Bab 5. Tentang Ranu dan Faran
"Ran, gue bisa minta tolong sama lo?"
Ranu yang saat itu tengah sibuk dengan tulisannya segera mendongak, mendapati Tama kini duduk di hadapannya dengan sebuah file yang Ranu tahu adalah naskah novel mentah.
"Ini novel punya temen cewek gue, namanya Flora Adistia."
Awalnya Ranu merasa tidak tertarik, sampai nama yang terdengar tidak asing itu muncul dari bibir Tama.
"Ini sebenarnya novel punya kakaknya, tapi beliau nggak bisa lanjutin karena sekarang telah berpulang."
Mata Ranu melebar saat itu juga, dan dengan tidak sabar mengambil alih file dari tangan Tama. Mencoba melihat judul novel yang Tama maksud dengan tangan sedikit bergetar.
"Ending for you?" bisik Ranu sembari mengepalkan tangannya. Ada rasa sedih dan bahagia yang langsung menyergap perasaannya. Setelah bertahun-tahun kehilangan jejak, Ranu akhirnya menemukan gadis ini.
Tama mengerutkan kening bingung karena sikap yang Ranu tunjukkan benar-benar aneh. "Lo kenal sama dia?" tanyanya ragu.
Ranu awalnya ingin mengangguk, tetapi segera menggelengkan kepala saat merasa tidak boleh ada yang tahu tentang ini. "Enggak, tinggalin aja filenya, gue baca dulu."
Meski masih penasaran, Tama memutuskan untuk mengangguk karena Ranu adalah termasuk orang yang tertutup. Jika memang dia mengenal Adistia dan kakaknya, mungkin itu akan lebih bagus.
Selepas Tama pergi, Ranu kembali pada masa dukanya. Kehilangan sahabat yang selalu memberinya semangat tentu saja bukan perkara mudah. Apalagi sosok itu kini meninggalkan sang adik yang entah memiliki nasib seperti apa karena dia sebatang kara. Harusnya saat itu dia tidak menyalahkan diri sendiri atas kecelakaan yang dialami Faran. Meski dia ada di mobil yang sama saat itu, tetapi kondisinya tidak sebaik sekarang. Dunianya masih diliputi oleh kegelapan.
"Flora Adistia," bisik laki-laki itu sembari mulai membaca novel yang dia pernah baca saat benar-benar masih menjadi draft. Dan kini, novel ini sudah selesai meski penulisnya bukan lagi Faran Pratama. Ranu penasaran apakah adik Faran itu bisa menyelesaikan novel terbaik Faran ini dengan baik.
*
"Tam, buatin gue janji sama dia," ujar Ranu beberapa hari setelah pertemuannya dengan Tama hari itu. Dan dua hari berikutnya, Tama mengatakan jika Adistia akan menemuinya. Ada rasa berdebar yang tidak Ranu mengerti datang saat itu juga.
Ranu belum pernah melihat sosok Flora Adistia selama bersahabat dengan Faran karena saat itu kondisinya tidak seperti sekarang. Hanya suara gadis itu yang sering didengarnya jika Faran pulang untuk mengambil sesuatu.
"Ran, masih lama?" Tama mengetuk pintu ruangannya saat jam yang dijanjikan untuk bertemu dengan Adistia sudah terlewat satu jam. Sebenarnya Ranu tidak dengan sengaja menahan diri untuk bertemu dengan gadis itu, tetapi mendadak ada penulis yang sedang ditanganinya tersandung kasus plagiat.
"Lima menit lagi gue selesai," ujar Ranu yang sedang sibuk dengan laptopnya. Kepalanya sungguh pusing saat ini. Baru beberapa bulan kembali ke dunia yang digelutinya, dan menjadi editor di penerbitan milik keluarganya yang kini dirinya kelola, penulis pertama yang dianggapnya hebat malah tersandung kasus seperti ini.
"Jangan lebih dari itu." Tama sengaja menunggu di ambang pintu agar Ranu tidak memolorkan waktu lebih dari lima menit.
Ranu hanya mengangguk, dan lima menit kemudian dia benar-benar meninggalkan mejanya. Saat ini yang perlu dirinya prioritaskan adalah bertemu dengan Adistia.
*
"Terus, yang namanya Ranu mana?"
Ranu tersenyum saat mendengar suara itu. Sejauh ingatannya, suara itu masih sama dengan yang sering dirinya dengar beberapa tahun lalu. Apakah wajah gadis ini mirip dengan yang ada digambarannya saat itu?
