Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4. Cinta Monyet

"Rema?" Adistia tersenyum pada laki-laki berkaca mata yang usianya satu tahun di atasnya itu. Rema dulu adalah tetangganya, tetapi laki-laki ini pindah ke tempat lain sejak beberapa tahun lalu. Dan ini adalah pertemuan pertama mereka setelah tahun-tahun berlalu. Bisa dikatakan, Rema ini adalah cinta monyet seorang Adistia.

"Kamu apa kabar, Flo?" Hanya beberapa orang yang memanggil Adistia dengan nama depannya, Flora. Pemilik namanya sendiri sebenarnya lebih senang saat orang memanggilnya Adistia, tetapi tidak akan mempermasalahkan juga jika ada yang memanggilnya dengan panggilan lain.

"Aku baik, kamu sendiri?" Adistia mengamati penampilan Rema dari ujung kaki hingga kepala. Tidak banyak yang berubah, Rema tetap terlihat menawan seperti lima tahun yang lalu. Mungkin hanya kaca mata yang bertengger di pangkal hidungnya itu, juga tinggi badannya yang semakin menjulang tinggi.

"Aku juga baik," jawab Rema dengan senyum senang, dia juga melakukan hal sama, memindai tubuh Adistia dari ujung kaki hingga kepala. "Kamu nggak berubah sama sekali, masih kayak anak SMP aja," ujar Rema tidak bermaksud menghina.

Adistia yang paham jika itu gurauan hanya menunjukkan senyuman sebagai respon. Dan lagi, bukan hanya Rema yang mengatakan jika dirinya tidak berubah, postur tubuhnya yang mungil sering membuat orang salah kira jika dia ini masih duduk di bangku SMP.

"Oh ya, aku ikut berduka cita atas meninggalnya Kak Faran. Kaget banget aku pas denger itu." Rema dulu sempat dekat dengan Faran, dan mengenal sosok laki-laki itu sebagai pribadi yang begitu baik.

Adistia menganggukkan kepalanya, meski tiga tahun sudah berlalu, tetapi tetap saja ada rasa sesak yang akan dirasakannya jika harus membahas tentang sang kakak. "Mungkin itu yang terbaik buat dia," ujar Adistia. Kalimat seperti itu selalu menemaninya dalam masa-masa sulit. Mengiklhaskan satu-satunya orang yang paling berharga dalam hidup tentu saja bukan perkara mudah.

Rema yang paham jika tidak seharusnya membahas Faran, segera mengajak gadis itu untuk mencari tempat duduk.

*

"Jadi ini toko buku kamu?" Adistia cukup terkejut dengan fakta ini. Pasalnya seingatnya dulu Rema pernah bercita-cita untuk menjadi dosen. Tidak terpikir kalau laki-laki ini bisa membuka usaha seperti ini.

Rema mengangguk dengan senyuman. "Buat ngilangin suntuk aja."

"Bukannya dulu kamu bilang mau jadi dosen?"

Mendengar cita-citanya masih diingat oleh gadis yang kini duduk di depannya, tentu saja membuat Rema merasa senang. Tidak menyangka jika Adistia bisa mengingat perkataannya yang asal itu.

"Dalam proses," jawab Rema yang memang sedang menyelesaikan pendidikan S2-nya yang sebentar lagi akan berakhir.

Adistia tersenyum bangga untuk jawaban itu. Sejak dulu Rema memang selalu mengesankan.

"Kamu percaya, nggak? Kalau aku bilang, toko buku ini aku buka karena kamu," celetuk Rema tiba-tiba.

Informasi tersebut tentu saja membuat seorang Adistia terkejut. Namun, karena dirinya tidak percaya dengan kalimat yang sepertinya hanya berupa candaan itu memilih untuk menggelengkan kepalanya. Mana mungkin Rema melakukan sesuatu karena dirinya? Memangnya dia memiliki tempat spesial seperti apa di hati Rema?

"Aku inget dulu di rumah kamu ada banyak banget buku," ujar Rema sembari menerawang jauh, mengingat kembali momen masa lalu yang kini melintas begitu saja setelah bertemu dengan sosok yang diam-diam dia kagumi sejak lama.

