Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3. Ranu

"Saya sudah baca novel kamu."

Hening yang menyebabkan ketegangan itu akhirnya sedikit mencair dengan munculnya satu kalimat itu. Namun, rasa gugup yang Adistia rasakan tidak juga berkurang, apalagi kini dia ditinggalkan hanya berdua dengan laki-laki di depannya. Adistia hanya tahu laki-laki ini bernama Ranu, seorang penulis yang sudah lama tidak menerbitkan buku. Fokus Ranu saat ini hanyalah sebagai editor di kantor penerbit tempat kini mereka sedang berdiskusi.

Adistia sengaja tidak merespon kalimat yang Ranu katakan karena yakin laki-laki di depannya belum menyelesaikan kalimatnya. Hening kembali tercipta karena Ranu tidak juga melanjutkan ucapannya, laki-laki itu malah terlihat seperti orang yang tengah berpikir.

"Kenapa saya merasakan dua rasa yang berbeda saat membaca novel ini? Dari bagian tengah sampai akhir, feel yang sudah terbangun hilang." Laki-laki itu menatap Adistia dengan pandangan bertanya. Tatapannya yang sedikit tajam membuat Adistia semakin kikuk. Apalagi laki-laki di depannya ini tidak menunjukkan senyuman sama sekali. Wajah yang seharusnya terlihat manis saat tersenyum itu kini cukup mengintimidasi.

"Ini, sebenarnya novel kakak saya," cicit Adistia. Gadis itu berdeham saat merasa suaranya menghilang. "Beliau sudah meninggal, dan mengatakan pada saya untuk melanjutkan menulis novelnya yang belum selesai," lanjut gadis itu dengan suara yang lebih keras meski masih terdengar seperti bisikan.

Ranu tidak langsung merespon, laki-laki itu malah menelengkan sedikit kepalanya. Menatap wajah Adistia dengan seksama, lalu entah benar atau tidak, seperti ada senyuman samar yang membayang di wajah laki-laki itu. Hanya sekejab, sebelum aura dingin itu kembali hadir.

"Sebelum ini kamu sudah pernah menerbitkan novel cetak juga?" Adistia mengangguk sebagai jawaban.

"Berapa?"

"Dua."

"Di sini?"

"Iya."

Ranu tampak mengangguk-anggukan kepalanya. Lalu sembari bersedekap laki-laki itu kembali bertanya, "Siapa editornya?"

Adistia kali ini tidak langsung menjawab karena merasa pertanyaan Ranu terlalu berbelit-belit. "Mbak Delia," jawab gadis poni depan itu setelah terdiam cukup lama.

"Saya mau liat novel kamu yang itu dulu. Mungkin akan saya temukan di mana kesalahan kamu." Ranu bangkit dari duduknya setelah mengatakan itu.

Adistia yang merasa diskusi mereka malah menimbulkan kebingungan untuknya, menahan laki-laki itu dengan pertanyaan. "Tapi Anda tadi bilang kalau novel ini kurang rasa. Bukankah masalahnya sudah ditemukan?"

Ranu tidak jadi melangkah. Laki-laki itu tampak berpikir, lalu melarikan matanya ke arah Adistia yang kini juga tengah menatapnya. "Saya mau baca novel kamu yang lain dulu." Kalimat terakhir yang Ranu beri, dan pergi begitu saja meninggalkan Adistia yang kebingungan.

*

"Gitu doang?" tanya Amara setelah mendengarkan cerita Adistia tentang diskusi yang gadis itu lakukan bersama Ranu tadi.

"Kamu bilang ke dia, kalau ini novel kakak kamu yang kamu lanjutin?" Kali ini Tama yang bersuara. Laki-laki itu mengajak Amara dan Adistia untuk mencari makan siang. Kini ketiganya sudah duduk di mobil laki-laki itu dengan Adistia yang duduk sendiri di bangku bagian belakang.

"Bilang, dan itu katanya. Novel bagian akhirnya kehilangan rasa." Adistia juga sebenarnya merasakan hal itu. Namun, yang dirinya bingungkan untuk apa Ranu ingin membaca novel miliknya yang lain terlebih dulu.

"Saran aku si kamu ikutin cara main dia aja." Tama menyarankan dan Amara mengangguk sebagai persetujuan.

Obrolan terhenti sejenak karena mobil Tama sudah berhenti di salah satu rumah makan yang menyajikan banyak olahan menu khas Indonesia.

"Tam!" Ketiga orang yang baru menjejakkan kakinya di depan pintu masuk restoran itu pun menoleh ke arah yang sama saat mendengar seseorang menyerukan nama Tama. Tiga ekspresi berbeda ditunjukkan mereka. Tama yang tersenyum pada orang yang tidak lain adalah Ranu, Amara yang biasa saja, sementara Adistia yang merasa canggung. Dia memang bukan tipe orang yang mudah untuk berinteraksi dengan orang baru.

