Pustaka
Bahasa Indonesia

AMNESIA

43.0K · Ongoing
writter.id
31
Bab
318
View
9.0
Rating

Ringkasan

Lamia Adinata mengalami kecelakaan hingga membuat nya amnesia. Di samping itu keluarga kaya raya Rhandra Wardana telah kehilangan dokumen wasiat mengenai pembagian warisan. Desas-desus terjadi, Lamia adalah tersangka utama kekacauan Wardana bersaudara itu.

AktorTeenfictionMemanjakanDewasa

1

Malam itu sangat gelap, dingin dan lembab. Udara yang membawa kesunyian gang ini menjadi cukup mencekam. Pusing di kepala membuat orang itu tidak memahami apa yang telah terjadi pada dirinya sendiri. Tangan nya menyentuh tanah basah sehabis hujan, wajah itu tampak kotor dan penampilan nya sangat berantakan.

Dalam buram, ia samar-samar melihat sesosok tubuh tegap seseorang yang membelakangi cahaya. Dia memakai baju gelap, dan nampak seperti malaikat dan iblis dalam satu-satuan waktu. Matanya

yang biru dan asing terpancar begitu tajam. Seringai nya terlihat cukup puas. Siapa dia?

"To-long..." dengan suara tercekat, ia mencoba mengulurkan tangan pada sosok bermata biru itu. Meminta bantuan.

Darah yang mengalir melewati kepalanya, menjadikan pandangan nya tidak jelas. Pusing yang menyerang nya begitu hebat tidak bisa lagi membuat ia bertahan lama.

Sayup-sayup sebelum kegelapan memanggil nya sepenuhnya, ia mendengar orang itu berbisik. "Matilah dengan tenang, sayang."

Dia perlahan membuka mata, mengerjap sesaat untuk mengatur cahaya yang masuk ke dalam netra hazel-nya. Wanita itu mendapatkan rasa pusing cukup menyakitkan hingga tidak tau kapan seseorang tiba-tiba masuk ke dalam ruangan, tempat ia terbaring dengan bantuan infus di tangan.

"Kakak! Kamu sudah sadar?" Suaranya terdengar lega saat gadis yang tampak baru berusia dua belas tahun itu berlari mendekati nya.

"Apa yang terjadi?" Dia bertanya bingung, berusaha menggerakkan kepala untuk melihat sekeliling.

Sebuah ruangan serba putih yang hanya dirinya tangkap dalam pandangan, dengan satu sofa, meja, nakas, jendela dan ranjang tidur yang dirinya tempati sekarang ini.

"Kakak mengalami kecelakaan." Gadis itu berkata. "Aku tidak tahu detail nya sih, tapi yang jelas, Kakak sudah di rawat di rumah sakit hampir seminggu, dan baru sadar sekarang."

Kecelakaan? Dia heran. Kenapa dirinya bisa kecelakaan? Apa orang asing itu yang telah membawanya ke rumah sakit? Kalau benar, ia harus berterima kasih. Dan ngomong-ngomong, kenapa gadis ini memanggil dirinya Kakak?

"Apa kepala Kakak masih sakit?"

Dia melihat gadis itu yang tampak cemas, membuat ia akhirnya menjawab nya dengan gelengan. Dia tidak mengenali gadis ini. Dirinya mencoba berpikir, tapi hanya kekosongan yang ia rasakan. Diam-diam, dia heran dengan dirinya

sendiri. la tak mengingat apa pun

Apa dalam situasi ini, jika ia bertanya "siapa aku?" Akan terdengar menakutkan? Dia berpikir, hal biasa apa yang harus ia tanyakan pada gadis muda di depan nya ini agar tampak normal tapi tak mencurigakan.

Dia khawatir gadis itu akan histeris dan menjauh darinya dengan ketakutan jika tau Dia melupakan segalanya. "Kapan aku akan di pulangkan?"

Gadis muda itu mengerjap, sebelum menjawab pertanyaan nya. "Aku tidak tahu, tapi kata dokter, kalau Kakak sudah sembuh dan tidak merasakan sakit lagi, Kakak sudah bisa pulang ke rumah."

Dia mengangguk. "Apa ada orang lain di sini yang menunggu ku selain kamu?"

"Ayah tadi sempat kemari, tapi dia pergi lagi buat ambil beberapa perlengkapan. Kalau Mama, dia sedang ke kamar kecil. Oh iya, Kak Damar selesai dari kantor juga akan ke

sini katanya."

