulai mengobrak-abrik dus-dus yang tertumpuk. Ada baju bayi, boneka rusak, foto-foto tua—beberapa menampilkan Ayah dan Ibu dalam acara keluarga. Tapi tidak ada satu pun yang menunjukkan keberadaanku. Aku tak pernah ada di bingkai kenangan itu.
Sampai akhirnya, aku menemukan sebuah kotak kayu dengan gembok tua—rapuh, mudah dibuka dengan penjepit rambut. Di dalamnya, ada setumpuk kertas usang, beberapa foto, dan... sebuah surat dalam amplop kuning tua.
Dengan jari bergetar, aku membuka surat itu.
"Untuk Alena, jika kau suatu hari membaca ini, berarti kau sudah cukup besar untuk tahu kebenaran..."
Aku menahan napas.
"...Aku ibumu. Namaku Aisyah. Aku dan ayahmu pernah menikah diam-diam. Tapi ketika aku mengandungmu, keluarganya memaksanya menikah dengan perempuan pilihan mereka. Aku menolak menyerahkanmu, tapi pada akhirnya... aku kalah. Kau diambil dariku saat masih bayi. Dan sejak itu, aku tak pernah melihatmu lagi."
Tanganku gemetar hebat. Aku terhuyung mundur, terduduk di lantai yang dingin.
Ibu kandungku... masih hidup?
Mataku kembali ke foto di dalam kotak. Seorang perempuan muda tersenyum sambil menggendong bayi. Matanya—itu mataku. Senyum yang lembut tapi lelah. Di belakangnya, tampak latar toko kecil bertuliskan: “Salon Aisyah — Rawamangun.”
Aku memeluk surat itu. Air mata jatuh tak bisa kubendung. Tapi kali ini, air mata itu membawa harapan.
“Bu... kau tidak meninggalkanku,” bisikku. “Mereka yang memisahkan kita.”
Aku menoleh ke pintu gudang, mendadak merasa waspada. Jika surat ini pernah disembunyikan, berarti seseorang tidak ingin aku tahu kebenaran. Bisa jadi Ayah... atau malah Ibu tiriku?
Suara langkah kaki di tangga membuat jantungku nyaris meloncat. Aku buru-buru memasukkan surat dan foto ke saku sweaterku.
“Lena?” suara Ibu terdengar dari bawah. “Kamu di atas?”
Aku diam. Menahan napas.
Langkahnya makin dekat. Aku buru-buru menutup kotak, merapikan kembali dus-dus, lalu keluar dari gudang seperti tak terjadi apa-apa.
Di depan pintu, Ibu berdiri dengan wajah datar. “Ngapain kamu di atas?”
Aku menatap matanya. Untuk pertama kalinya, aku tidak takut.
“Nyari jawaban,” jawabku pendek.
Dia menatapku curiga, tapi tak berkata apa-apa. Mungkin tak menyangka aku akan menjawab seperti itu.
Malamnya, aku duduk di ranjang sambil memegang surat itu erat-erat. Rasanya seperti memegang sisa-sisa jiwaku yang lama hilang. Aku membuka ponsel, mengetik kata kunci: “Salon Aisyah Rawamangun.”
Tak butuh waktu lama untuk menemukan sebuah akun Instagram tua, dengan foto terakhir lima tahun lalu. Tapi ada satu komentar baru—bulan lalu: “Masih buka nggak, Bu?”
Aku senyum kecil. Mungkin aku tinggal satu langkah lagi menuju kebenaran.
Malam itu, aku tak bisa tidur. Surat dari Ibu kandungku masih terlipat rapi di bawah bantal. Setiap kalimatnya terus berputar di kepalaku.
“Kau diambil dariku saat masih bayi…”
“…Sejak itu, aku tak pernah melihatmu lagi.”
Tanganku bergetar tiap kali menyentuh kertas itu. Ini bukan sekadar tulisan, ini jeritan hati seorang ibu yang kehilangan anaknya.
Mataku tertuju pada foto kecil dari kotak kayu itu—perempuan dengan senyum lelah dan sorot mata yang dalam. Entah kenapa, aku merasa... dekat. Seperti aku pernah merindukan sosok ini seumur hidupku.