"Lo sendiri?" Tama menanyakan hal itu dan saat Ranu memberikan anggukan kepalanya, Tama tanpa meminta persetujuan yang lain meminta laki-laki itu untuk bergabung.

*

"Kita dulu satu komunitas nulis." Penjelasan Tama untuk menjelaskan keakraban yang terbangun di antara dirinya dan Ranu. Sebenarnya mereka juga baru dipertemukan selama beberapa bulan ini karena beberapa tahun ini Ranu tinggal di luar negeri.

"Kantor penerbitan tempat aku kerja itu milik keluarga besarnya Ranu," ujar Tama lagi menjelaskan pada Adistia dan Amara yang ditatapnya bergantian.

"Jangan cuman gue yang diomongin." Ranu tersenyum seperti orang normal saat sedang berinteraksi dengan Tama. Ada senyuman yang laki-laki itu berikan, kesan dingin yang tadi mendominasi kini hilang tidak berbekas. Terganti dengan sosok laki-laki manis yang mudah berbaur di mana pun.

"Gue cuman mau mencairkan suasana, soalnya ada yang canggung banget sama lo sejak tadi." Tama tertawa kecil saat melihat Adistia berdecap kesal padanya. "Seperti yang aku bilang, dia ini ramah orangnya," ujarnya lagi sembari menepuk pelan punggung Ranu yang duduk di sebelahnya.

Obrolan terjeda sesaat karena makanan yang keempat orang itu pesan sudah siap untuk dinikmati.

*

Adistia mengembus napas lega saat akhirnya sosok Ranu pamit terlebih dulu untuk meninggalkan restoran karena memiliki keperluan penting. Sepanjang laki-laki itu ada di meja yang sama dengannya, Adistia sungguh merasa tidak nyaman. Entah hanya perasaannya saja, atau memang benar laki-laki itu sejak tadi terus mencuri pandang ke arahnya.

"Kamu sadar nggak, si, kalau dari tadi dia merhatiin Adistia?" Amara sengaja mengatakan kalimat itu dengan nada berbisik, tetapi masih bisa didengar jelas oleh gadis di sampingnya.

Tama yang mengerti maksud dari kekasihnya tersenyum, lalu menoleh ke arah Adistia yang terkejut karena ternyata perasaannya tadi benar.

"Apaan, si." Adistia menyembunyikan gugup yang tiba-tiba muncul. Mau tidak mau Amara dan Tama tertawa geli.

"Dia memangnya masih single?" tanya Amara pada kekasihnya, dan kali ini gadis berusia dua puluh tujuh tahun itu lebih serius.

"Aku sebenarnya nggak terlalu tahu. Dari dulu Ranu orangnya sangat tertutup. Apalagi jika menyangkut informasi pribadinya." Tama mencoba mengingat seperti apa Ranu yang dikenalnya di masa lalu.

"Dia juga baru muncul lagi setelah menghilang selama tiga tahun," imbuh Tama membuat kedua gadis di depannya saling mengerutkan kening. "Dulu dia itu bu—" Kalimat Tama tertahan saat ponselnya berdering dan menunjukkan satu nama.

"Gimana? Hari ini bisa, kan?" tanya Tama pada Amara sembari menunjukkan layar ponselnya yang menunjukkan nama mama.

Amara yang ditanya seperti itu malah bingung, dan malah menoleh ke arah Adistia. "Menurut kamu gimana, Dis?"

Adistia yang tidak paham akan pembahasan yang Tama dan Amara bangun tentu saja ikut bingung. "Ini pada bahas apaan?"

Amara malah berdecap malas karena Adistia melupakan pembahasan mereka. "Yang Kakak omongin ke kamu kemarin."

Adistia tampak mengerutkan kening, lalu mengangguk saat mengingat apa yang menjadi pembahasan mereka. Ini menyangkut hubungan Tama dan Amara yang akan dilanjutkan ke jenjang serius dan ibu laki-laki itu mengundang Amara untuk datang.

"Ya, kalau Kakak memang udah siap, nggak papa dateng." Adistia sedikit kesal karena Amara menanyakan pendapatnya di depan Tama, tentu saja dia akan memilih cara menjawab yang aman.

Amara sempat berpikir sebelum akhirnya memantabkan hati untuk ikut ke rumah Tama. Adistia yang tidak mau merepotkan keduanya memutuskan untuk pulang sendiri. Tidak benar-benar langsung pulang karena selepas keluar dari restoran dia memilih membelokkan langkah ke sebuah kedai teh yang merangkap toko buku.

"Flora!" Panggilan itu membuat Adistia tersentak, dan saat menoleh, senyumnya mengembang karena bertemu dengan seseorang yang selama ini dirinya kagumi dalam diam.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel