3
Lamia pada saat itu terbangun di pukul delapan pagi. Satu pelayan muda yang semalam mengantarkan nya ke ruang makan, datang untuk membantu nya membersihkan diri. Dari beberapa percakapan yang mereka lakukan, Lamia mengetahui bahwa gadis pelayan ini bernama Sheryn. Umurnya baru berusia sembilan belas tahun, dia putus sekolah sewaktu SMA kelas satu dan menjadi pembantu sudah lebih tiga tahun di rumah ini.
Setelah Sheryn membantu nya mengenakan pakaian dan mengantarkan makanan pagi nya.
Lamia di tinggal kan di kamarnya sendirian. Wanita itu sempat bertanya pada Sheryn, mengapa ia tak di antar ke ruang makan dan makan seperti saat malam itu bersama-sama? Mengapa dia sarapan di kamar?
Sheryn menjawab bahwa di rumah ini memberlakukan sistem dimana makan malam semua orang harus hadir di ruang makan untuk saling bertatap muka walau hanya beberapa menit. Tapi kegiatan makan di saat sarapan atau makan siang mereka tidak menganjurkan untuk makan bersama. Kegiatan di rumah mansion ini begitu sibuk, bahkan Nyonya Besar Wardana yang Lamia ketahui tidak bisa berjalan itu memiliki kesibukan. Sementara Lingga, Aurel dan Damar sudah pagi-pagi sekali pergi dari rumah untuk sekolah dan
bekerja di kantor.
Lamia menanyakan pekerjaan macam apa yang di lakukan wanita tua Merry dengan kekurangan nya. Sheryn memberitahu kalau Merry adalah pemilik dari sebuah butik terkenal yang bekerja di belakang layar sebagai kepala desainer. Lamia yang mendengar ini merasa kagum.
Wanita tua itu tampaknya saja tua dengan rambut memutih dan banyak keriput di sana-sini, tapi otak nya sama sekali belum rusak, di hari tuanya yang seharusnya bersantai dan menikmati masa menua masih bisa menguras otak untuk menghasilkan sebuah maha karya. Lamia sedikit tidak percaya.
Sheryn kemudian menambahkan bahwa Siska membantu Merry dan saat itu Lamia merasa ia bisa menganggap semuanya baru masuk akal.
Siang ini, Lamia memutuskan keluar dari kamar megah nya. Berpikir untuk berjalan-jalan ke sekitar mansion, Lamia hampir terserang bosan karena tidak ada hal yang menarik perhatian nya.
Seperti tatapan horror para pelayan semalam, siang ini juga Lamia mendapatkan tatapan itu lagi. Hanya saja di tambah oleh beberapa pengawal yang berdiri di setiap sudut mansion tampak diam-diam mengawasi nya.
Lamia benci di awasi. Seperti teroris, dan itu mengganggu kenyamanan nya.
Ini sangat aneh, penghuni mansion ini sangat aneh.
Beberapa kali Lamia berpikir, tapi ia tak bisa berpikir, otak nya kosong, Lamia bingung harus melakukan apa selain mengikuti apa kata hati. Menerka-nerka apa yang sebenarnya ia telah lewatkan diam-diam sampai membuat mereka—hampir semua penghuni mansion tampak waspada terhadap nya.
Lamia tidak tahu sudah sampai mana ia berpikir sambil berjalan saat suatu ketika suara maskulin pria terdengar dari belakang nya.
"Apa sangkar emas mu sudah terasa membosankan, Tuan Puteri?"
Lamia berhenti merenung, ia saat ini sudah menapaki rumput subur di belakang mansion. Di depan nya ada sebuah danau buatan yang cukup banyak membuat Lamia terkagum karena penampilan danau itu yang cantik dan elegan, di sekeliling ada bebatuan yang di atur mengelilingi danau. Di sela-sela batu ada beberapa akar dari pohon dan bunga-bunga segar menghiasi. Tepat di samping danau itu ada sebuah pohon beringin yang pendek namun lebat.
Menyimpan keindahan itu baik-baik di dalam memori nya, Lamia lalu berbalik untuk menghadapi sebuah suara yang tadi terdengar. Matanya langsung menangkap sepasang mata biru asing seorang pria berpakaian casual yang berdiri dengan gestur melipat tangan di bawah dada.
Mata yang menusuk nya dengan banyak celaan dan hinaan kental, menatap penuh merendahkan padanya. Ada sikap tubuh sombong dan angkuh di dalam diri pria itu saat Lamia menatap nya dengan bingung.
"Kamu siapa?"
Pria itu mengejek. "Aku tidak percaya, semudah itu kamu sudah melupakan ku?"
Lamia mengerjap. "Maaf. Aku amnesia."
Bukan ekspresi terkejut yang Lamia dapatkan, melainkan tawa keras pria itu yang tampak menganggap ucapan Lamia adalah sebuah lelucon besar yang patut di tertawakan. Lamia bertanya-tanya di dalam hati, siapa orang ini? Dari sekilas pandang, pria ini mirip sekali dengan Lingga. Apa mereka bersaudara?
Lamia langsung teringat. "Abi, kamu sudah pulang?"
Pria yang Lamia sangka itu suaminya langsung menatap ngeri dirinya. Lamia cepat-cepat sadar.
"Kamu bukan Abi."