Aku membuka ponsel, kembali mencari informasi tentang Salon Aisyah Rawamangun. Tapi kali ini aku mencoba lebih dalam—mencari jejak di Google Maps, review, bahkan akun Facebook yang tersambung ke lokasi itu. Ada satu foto lama: tampak seorang wanita berkerudung abu-abu muda berdiri di depan salon sederhana, menata rambut seorang anak kecil.
"Bu Aisyah," nama itu muncul di caption.
Hatiku berdegup. Tanganku spontan mengambil hoodie, dan menyelipkan surat itu ke dalam dompet kecil. Mungkin gila, tapi aku merasa harus pergi malam ini juga.
Pukul 23.42. Aku menyelinap keluar lewat pintu samping dapur. Angin malam cukup dingin, menusuk kulit, tapi tidak sedingin perasaan yang kutanggung selama bertahun-tahun.
Sepeda tua Ayah masih ada di gudang belakang. Kupakai itu, meluncur perlahan di jalan sepi. Sepanjang jalan Rawamangun, lampu-lampu jalan temaram dan toko-toko sudah tutup. Tapi aku tetap mengayuh. Entah apa yang mendorongku—mungkin dendam, mungkin rindu yang tak pernah kutahu berasal dari mana.
Akhirnya, aku sampai di sebuah lorong sempit dengan plang kecil berkarat: “Salon Aisyah.” Sudah gelap. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Tapi sesuatu menarik mataku—di balik pintu kacanya, ada cahaya kecil dari lampu tidur dan... bayangan seseorang.
Aku menelan ludah. Ragu. Haruskah aku mengetuk? Atau kembali besok pagi?
Sebelum sempat mengetuk, suara pelan dari belakang mengejutkanku.
“Lena?”
Aku membalikkan badan cepat. Sosok yang berdiri di sana membuat darahku membeku. Vina.
“Ngapain kamu di sini?” katanya tajam.
Jantungku berdetak liar. “Kamu ngikutin aku?”
Dia melipat tangan di dada. “Aku curiga kamu sembunyiin sesuatu. Kamu makin aneh sejak semalam. Jadi aku ikutin aja. Dan ternyata benar…”
“Jangan ikut campur, Vin.” Suaraku dingin. “Ini urusanku.”
“Tapi kamu bagian dari keluarga kita. Kamu bikin Ibu stres, tahu?” nada suaranya berubah jadi sinis. “Apa kamu pikir bisa nemuin Ibu kandungmu dan ninggalin semuanya begitu aja?”
Aku menatapnya, kali ini tanpa takut. “Keluarga? Kamu nggak tahu rasanya jadi orang asing di rumah sendiri. Aku cuma mau tahu siapa yang benar-benar ibuku. Aku berhak tahu.”
Vina terdiam. Mulutnya terbuka sedikit, tapi tak berkata-kata. Mungkin untuk pertama kalinya, dia sadar—aku bukan sekadar bayangan yang bisa diabaikan.
Tiba-tiba, pintu salon terbuka pelan. Seorang perempuan paruh baya muncul dari balik tirai, mengenakan baju tidur longgar dan wajah terkejut. Matanya menatapku... lama. Dan entah mengapa, air matanya jatuh begitu saja.
“Alena?” suaranya lirih.
Aku tertegun. Jiwaku seperti terguncang.
“Bu…?” bisikku.
Kami saling menatap dalam diam, dua jiwa yang terpisah oleh waktu, kini berdiri dalam satu bingkai kenyataan.
Tapi sebelum aku bisa mendekat, suara keras membuyarkan semuanya.
BRAK!
Sebuah mobil berhenti mendadak di ujung gang. Ayah keluar dari dalam, wajahnya panik. Dan di sebelahnya... Ibu. Wajahnya merah padam, penuh amarah.
“Apa yang kamu lakukan di sini, Alena?!” teriaknya.
Aku memandangnya. Untuk pertama kalinya, aku tidak gentar.
“Aku cuma cari ibuku yang sebenarnya,” jawabku. “Yang nggak pernah membenciku.”