Walau berusaha untuk mengingat apa pun, menggali apa pun di dalam otak nya, Dia masih tidak bisa merasakan kesan apa pun pada orang-orang ini. Terlalu baru dan asing. Dirinya seakan seperti selembar kertas kosong yang baru di baluri tinta.

Ada banyak pertanyaan yang bercokol di dalam kepalanya. Menumpuk dan meminta jawaban dengan cukup haus. Dia tidak tahu

harus mengeluarkan yang mana dulu.

Dia lalu bertanya. "Kamu bilang aku sudah hampir seminggu di rawat di sini, apa kecelakaan ku itu cukup parah?"

"Hmm iya. Mobil yang Kakak tumpangi masuk ke jurang."

Mobil? Bukan kah ia hanya terluka di area kepala? Dia tidak mengerti. Terakhir kali Dia sadar saat ketika keadaan sekeliling yang tampak gelap, seperti sebuah gang sempit, kepalanya sudah mengucurkan banyak darah dan ada sosok asing yang berdiri mendekat membelakangi

Baik Dia dan gadis itu menoleh hampir bersamaan saat pintu ruangan mendadak terbuka. Seorang wanita cantik muncul di balik pintu yang langsung gadis muda itu teriaki dengan sebutan, "Mama" dengan

senang.

Tanpa sadar Dia senang juga, menatap sang wanita dan mengikuti apa yang gadis itu bilang. "Mama!"

Mendengar seruan itu, gadis muda dan wanita saling berpandangan sejenak sebelum kemudian sang gadis tertawa terbahak sementara sang wanita tampak tenang, meringis. Dia sedikit bingung, tanpa sadar menggaruk kepalanya yang baru ia sendiri sadari ada balutan putih tebal yang terikat mengelilingi nya.

"Kak Lamia kok panggil Mama ku, Mama?" Gadis muda masih dengan sisa tawa, menunjuk Lamia dengan geli. Sementara Dia diam-diam menyimpan sebaris nama yang gadis itu baru ucapkan. Lamia.. Setidaknya, ia tahu namanya!

Dia yang bernama Lamia memaksakan senyum sebelum bicara. "Kamu barusan memanggil ku Kakak. Bukan kah berarti kita ini keluarga? Saudara itu memiliki satu orang tua yang sama."

"Kita memang keluarga." Gadis itu menyetujui.

"Kita memang keluarga." Gadis itu menyetujui. "Tapi Kakak dan aku bukan saudara. Kakak adalah isteri Paman, adik ipar Mama ku."

Lamia tidak tahu harus mengatakan apa selain tersedak ludah nya sendiri. Adik ipar? Dia sudah bersuami??

Lamia dengan hampa memikirkan ini. Fakta bahwa ia adalah adik ipar dari wanita cantik itu sedikit mengejutkan nya.

"Apa kamu baik-baik saja?" Sang wanita bertanya tanpa nada, terlihat datar dan tanpa emosi.

Lamia mendongak untuk menatapnya sesaat, "Iya. Aku baik-baik saja, hanya... kepala ku yang sedikit pusing."

"Biar Aurel panggilkan dokter untuk mu." Kata si wanita.

Gadis muda yang bernama Aurel itu segera mengangguk dan langsung berlari keluar dari ruangan, meninggalkan Mama-nya dengan Lamia di sana berdua. Lamia masih berpikir dalam diam ketika si wanita

mendekat padanya.

"Kamu cukup sehat."

Lamia mengangkat kepalanya dan menemukan pandangan mata dari si wanita. "Ini juga karena bantuan mu.

Terima kasih sudah merawat ku."

Si wanita sedikit mendengus. Tidak bicara lagi. Beberapa saat kemudian, salah seorang dokter masuk ke ruangan bersama Aurel yang menggandeng seorang pria berjas.

Lamia sedikit mengernyit ketika melihatnya.

"Bagaimana perasaan Anda?"

Sang dokter wanita muda menyapa Lamia ramah sembari meminta izin untuk menyentuh lengan infus nya. Pandangan Lamia yang sempat tadi tersita pada sosok pria di gandengan Aurel kini menoleh pada sang dokter. "Baik."

"Ada sesuatu yang Anda ingin sampaikan?"

Dokter kali ini memeriksa luka di kepalanya. Lamia tidak tahu harus mengatakan nya secara jujur atau bohong. Dirinya banyak menyimpan sejuta tanya yang membutuhkan jawaban. Tapi alih-alih bisa mengingat satu kenangan apa pun itu di dalam kepalanya, Lamia hanya menemukan

kekosongan. Seperti buku baru tanpa di coreti sebelumnya.