"Kalau kamu hendak membanding aku dengan dia. Jelas lebih tampan aku." Pria itu mengusap rambut berantakan nya dengan narsis.
Lamia yang melihat itu entahkenapa sedikit mengernyit kan dahi. Walau harus ia akui betapa Wardana bersaudara sangat tampan-tampan, Lamia belum pernah merasakan saat dimana ia ingin sekali muntah mendengar ucapan seseorang. Mendengarkan kalimat penuh nada narsis itu yang keluar dari mulut pria di depan nya sekarang, Lamia dengan meriah, memberikan pandangan jijik.
Pria itu sedikit terdiam, "...
Ketika Lamia ingin menghilang dari sana, pria itu berdeham untuk menahan nya. "Kamu benar-benar tidak mengingat apa pun?"
"Aku ingin sekali mengingat masa lalu ku, tapi fakta nya aku tidak mengingat apa pun atau siapa pun di rumah ini."
"Tidak mengingat apa pun berarti kamu sama seperti bayi yang baru saja terlahir?" Pria itu terkejut, dan Lamia merasa orang di depan nya memiliki karakter bodoh.
Lamia akhirnya bertanya. "Apa itu bayi?"
"Kamu sungguh tidak tahu? Siapa yang membersihkan kotoran mu tadi pagi saat kamu membuang hajat? Kamu tidak mengompol atau poop di kasur kan?"
"Apa gunanya pelayan di rumah ini kalau melakukan pembersihan seperti mencuci selimut tidur saja tidak bisa?" Lamia menyatakan nya dengan polos, namun bagi pria di depan nya itu terdengar seperti Lamia baru saja memakan ayam mentah dengan darah yang masih menetes langsung di depan nya.
Ada ekspresi panik, terkejut, dan horror serta jijik juga mual dalam satu-satuan waktu. Lamia akhirnya tidak bisa menahan dirinya lagi dan tertawa terpingkal melihat itu semua. Menyadari bahwa wanita di depan nya ini sudah sukses mempermainkan nya, pria itu bergiliran mendesis kesal. Ia tidak menyangka wanita licik di depan nya ini memanfaatkan kelengahan nya.
"Aku tau kamu hanya akting, kamu memang sosok ular yang benar-benar ular."
"Siapa yang kamu sebut ular?" Lamia bertanya, masih ada sisa tawa di sana. Dia bahkan harus mengelap air di sudut matanya. "Aku ingat bahwa otak ku lah yang rusak, bukan otak mu! Kamu sudah dewasa dan sudah memiliki akal dan pikiran juga rasa malu saat telanjang di depan orang asing. Kamu pikir aku benar-benar membuang seluruh kotoran dalam tubuh ku di atas kasur ketika terbangun dan mempermalukan diriku sendiri dengan membiarkan mereka membersihkan kotoran ku? Kamu perlu banyak belajar."
Pria itu tidak tahu apa dan siapa yang telah mengajari Lamia bisa berbicara sepanjang lebar itu tanpa perlu memedulikan sikap anggun dan tertutup miliknya selama ini. Wanita ini terlihat begitu naif seperti gadis remaja pada umumnya yang suka sekali menjahili orang dengan sesuatu-sesuatu tak berbobot seperti ini.
"Kamu punya banyak kemampuan." Pria itu berdeham kembali, menatap lurus pada Lamia yang menyengir di hadapan nya.
"Jika kamu bisa menebak siapa aku dengan benar, aku akan mengabulkan apa pun keinginan mu."
Dia tampak mulai serius, tidak ada lagi ekspresi mengejek atau menghina miliknya, dan Lamia bisa merasakan bahwa pria di hadapan nya ini bisa di ajak menjadi teman nya.
"Kamu Ayah mertua ku?"
"Apa?"
"Suami Ibu Merry."
"Kamu kira aku berselera menikahi nenek-nenek?" Pria itu tampak tak percaya dan jengkel.
Usianya yang masih muda tapi harus mendapatkan istri seorang nenek-nenek senja. Dimana bisa itu di benarkan? Umur mereka bahkan sangat jauh berbeda, hubungan yang keseluruhan timpang itu... lagipula, hormon seks nya tidak mungkin terbangkitkan pada seorang wanita tua yang lebih pantas menjadi Ibu nya!
"Oh, bukan?" Lamia berpikir. "Tapi Ibu hanya memiliki dua anak, Mas Lingga dan Abi. Apa kamu teman dekat nya Damar?" Lalu tiba-tiba terkejut. "Jangan-jangan kamu anak haram mertua ku?"
Pria di hadapan nya melotot. "Siapa yang kamu sebut anak haram?" Melihat wajah polos Lamia, dia tidak ada hati untuk memarahinya dan berakhir mendesah benci.
"Aku Pandji. Saudara sepupu dari Mas Rhandra. Almarhum suami Mbak Merry."
"Ah!" Lamia menepuk kedua tangan di dada, mengangguk sok mengerti.
"Paman Pandji."
"Panggil aku Pandji saja."
Lamia sedikit mengernyit, tapi dia tidak protes dan mengangguk mengiyakan. Dengan hati-hati Pandji memperhatikan Lamia lagi. Dia tidak seperti orang yang habis selamat dari kecelakaan mobil. Hanya luka di kepala dan amnesia. Pandji sendiri masih ragu, apa wanita ini benar-benar orang yang amnesia?
