
Ringkasan
Tujuan hidup Flora Adistia adalah untuk menerbitkan novel milik kakaknya yang sudah meninggal. Pesan terakhir Faran adalah untuk menyelesaikan novelnya. Semua berjalan lancar, novel milik Faran berhasil Adistia selesaikan, tetapi semuanya mendadak kacau dengan munculnya Ranu. Seorang editor kejam yang tidak segan-segan menyebut naskah penulisnya sebagai sampah. "Novel kamu ini nggak punya rasa, nggak ada istimewanya sama sekali. Saya rasa kamu belum pernah merasakan bagaimana rasanya jatuh cinta." "Memang belum. Kalau gitu, gimana kalau Mas Ranu ajarin saya bagaimana rasanya jatuh cinta?"
1. Prolog
"Ini novel Kakak yang terakhir, Kakak nggak tahu bakalan bisa lanjutin atau enggak nanti."
Adisti yang sedang merapikan baju untuk kakaknya bekerja besok mengalihkan fokus sejenak. Ditatapnya wajah sang kakak yang entah kenapa malam ini terlihat sedikit aneh.
"Memangnya Kakak beneran mau berenti nulis kalau udah kerja?" Adisti ingat kakaknya mengatakan itu sebelum lulus kuliah. Royalti dari hasil menulis memang lumayan karena kakaknya termasuk salah satu penulis terkenal yang menyembunyikan identitas aslinya. Namun, Faran selalu berkata jika tidak akan selamanya menjadikan menulis sebagai profesi.
"Kakak perlu pekerjaan tetap. Apalagi kamu sebentar lagi masuk kuliah." Satu kalimat yang sering Faran ucapkan. Keduanya adalah yatim piatu, ayah ibu mereka meninggal satu tahun yang lalu akibat sebuah kecelakaan.
"Kakak harus berhenti," jawab Faran untuk kalimat tanya dari adiknya tadi.
Adisti yang bisa merasakan jika kakaknya kini sedang tidak baik-baik saja menghentikan pekerjaannya. Bangkit dari tepi kasur, gadis yang baru saja lulus dari sekolah menengah atas itu berjalan mendekati sang kakak yang kini berdiri di ambang jendela kamar. Tatapannya kosong, tidak seperti Faran yang biasa. Apa meninggalkan dunia menulis begitu berat?
"Kalau memang berat, jangan ditinggalin. Jangan karena aku, Kakak ninggalin sesuatu yang sangat Kakak cintai." Adisti memeluk tubuh sang kakak, dia tidak mau menyusahkan kakaknya. Sejak orang tua mereka meninggal kakaknya sudah cukup sulit demi merawat dan menjaganya.
"Jangankan apa yang Kakak cintai, nyawa Kakak juga rela Kakak pertaruhkan buat kamu."
Adisti yang tidak suka dengan kalimat itu menarik tubuh, ditatapnya sang kakak yang malam ini benar-benar terlihat aneh. "Kakak ngomong apa, si? Siapa yang mau nyawa Kakak? Kalau Kakak nggak hidup, aku juga nggak mau hidup."
Faran yang sadar sudah salah bicara segera menoleh dan mendapati mata sang adik tengah berkaca-kaca.
"Kakak kan, cuman asal ngomong, kamu itu cengeng," ujar Faran lembut sembari memeluk tubuh adiknya. "Tapi kalau sampai Kakak memang benar-benar nggak ada nanti, kamu harus janji untuk bisa berdiri tegar walaupun seorang diri."
Adisti mendadak takut, kenapa kakaknya harus terus mengatakan kalimat seolah-olah mereka benar-benar akan hidup terpisah dalam waktu dekat?
*
"Dis, Faran!"
Teriakan dari ujung telepon itu membuat Adisti langsung bangkit dari tempat tunggu sebuah perusahaan yang mengadakan interview kerja. Sejak lama dia sudah memikirkan untuk bisa menghasilkan uang sendiri agar tidak terlalu bergantung pada kakaknya. Namun, berita yang didapatnya hari ini membuatnya tidak memedulikan waktu yang terbuang setelah hampir setengah hari menunggu.
"Kak Faran kecelakaan, kamu langsung ke rumah sakit aja. Alamatnya udah aku kirim."
Tanpa merespon kalimat yang teman dekat kakaknya itu katakan, Adisti terus berlari. Mencari taksi yang bisa langsung mengantarkannya ke tempat kakaknya kini dilarikan untuk mendapat pertolongan pertama.
Wajah cemas Amara yang Adisti temukan saat sampai di depan pintu IGD. Gadis seusia kakaknya itu tampak bersimbah air mata. Tanda jika kini kondisi Faran tidak baik-baik saja.
"Kamu yang sabar, kita berdoa untuk Faran."
Adisti hanya diam, tidak berniat merespon apa yang Amara ucapkan. Gadis itu memilih untuk menatap lampu IGD yang masih menyala. Jangan tanyakan bagaimana perasaannya saat ini. Adisti tidak bisa mendeskripsikan apa yang kini dirasakannya. Ayah dan ibunya meninggal dalam kecelakaan, dan apakah—tidak, Faran tidak boleh pergi meninggalkannya. Faran tidak boleh menjadi orang jahat seperti itu.