Lamia akhirnya memutuskan untuk jujur. "Aku tidak bisa mengingat apa pun."

Ruangan yang tadi hening semakin hening karena ucapan Lamia. Sang wanita yang adalah Mama dari Aurel melotot terkejut mendengar nya, respon yang sama yang Aurel juga berikan. Sementara pria yang baru saja datang itu hanya mengangkat alis, sang dokter sendiri tersenyum

memaklumi.

"Nyonya Lamia Wardana, tolong dengarkan apa kata saya. Anda tidak perlu berusaha untuk mengingat apa pun untuk saat ini. Tak perlu terlalu khawatir dan rileks saja. Jangan memaksakan diri. Paham?"

Lamia mengangguk-angguk. Sang dokter wanita meminta salah satu perwakilan untuk mengikuti nya ke sebuah ruangan dan membahas masalah pasien. Mama dari Aurel akhirnya mengikuti sang dokter keluar, sementara Aurel dan salah seorang

pria menemani Lamia di ruangan ini.

"Kak Lamia, kenapa kakak gak bilang kalau kakak masih sakit?" Aurel tampak khawatir yang Lamia langsung tenangkan dengan senyuman.

"Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja."

"Tapi kata Kakak tadi..."

"Aku hanya sedikit melupakan hal-hal." Lamia tidak tahu apa yang dia ucapkan, keluar begitu saja dari mulutnya.

Aurel sedikit sedih, duduk di kursi di samping ranjang pasien untuk menggapai kedua tangan Lamia di genggaman kecil nya. "Jadi, apa kakak lupa padaku juga?"

Lamia terdiam sebentar, lalu mengangguk, cepat-cepat berbicara.

"Aku tau nama mu, kamu Aurel kan?"

Aurel merekahkan senyuman nya. "Iya. Aku Aurel, dan kalau orang itu.... Apa Kak Lamia tau siapa dia?" Telunjuk Aurel mengarah pada si pria yang ber-jas hitam.

Lamia menoleh untuk melihat keseluruhan penampilan nya. Dia terlihat tampan dan rapi, badan nya cukup bagus untuk orang yang hanya bekerja dibalik meja. Rahang nya tegas dan garis-garis wajah nya masih membawa sedikit aura pemuda yang penuh keangkuhan, dia memiliki dua bola mata biru memikat, di tambah kedua alis tebal dan bibir tipis sensual yang di miliki nya. Tidak salah lagi, pria ini tipe ku!

"Kakak Tampan?" Lamia bicara dengan masih tak bosan mengamati. Hening.

Tiga detik kemudian suara tawa derai Aurel memenuhi seluruh ruangan, “HAHAHHAA!!! dan terpaksa harus berhenti saat pria itu dengan tajam memelototinya.

"Kakak ku memang tampan! Tapi itu bukan nama nya." Entah harus sedih atau melanjutkan tawa nya, Aurel memutuskan untuk berdamai. "Dia Kak Damar yang tadi aku bilang mau ke sini."

Lamia hanya mengangguk-angguk. Jika ia menggunakan logika nya, Lamia seharusnya bisa menjawab dengan benar. Seperti saat Aurel menanyakan tentang nya, Lamia tadi mendengar Mama gadis ini memanggil namanya, karena itu Lamia tau. Kalau Lamia ingat mengenai siapa yang akan datang, ia pasti tidak akan salah

menebak.

Hanya saja ia menggunakan kata hatinya tadi. Bukan nya logikanya. Jadi Lamia rasa, ini bukan kesalahan otak rusak nya sepenuh nya.

"Aurel, ayah bilang dia gak bisa masuk ke rumah sakit karena ada masalah di kantor. Ayah sudah ada di depan, tolong ke depan dan ambil beberapa barang yang Ayah bawa ke sini." Damar berbicara seraya menatap ponsel nya yang segera Aurel turuti.

Setelah Aurel sukses meninggalkan ruangan dan membiarkan Damar dan Lamia di ruangan itu berdua. Lamia tiba-tiba

melihat Damar kini berjalan mendekati nya dan berhenti. Pria itu tidak duduk, melainkan berdiri di sisi kursi, sampai membuat Lamia malu sendiri.

"Tanyakan saja apa pun yang ingin kamu ketahui."

Lamia diam-diam mendengar ini, perlahan merasakan emosi aneh di hatinya, mendongak untuk membalas mata biru yang kini memandangi nya lurus-lurus. Lamia berpikir sejenak.

"Apa aku punya kedua orang tua?"

"Kamu hanya hilang ingatan bukan nya mendadak idiot, tidak mungkin kamu berpikir telah terlahir dari timun suri sehingga tidak punya orang tua kan?"

"Sebenarnya aku baru tau, ada seseorang yang terlahir dari timun suri." Lamia tak berdaya berpikir kembali. "Apa aku ini benar-benar wanita yang sudah menikah?"

"Ya."

"Apa kamu itu suami ku?" Damar terdiam sejenak, ekspresi nya sedikit berubah.

"Bukan."

"Bukan?" Lamia membeo.

"Jadi, siapa suami ku?"

"Dia adik dari Ayah ku, Abisatya Wardana."

"Jadi aku ini Bibimu?"

"Ya."

"Kenapa adik mu memanggil ku Kakak?"

Damar menatap nya tanpa ekspresi. Melihat tatapan polos Lamia yang membalas nya, ia jadi ragu harus mengatakan apa. Pria itu sudah hendak bicara saat Lamia menyerobot nya. "Aku mengerti, aku mengerti! Kamu gak perlu menjelaskan. Adik mu merasa aku tidak cocok di panggil Bibi karena itu dia memanggil ku kakak, benar begitu?"

Damar diam-diam menghela napas, menatap tak habis pikir pada wanita di depan nya. Walau pada kenyataan nya benar, dia masih tampak muda dan tidak pantas di panggil Bibi, bukan itu lah kebenaran nya. Damar memilih untuk bungkam. Lamia lalu menatap nya.

"Boleh aku bertanya lagi?"

"Apa?"

"Dimana suami ku? Apa dia sedang bekerja di sebuah kantor yang sama seperti mu? Kenapa dia tidak menjaga ku? Aku belum melihatnya sampai sekarang."

Damar kembali terdiam, merenung. "Dia sedang tidak berada di sini."

"Oh, dia sudah meninggal?"

"Siapa yang bilang dia sudah meninggal?" Damar sedikit berdecak. "Dia sedang melakukan perjalanan bisnis ke Amerika." Lamia bingung.

"Kenapa dia tidak menghubungi ku?"

"Kamu sedang tidak sadarkan diri ketika dia di perintah untuk pergi ke Amerika. Berpikirlah sedikit rasional, kenapa dia harus menghubungi orang koma?!"

"Aku cuman tanya. Kenapa kamu malah marah-marah?"

“Aku tidak marah-!"

Lamia menuduh, “Kamu baru saja berteriak.”

Pandangan yang awalnya memuja kini memberikan kerutan tidak senang, auranya jelas memancarkan "aku sangat tidak bahagia” di seluruh tubuhnya. Lamia melipat tangan nya dibawah dada, menampilkan postur orang tua yang angkuh. "Apa ini bagaimana caramu bersikap pada Bibimu? Aku tau usia mu tidak jauh berbeda dengan ku. Tapi kamu harus tetap menghormati ku."

Diam-diam Damar mendengus, Lamia melihatnya dan menjadi lebih marah. "Hei, dengar gak!?"

Damar tidak menjawab, selain menatap pada Lamia yang juga menatapinya dengan mata menyipit. Berpikir sebentar, Lamia akhirnya memutuskan untuk memendam emosi. Kemarahan hanya akan membuat kepala nya bertambah pusing, ia menyadari bahwa pria seperti Damar pasti memiliki bentuk hormat yang aneh pada orang yang

lebih tua.

Dia sudah dewasa, dan bisa di katakan sederajat sepertinya. Jadi ini bukan kesalahan dia sepenuh nya jika menganggap Lamia seperti teman nya sendiri. Yang harus Lamia lakukan adalah memperbaiki sikap nya secara perlahan.

"Apa kamu masih tidak mau meminta maaf?”

Damar tidak mau memperpanjang masalah, akhirnya mengalah, “Aku minta maaf.”

“Bawakan Bibi makanan, baru Bibi akan memaafkan mu.”

Damar mengernyitkan alis, mengira dia telah salah mendengar dan memilih untuk tetap diam. Lamia menghela napas, dan mencoba berkata lebih lembut. "Kenapa kamu masih disini? Tidak lapar?”

"Aku sudah makan."

"Kalau begitu biarkan aku mati dan menjadi hantu kelaparan.”

Damar berdecak kesal lalu tanpa bicara apa pun dia berbalik dan keluar dari ruangan.