Sosok mirip Faran akhirnya Ranu jumpai. Gadis ini benar-benar mirip dengan sahabat masa SMA-nya itu. Mata besar, dengan bentuk wajah lonjong. Jika kulit Faran sedikit cokelat, maka gadis ini memiliki kulit cenderung putih.
"Kalau gitu kalian bisa ngobrol, kita keluar dulu."
Bisa Ranu lihat Adistia yang terlihat seperti enggan mendengar perkataan Tama, tetapi setelah gadis yang berada di sampingnya mengatakan sesuatu, adik Faran itu tampak menurut.
Satu hal yang sangat ingin Ranu tanyakan saat duduk berhadapan dengan gadis di depannya ini adalah, bagaimana kehidupannya setelah Faran meninggal? Apakah dia mengalami banyak kesulitan? Apakah dia memiliki masalah yang tidak bisa terpecahkan? Namun, tentu saja semua pertanyaan itu hanya bisa Ranu simpan sendiri, karena akan terdengar sangat aneh jika tiba-tiba saja dia menyebutkan diri sebagai teman Faran, dan berlaku akrab dengan gadis ini.
"Saya sudah baca novel kamu." Ranu mengatakan itu sembari mengamati wajah Adistia yang kini menunjukkan tegang. Tidak seperti Faran yang santai dan percaya diri, sepertinya gadis ini lebih pendiam dari kakaknya.
"Kenapa saya merasakan dua rasa yang berbeda saat membaca novel ini? Dari bagian tengah sampai akhir, feel yang sudah terbangun hilang." Tentu saja sebenarnya Ranu sudah tahu jawaban atas kebingungan yang dibuatnya sendiri itu. Novel ini berbeda karena memang ditulis oleh orang yang berbeda. Namun, dia harus terus melakonkan peran tidak mengenal Adistia dan Faran demi bisa membantu gadis ini untuk berkembang.
Dalam hal penilaian novel milik Adistia, laki-laki itu harus jujur. Dia juga menginginkan novel terakhir Faran ini terbit. Namun tidak asal terbit, novel terakhir sahabatnya ini harus berkualitas. Dan satu-satunya cara untuk menjadikan novel ini berkualitas adalah dengan cara membantu Adistia untuk menjadi penulis berkualitas.
Ranu sudah membaca sekilas dua novel Adistia yang terbit di kantornya. Tidak ada yang salah dengan dua novel itu. Layak baca dan terbukti laris di pasaran. Namun, entah mengapa Ranu yakin jika Adistia bisa lebih dari ini. Novel yang Adistia tulis hanya sekadar bagus, tetapi tidak memiliki rasa sama sekali. Kisah percintaan yang tertulis mengalir begitu saja tanpa ada hal yang sampai ke hatinya. Entah karena memang ekspektasinya untuk sebuah novel itu tinggi, atau memang begitu kenyataannya.
"Saya mau liat novel kamu yang itu dulu. Mungkin akan saya temukan di mana kesalahan kamu." Setelah basa-basi tanpa tujuan, Ranu sengaja mengatakan itu. Sembari berdiri, dia menikmati wajah gadis di depannya yang tampak terkejut dan bingung. Saat seperti ini, Ranu selalu ingat pujian Faran untuk adiknya. Dari cerita yang sering Faran berikan, Ranu selalu merasa seperti mengenal sosok Adistia.
*
"Saya bingung di mana letak menariknya buku kamu sehingga laris di pasaran." Ranu sendiri bingung kenapa harus berbicara sekasar itu. Dia memang terbiasa bersikap seperti ini pada penulisnya, tetapi ini Adistia, seharusnya dia bisa bersikap lebih baik. Namun, saat mengingat bagaimana gadis ini berbicara akrab dengan laki-laki bernama Rema, hati Ranu memanas. Entah apa artinya ini.
Sejak bertemu dengan gadis ini, segala hal yang pernah Faran katakan padanya di surat terakhir yang laki-laki itu tinggalkan, Ranu merasa memiliki hak untuk membawa kehidupan Adistia ke arah yang lebih baik. Dan seharusnya, tujuan Adistia saat ini bukankah untuk mengerjakan novel kakaknya? Ranu merasa, jika Adistia dekat dengan laki-laki lain maka fokus gadis ini akan teralih. Dan sebelum dia bersikap lebih kasar dari ini untuk satu alasan yang seperti hanya dibuat-buat, laki-laki itu memutuskan untuk berbicara di tempat lain.