"Kalau nanti Kakak beneran nggak bisa nerusin novel ini, tolong nanti kamu yang lanjutin. Kakak liat tulisan kamu udah semakin bagus sekarang."
Satu bulir air menetes di pipi Adisti. Apakah kalimat-kalimat yang selama ini kakaknya ucapkan seperti pertanda? Faran selalu mengatakan jika dia tidak bisa melanjutkan novelnya. Apa—tidak, tidak, dia tidak boleh berpikir negatif, dokter tengah berusaha dan yang bisa dilakukannya saat ini hanya berdoa.
*
Faran sudah sadar, tetapi masa kritisnya belum lewat. Dan saat ini, laki-laki berusia dua puluh empat tahun itu masih dalam pengawasan dokter. Hanya satu orang yang bisa masuk, maka Adisti adalah orang yang langsung berlari ke kamar rawat kakaknya.
Senyum lemah sang kakak menyambutnya yang kini hanya berdiri mematung jauh dari ranjang tempat Faran terbaring. Setiap langkah yang ditapakinya seolah-olah terasa begitu berat. Faran terlihat sangat lemah dan banyak bagian tubuhnya yang terlihat penuh luka.
"Sini," ujar Faran tanpa suara. Adisti yang masih mematung di tempatnya kian tidak berani mendekat. Hanya air matanya yang terus saja bercucuran tanpa bisa dihentikan.
Faran kembali mengisyaratkan adiknya untuk mendekat. Dan meski berat, Adisti berusaha untuk melangkah. Setiap jengkal yang dilaluinya seperti penghitung waktu mundur untuk kakaknya pergi. Tidak, Tuhan, dia belum siap untuk apa pun kemungkinan buruk yang mungkin terjadi pada kakaknya.
Tangan Faran yang penuh luka bergerak untuk mengenggam tangan sang adik yang tidak bisa mengatakan apa pun. Mata Adisti hanya bisa menatap nanar setiap jengkal tubuh kakaknya yang penuh luka. Alat-alat yang kini terpasang di seluruh tubuh laki-laki itu juga menunjukkan jika kondisi Faran saat ini benar-benar tidak baik.
"Kak," bisik Adisti nyaris tanpa suara. "Kakak udah janji, Kakak bakalan jagain aku, kan?" Adisti mengusap wajahnya yang basah, lalu digenggamnya pelan jemari kakaknya yang kini menyentuh jemarinya. Takut pegangan tangannya akan menyakiti Faran.
"Aku janji akan jadi adik yang lebih patuh lagi setelah ini. Aku janji bakalan dengerin semua kata-kata Kakak. Dan aku juga mau Kakak baca novel pertama aku yang bakalan selesai sebentar lagi. Kakak janji harus bertahan."
Faran tersenyum lemah mendengar semua kalimat itu. Ada bulir yang juga ikut menetes dari sudut matanya. "Maafin Kakak, karena Kakak akan menjadi orang jahat yang nggak bisa nepatin semua janji itu."
Adisti menggelengkan kepalanya, diciumnya pelan punggung tangan kakaknya yang kini dirinya genggam. "Kakak nggak boleh ngomong gitu. Kakak selamanya adalah orang yang akan jagain aku."
Faran terlihat memejamkan mata, seperti tengah menahan sakit, lalu laki-laki itu terbatuk dan mengeluarkan darah. Adisti yang panik segera berteriak untuk memanggil perawat atau pun dokter yang berjaga.
"Kakak sayang kamu, maafin Kakak yang harus pergi."
Satu kalimat terakhir yang bisa Adisti dengar sebelum ruangan itu penuh dengan dokter dan juga perawat. Setelah itu, semuanya terasa gelap dan saat dirinya bangun, Adisti sadar jika kakaknya telah pergi meninggalkannya untuk selamanya.
*
"Faran pergi."
Dua kata yang membuat pemuda dengan tatapan kosong itu tersentak. Apa maksud dari pergi yang baru saja sepupunya ini katakan?
"Kondisinya sangat kritis, dan dokter mengatakan jikalaupun hidup dia akan cacat."
Pemuda yang juga terbaring di ranjang rumah sakit itu berusaha bangun. Namun sekujur tubuhnya seperti terasa remuk saat ini.
"Kamu nggak boleh ke mana-mana. Kondisi kamu masih lemah, dan malam nanti kamu akan menjalani operasi." Gadis yang menjadi sepupu pemuda itu mencoba untuk membaringkan kembali tubuh saudaranya. Dan beruntung tidak ada perlawanan.
"Kenapa dia yang harus pergi? Kenapa nggak aku aja?" Pemuda itu tahu Faran memiliki seoranga adik yang harus dirawatnya, sementara dia tidak memiliki siapapun orang yang harus dijaganya di dunia ini. Tidak akan ada orang yang benar-benar merasa kehilangan untuk kepergiannya. Jadi kenapa tidak dia saja yang pergi menghadap dari dunia ini?
"Itu udah takdir Tuhan. Dia nitipin surat untuk kamu baca saat kamu udah bisa melihat nanti."