"Gara-gara kamu sama Kak Faran, aku jadi ikut-ikutan suka baca buku. Semua jenis buku udah aku baca, dan saat aku tiba-tiba kangen sama kamu, aku kepikiran buat bikin toko buku, aku berharap suatu saat kamu bakalan datang ke sini." Rema mengatakan itu sembari menatap wajah Adistia yang kembali menunjukkan ekspresi kaget. Jika saja gadis ini tidak meninggalkan rumahnya selepas kakaknya meninggal, mungkin mereka akan bertemu sejak lama. Namun, nyatanya Adistia sekarang tinggal di tempat lain.

"Kamu kenapa pindah rumah?" tanya Rema sengaja mengalihkan topik saat sadar apa yang dikatakannya tadi terlalu terburu-buru. Mereka sudah hampir lima tahun tidak bertemu, tentu saja ada banyak hal yang harus diakrabkan terlebih dulu sebelum dia maju untuk mendapatkan hati gadis di depannya ini.

"Biaya perawatan rumah terlalu mahal. Saat itu aku cuman pengangguran yang ngandelin hidup dari tabungan Kak Faran. Jadi aku mutusin buat ngontrakin rumahnya." Adistia berusaha tersenyum meski hasilnya malah menyedihkan. Tahun-tahun pertama yang dilaluinya tanpa Faran benar-benar seperti neraka buatan yang dikhususkan sebagai tempatnya tinggal.

Rema yang mendengar penjelasan itu tentu saja merasa sedih. Andai saja waktu itu dia ada di sana, mungkin kesulitan yang Adistia jalani akan bisa dirinya tanggung.

"Lalu setelah ngontrakin rumah, kamu sendiri tinggal di mana?"

Kali ini Adistia benar-benar tersenyum, lalu berujar, "Ada orang baik yang ngijinin aku tinggal sama dia. Dan selalu bantu aku dalam setiap kesulitan."

Rema mendadak waswas mendengar kalimat itu. Apa kira-kira penyelamat hidup yang disebutkan Adistia adalah seorang laki-laki?

"Aku nggak ngebayangin kalau saja Tuhan nggak kasih dia di hidup aku, mungkin aku nggak akan berdiri kuat sampai sekarang." Adistia tersenyum sembari terus merapalkan ucapan terima kasih pada sosok Amara.

"Dia, laki-laki?" tanya Rema hati-hati.

Adistia yang paham ada sesuatu aneh kini terpasang di wajah Rema tersenyum tipis. "Namanya Amara."

Entah sadar atau tidak, Rema menunjukkan embusan napas lega saat mendengar nama yang Adistia sebutkan adalah nama seorang wanita. "Jadi aku masih punya kesempatan?"

"Hah?" Adistia sebenarnya mendengar bisikan itu, tetapi pura-pura tidak mendengarnya. Dan merasa bersyukur karena Rema tidak memperpanjang semuanya. Meski dulu dia mengagumi laki-laki ini, dan sampai sekarang pun begitu. Namun, bentuk rasa kagum yang dimilikinya tidak lagi bersinggungan dengan kata cinta. Untuk saat ini, dalam kamus hidup seorang Adistia, cinta ada di daftar urutan paling akhir.

*

Adistia memilih untuk menikmati waktunya membaca buku di toko buku Rema. Sementara laki-laki itu berkata ada urusan dan harus meninggalkannya.

"Kapan-kapan aku ajak kamu pergi boleh?" Kalimat tanya terakhir yang Rema lontarkan sebelum benar-benar menghilang dari hadapan Adistia. Dan karena gadis itu tidak enak untuk menolak, maka dengan sedikit enggan dia memberikan persetujuan.

"Saya bingung di mana letak menariknya buku kamu sehingga laris di pasaran."

Adistia terpaksa mengalihkan fokusnya dari buku yang tengah dibaca, pada seseorang yang kini berdiri di sampingnya. Agak terkejut saat mendapati laki-laki yang seharusnya tidak dia inginkan bertemu secara kebetulan ini ada di sini.

"Apa mata Delia sedang terlalu lelah waktu itu sehingga bisa menerbitkan buku dengan kualitas sampah seperti ini."

Kali ini Adistia tidak hanya terkejut, tetapi juga menunjukkan wajah syok. Apa? Karyanya dikatakan sampah? Padahal buku ini adalah salah satu dari dua bukunya yang paling laris di pasaran.

"Anda—" Kalimat Adistia terpotong karena laki-laki di depannya itu memutar tubuh. Adistia pikir dia akan pergi, tetapi laki-laki itu malah mengedikkan kepala sebagai isyarat untuk Adistia agar mengikutinya. Dan gadis itu merasa bodoh saat kakinya langsung mengayun mengikuti langkah lebar seorang Ranu.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel