2
Sudah hampir tiga hari Lamia di rawat di rumah sakit untuk menyembuhkan diri. Setelah keadaan nya di periksa dan sudah di katakan lebih baik, ia di bawa pulang dengan mobil yang di kendarai oleh Pak Dewa —supir keluarga suami nya.
Duduk di belakang bersama Aurel yang ikut menjemputnya bersama Siska-Mama Aurel, Lamia dan Aurel terlibat pembicaraan akrab. Aura hangat di jok penumpang belakang terbanding terbalik dengan aura dingin di jok depan mobil.
Nyonya Wardana dan Pak Dewa membisu, hanya menatap ke jalan tanpa bicara apa pun.
Mobil BMW hitam itu kemudian sampai di rumah setelah lima belas menit perjalanan. Aurel dengan gembira menggandeng Lamia turun dari mobil. Lamia perlu beradaptasi sejenak, mengagumi kemewahan yang tertera di hadapan nya. Bangunan putih besar dengan sebuah lapangan luas dan taman yang terpangkas indah. Beberapa pot besar berisi pohon dan tanaman buah tampak terawat, ada juga sebuah air pancur kecil di depan rumah dan jalan setapak kecil yang di kelilingi rumput
berbunga, memfantasikan pandangan.
Di depan sebuah pintu besar, ada seorang wanita yang duduk di kursi roda tengah tersenyum menyambut kedatangan mereka. Lamia tidak ingat kapan terakhir kali dia bertanya ketika Aurel menarik nya sedikit membungkuk dan berbisik.
"Dia Nenek ku. Kakak bisa memanggil nya dengan sebutan Ibu mertua, jangan salah sebut lagi." Aurel menambahi ucapan nya dengan kikik geli yang mau tak mau di respon kekehan geli Lamia juga.
Mereka bersama-sama kemudian mendekat. Aurel pindah dari samping Lamia untuk memeluk sang Nenek lalu mencium pipi di kiri dan kanan nya. Wanita tua itu terkekeh, mencium puncak kepala Aurel sambil mengacak-ngacaki rambut nya.
Lamia sedikit gugup saat dia membungkukkan sedikit tubuh untuk mencium tangan wanita tua itu. Namun hal yang tidak terduga terjadi. Bukan nya menerima uluran tangan Lamia, wanita tua itu malah menjauhkan diri dari nya. Lebih suka mengajak Aurel untuk masuk ke rumah dan mengabaikan nya.
Lamia tiba-tiba dicampakkan tanpa penjelasan, "...
Siska berjalan ke samping nya, menoleh sedikit padanya lalu tersenyum sinis sebentar, sebelum kemudian melewati Lamia begitu saja untuk masuk ke dalam rumah.
Di tinggalkan sendirian, Lamia merasa kebingungan. Ia tidak tahu harus masuk atau tidak ke rumah besar bagai surga ini. Ia sendiri tidak paham, mengapa orang yang dirinya ketahui adalah mertua nya itu tampak tidak suka padanya? Sikap kakak ipar nya saja sinis sekali seperti itu.
Mengapa Lamia merasa terasing di rumah keluarga suami nya sendiri?
Banyak pertanyaan yang bertambah, membuat Lamia linglung sedikit.
Pak Dewa yang kebetulan membawa beberapa barang miliknya berhenti di samping nya. "Kenapa Nyonya masih di luar?"
Lamia tersadar, menoleh dengan kikuk pada Pak Dewa yang tampak hangat bertanya padanya.
"Apakah aku seharusnya masuk ke dalam?"
"Nyonya masih sakit. Sebaiknya Nyonya perbanyak istirahat."
Lamia berdeham sejenak, tidak tahu harus menjawab apa.
"Mari Nyonya, saya antar ke kamar Nyonya."
Mendengar ini, Lamia sangat senang, menurut pada instruksi Pak Dewa tanpa berkomentar lagi.
Di dalam sama luasnya seperti pekarangan di luar. Banyak ruangan yang Lamia tidak tahu gunanya untuk apa. Beberapa pelayan di rumah besar ini berseliweran dan sesekali menunduk untuk memberikan hormat padanya.
Rumah yang sebenarnya mansion mewah ini bagaikan istana, kamu bisa bermain petak umpet di mana pun tanpa perlu takut cepat ketahuan! Lamia jadi berkeinginan untuk melihat-lihat, ingatkan dirinya untuk berkeliling nanti dan mengagumi tiap sudut mansion ini.
Ada sekitar empat puluh tiga anak tangga yang harus Lamia lewati sebelum sampai ke lantai dua tempat kamar nya berada. Lamia tidak tahu apa yang membuat Aurel tidak lagi datang padanya oleh sang Nenek. Dan dirinya mulai menyadari, betapa ia
begitu tidak tahu apa pun.
Pak Dewa segera pergi dari sana dan meninggalkan Lamia di kamar sendirian. Karena badan nya memang lelah, Lamia tidak memikirkan apa pun lagi selain memutuskan untuk menjatuhkan diri di atas kasur dan terlelap di sana.
Lamia merasa baru tidur sebentar, namun saat melihat jam di dinding ia sudah melewati lebih dari lima jam! Kenapa tidak ada orang yang membangun kan nya?
Memilih untuk mengabaikan ini sesaat dan menyimpan pertanyaan itu di dalam kepala, Lamia mulai bangkit dari ranjang dan membersihkan diri. Di dalam walk in closet, ia menemukan banyak pakaian wanita cantik di sana. Dari yang santai, casual, formal dan seksi, semuanya lengkap, membuat Lamia tidak henti-henti nya untuk
terkagum.
Membalut dirinya dengan kaos lebar bergambar mickey mouse dan celana panjang santai sepanjang mata kaki. karena itu yang paling lucu, Lamia diam-diam mulai berpikir. Apa semua ini adalah pakaian nya? Mereka bilang dia sudah menikah, tapi Lamia sedikit pun tidak melihat pakaian-pakaian pria di dalam sini.
Apa suaminya itu menaruh pakaian nya di tempat lain?
Keluar dari sana, mata Lamia tertuju pada sebuah lemari besar satu-satunya yang berada di sudut ruangan. Wanita itu segera mendekat untuk membuka nya, tapi bukan sesuatu yang dirinya harapkan ada di sana. Menutup pintu lemari tanpa daya, Lamia bersandar di pintu lemari. Memperhatikan keseluruhan ruangan kamar nya dan ia menyadari ada sesuatu yang ganjil.
Kamar ini terlalu polos, di mulai dari warna nya yang hanya memiliki satu warna tanpa warna yang Lamia pikir maskulin. Putih tulang, tanpa gambar dan tidak jauh-jauh mirip dengan ruangan kamar pasien di
rumah sakit. Sama sekali tidak menarik. Beberapa peralatan make up di kaca rias tampak penuh dan lengkap. Lamia lalu memeriksa nya hanya untuk mendapati bahwa ia bingung bagaimana cara menggunakan benda-benda itu ke wajah nya.
Beberapa botol parfum yang berbau perempuan, Lamia yakini adalah milik nya. Dari keseluruhan ruangan nya, tidak ada benda yang menampakkan jejak suaminya pernah menggunakankamar ini bersama nya.
Apa suaminya menempati kamar yang berbeda? Kenapa? Bukankah mereka ini suami-istri? Kenapa mereka menempati kamar yang terpisah? Lamia kebingungan lagi, bertanya-tanya dalam hati. Apa yang
salah di sini.
Menatapi wajahnya di cermin, Lamia bisa melihat wajah nya yang putih bersih dengan dua mata hazel tengah balas memandang ke arahnya. Bibir kecil, merah cherry, hidung mancung, alis tebal, pipi dengan cukup daging—tanpa berlebihan atau kurang. Dia cukup cantik dan mempesona. Mungkin dari keseluruhan bentuk sempurna dari penampilan nya, hanya balutan putih jelek yang mengelilingi kepalanya membalut luka itu yang terlalu mengganggu pemandangan.
Lamia menghela napas, merenung dalam diam selama beberapa saat ketika tiba-tiba pintu di ketuk pelan dari luar. Wanita itu menoleh hanya untuk mendengar suara lembut datang dari balik pintu.
"Nyonya, saatnya makan malam. Semua orang sudah menunggu di ruang makan."
Lamia bergegas membuka pintu, ia melihat seorang pelayan dengan pakaian seragam seperti maid pada umumnya, hitam dan putih berdiri di depan nya. Gadis pelayan itu membungkuk untuk memberikan penghormatan. "Maaf Nyonya, saya telah lalai untuk tidak membantu mempersiapkan diri Anda."
"Apa itu penting sekarang?" Lamia langsung membalikkan pertanyaan.
"Aku tidak tahu dimana ruang makan berada. Apa kamu bisa mengantarkan aku ke sana?"
"Tentu saja Nyonya." Gadis pelayan itu segera memimpin jalan.
"Lewat sini Nyonya."
Lamia segera mengikuti. Dengan sandal berbulu babi yang ia temukan tergeletak paling sudut kamarnya, Lamia melangkah di belakang sang pelayan sambil mengedarkan pandangan. Lamia meletakkan tangan di belakang punggung nya, berjalan dengan dada membusung ke depan seraya diam-diam mengagumi interior ruangan yang mereka lewati.
Tapi kening Lamia sedikit berkerut saat banyak pelayan di sudut, baik yang berkumpul dan tidak berkumpul langsung segera menyingkir dengan tergesa-gesa karena kedatangan nya.
Lamia sedikit memahami bagaimana kedudukan nya di mansion ini sebagai apa, tapi,mereka tidak perlu sampai setakut itu kan?
Lagipula Lamia masihlah manusia biasa, bukan pembunuh atau seorang psychopat. Tatapan mereka yang tampak seakan terkena terror ketika melihatnya membuat Lamia bertanya-tanya dalam hati. Apa yang salah dengan penampilan nya malam ini?
"Kakak!!" Aurel melompat-lompat di sisi kursi Mama nya ketika melihat Lamia datang memasuki ruang makan.
Lamia mencoba menghilangkan beberapa rasa gelisah di dalam hati untuk tersenyum, meresponi antusiasisme gadis berumur dua belas tahun itu. Lamia lalu menarik kursi di seberang Damar. Meja makan yang berisi enam kepala termasuk dirinya sendiri, mulai di penuhi banyak makanan lezat yang di persiapkan oleh para pelayan.
Ada empat kursi kosong di tempat di mana Lamia duduk, sementara di seberang nya, empat kursi penuh di isi oleh, Aurel, Damar, Siska, dan suami Siska—Lingga Wardana. Sementara di kepala meja, ada sang Nyonya Besar, wanita tua yang Lamia ketahui adalah Ibu mertua nya, Merry Rhandra Wardana.
Lamia tidak tahu harus bagaimana menyapa mereka kalau bukan kakak dari suami nya itu tidak bicara padanya lebih dulu. "Bagaimana keadaan mu, Lamia? Masih sakit kepala?"
Lamia menyentuh kepalanya sesaat sebelum tersenyum, berterima kasih. "Aku baik-baik saja, sudah tidak terlalu sakit."
"Baguslah kalau begitu." Lingga ikut tersenyum. "Aku dengar kamu terserang amnesia. Kalau ada sesuatu yang ingin kamu ketahui, jangan sungkan untuk bertanya."
Kata-katanya terdengar begitu hangat dan akrab. Entah kenapa menimbulkan sebuah rasa nyaman untuk Lamia yang mendengar nya.
Bibirnya semakin melengkung lebar, mengangguk senang. "Oke. Mas Lingga."
Siska di samping Lingga, melirik pada Lamia dengan pandangan tidak suka, sementara Damar dan Merry tampak tenang dengan makanan nya. Aurel memperhatikan Lamia dan sedikit terkekeh menyadari sesuatu. "Sejak kapan Kak Lamia suka pakai baju mickey mouse?"
Lamia yang hendak menyuapkan nasi ke dalam mulut berhenti di udara, menunduk untuk melihat kaos yang di pakai nya. Diam-diam orang-orang yang berada di meja makan melihat ke arah pakaian nya juga. Lamia mengangkat kepalanya, mengedikkan bahu tanpa peduli. "Menurut ku ini lucu, dan nyaman. Memang nya kenapa?"
"Kak Lamia kan gak pernah suka pakai baju kaos biasanya."
"Benarkah?"
Aurel mengambil ayam dengan tangan nya lalu memakan nya seraya mengangguk. "Kata kakak itu terlalu kekanakkan dan jelek. Selama ini, kakak selalu pakai dress kapan pun dan dimana pun."
Lamia baru tau soal itu. Pribadi nya yang lama ternyata begitu memiliki pikiran feminis dan anggun.
"Seperti nya kamu sangat tau aku."
Aurel mendadak berhenti makan, Lamia yang melihat itu sedikit mengernyit kan alis. Raut wajah Aurel perlahan berubah cemas. Di satu sisi suasana riang yang tercipta tadi langsung berubah canggung. Lamia sudah hendak bicara saat tiba-tiba Damar menyambar. "Makan yang benar Aurel. Jangan banyak bicara saat makan."
Ketegangan di wajah Aurel perlahan-lahan luntur, gadis muda itu melirik kakak nya sambil mencemberutkan bibir, memutuskan untuk diam, melanjutkan makan nya. Disamping, Lamia memperhatikan kegiatan mereka sejenak sambil berpikir untuk menarik perhatian
mereka sesaat.
"Maaf, bolehkah aku bertanya satu pertanyaan?"
Siska memelototkan matanya tiba-tiba. "Berhenti bicara dan selesaikan makan mu dulu. Jangan bertanya apa pun."
"Siska..." Merry menegur nya pelan, tatapan nya lalu menoleh pada Lamia yang kini juga menatap padanya. "Apa pertanyaan mu itu sangat penting? Kalau tidak, tolong kamu tanyakan nanti setelah makan saja."
"Bagiku ini sangat penting."
Lingga berdeham. "Tanyakan saja."
Lamia berpikir sebentar. "Kapan suami ku akan kembali?"
Selesai pertanyaan itu di luncurkan, seseorang di seberang Lamia terserang batuk karena tersedak. Wajah Damar tampak memerah, pria itu segera meraih sebuah air di dalam gelas untuk meneguk nya. Siska di samping nya bertanya bagaimana keadaan nya yang Damar jawab dengan gelengan Samar, mengucapkan bahwa ia baik-baik saja.
Lamia hanya menoleh selama beberapa detik pada Damar saat suara Lingga terdengar, mengalihkan perhatian nya kembali.
"Abi akan pulang beberapa hari lagi. Aku dengar pekerjaan nya di sana cukup mudah di atasi, jadi tidak perlu memakan waktu lama." Pria beranak dua itu bertanya dengan lembut.
"Ada apa? Apa ada sesuatu?"
Lamia tidak tahu harus menjawab nya bagaimana. Dia cukup malu sebenarnya, tapi ia tidak nyaman jika berbohong. Maka akhirnya Lamia memutuskan untuk menahan urat malu nya. "Aku mau melihat nya. Aku ingin tahu... apakah dia juga se-Tampan diri mu?"
Lagi-lagi suara batuk terdengar sedikit banyak mengganggu nya. Lamia diam-diam menghela napas, tersenyum canggung. Lingga di depan nya sedikit terkejut, namun kepalanya langsung menyentak kesamping,
menyembunyikan suara tawa samar nya. Ia kemudian menatap Lamia yang terlihat tidak senang dengan tragedi batuk kedua versi Siska.
"Mari lanjutkan makan." Merry menuntaskan suara apa pun yang hendak mereka dengungkan. Semua orang yang berada di sana tidak ada keinginan untuk melawan wanita tua itu, jadi mereka langsung menurut untuk membungkam kan diri.
