2. Proses
"Hari ini aku bakalan ketemu editor profesional buat wujudin mimpi Kakak." Adistia meletakkan satu buket mawar putih di atas pusara sang kakak. Selama tiga tahun ini, hampir setiap hari dia menyempatkan waktu untuk datang ke tempat peristirahatan terakhir kakaknya. Jika biasanya dia membutuhkan waktu lama untuk menceritakan banyak hal di makam, maka hari ini tidak. Dia hanya singgah sebentar karena ada urusan penting yang harus diselesaikannya.
"Aku janji besok bakalan datang lagi bawa kabar bagus buat Kakak," ujar gadis yang kini berusia dua puluh satu tahun itu sembari bangkit.
"Dis! Mobilnya udah dateng!"
Teriakan itu membuat Adisti menoleh, menganggukkan kepala pada sosok Amara yang kini menjadi teman baiknya. "Kak, aku pergi dulu, besok aku bakalan datang lagi." Setelah mengatakan itu, mengusap nisan atas nama Faran Pratama, Adistia segera melangkah ke arah Amara menunggunya.
"Aku gugup banget, Kak," ujar Adistia sembari menggosok-gosokkan telapak tangannya. Selama tiga tahun ini, sudah dua novel yang berhasil dirinya terbitkan. Belum lagi beberapa novel yang juga berhasil masuk ke beberapa platform kepenulisan, tetapi rasa percaya dirinya mendadak jatuh karena novel yang harus diterbitkannya kali ini adalah milik kakaknya.
Novel yang Faran tulis baru lima puluh persen, dan lima puluh persennya lagi Adistia yang meneruskannya. Amara bilang, gaya penulisannya sudah mirip dengan kakaknya di novel itu. Namun, tetap saja Adistia merasa takut jika orang lain tidak menganggap begitu. Amara bukanlah sosok yang berkompeten untuk menilai sebuah novel karena gadis ini menggeluti bidang fasion, dan saat ini sedang merintis bisnis butiknya.
"Wajar, ini novel yang paling kamu nantikan buat terbit. Perjuangan kamu buat namatin novel ini juga nggak singkat, kan?" Amara mengusap pundak mantan calon adik iparnya ini. Selama tiga tahun ini, dia tidak meninggalkan Adistia sendirian karena almarhum Faran sudah menitipkan gadis ini padanya.
Adistia mengangguk, lalu segera masuk ke taksi online yang sudah Amara pesan selama dia berbicara singkat di makam kakaknya tadi. "Tiga tahun, aku udah revisi novel itu berulang kali, semoga hasilnya sepadan," ujar Adistia sembari mengembus napas panjang.
*
"Tunggu bentar, Ranunya lagi ketemu penulis lain." Tama, laki-laki yang selama beberapa bulan ini menyandang sebagai kekasih baru Amara mempersilakan keduanya duduk di ruangannya. Tidak hanya Adistia yang kehilangan Faran, Amara pun mengalami hal sama. Itu kenapa butuh waktu yang tidak singkat untuk berhasil menemukan orang baru. Amara bersedia membuka hati untuk Tama pun karena dorongan dari Adistia yang tidak mau melihat gadis baik itu terus hanyut dalam kesedihan.
"Ranu ini, orangnya galak nggak, Mas?" Pertanyaan Adistia memancing Tama untuk tertawa lirih. Pasalnya pertanyaan seperti itu sudah berkali-kali Adistia ucapkan semenjak satu minggu yang lalu.
"Bisa dibilang galak, bisa dibilang enggak. Yang jelas dia nggak makan orang," kekeh Tama sembari menyorongkan minuman dingin untuk Adistia juga Amara.
"Kamu, kan, udah dua kali nerbitin buku, Dis. Masak masih aja takut begini?" Amara ikut tersenyum geli saat melihat wajah Adistia yang sedikit pucat.
"Ya, kan, kemarin aku dapet editor kayak Mbak Delia, dia mah ramah banget. Kalau ini ...." Adistia sengaja tidak meneruskan kalimatnya karena sepak terjang Ranu sudah didengarnya dari beberapa rekan penulis.
Editor yang satu ini sering memberikan komentar pedas pada penulisnya. Bahkan tidak segan-segan mengatakan sampah pada karya orang lain. Namun, meski begitu banyak yang menginginkan naskahnya ditangani Ranu. Hampir semua novel yang pernah Ranu tangani laku keras di pasaran, juga banyak yang diangkat ke layar lebar. Entah itu ada hubungannya dengan editor ini atau tidak, yang jelas para penulis meyakini jika tangan Ranu penuh keberuntungan.
Adistia sendiri sebenarnya tidak terlalu percaya pada hal tersebut. Jika bukan karena Tama, gadis itu pun tidak ingin novel milik kakaknya ini ditangani Ranu. Nyalinya terlalu kecil untuk mendapat kritikan pedas.
"Ranu yang aku kenal ini ramah. Kamu aja yang kemakan gosip di luaran sana." Tama tidak berbohong karena Ranu yang dikenalnya selama ini seperti itu. Dikenal tegas dan tidak pandang bulu untuk mengkritik naskah orang lain. Namun, kritikannya itu juga bukan sekadar kritikan tanpa ilmu. Ranu sudah melanglang buana di dunia literasi sejak bertahun-tahun yang lalu. Dan selama beberapa tahun ini dia begitu mendalami dunia tulis menulis, terutama untuk karya fiksi.
"Mungkin dia tegas soal kritikan?" Amara mencoba menebak seperti apa Ranu ini.
Tama mengangguk untuk membenarkan. "Tapi dia juga nggak sembarangan ngritik. Hanya untuk novel yang dia pegang, juga hal yang dia berikan itu memang benar-benar membangun."
"Kamu siapin mental aja." Amara menepuk pundak Adistia yang terus menarik dan mengembuskan napasnya.
*
Tiga jam.
Baik Adistia atau pun Amara sudah menguap berulang kali. Bahkan kini kepala Adistia sudah menyandar di punggung sofa. Sementara Tama sudah menghilang sejak satu jam yang lalu, dan hingga kini belum kembali lagi.
"Keburu jamuran tahu, Kak," gerutu Adistia yang merasa kesal karena telah membuang waktu. Kalau bukan karena untuk menghargai Tama, sudah sejak tadi dia melarikan diri dari tempat ini.
Amara yang mendengar gerutuan itu tersenyum geli. Beruntung hari ini dirinya sedang tidak terlalu sibuk jadi tidak begitu masalah untuk membuang waktu demi menemani Adistia yang sudah dianggapnya adik sendiri.
"Sabar aja. Sayang, kan, kalau ditinggal pergi. Takutnya mau ketemu lagi susah."
Adistia mendesah malas. "Kalau bukan karena Mas Tama aku ogah kayak gini. Lagian Mbak Delia ngapain resign, si," keluh gadis itu karena Delia menurutnya adalah editor profesional yang tidak sombong. Sangat sabar saat membimbingnya yang belum tahu apa-apa tentang dunia penerbitan. Namun, sayangnya wanita itu harus resign karena dilarang bekerja oleh suaminya. Dan kini menetap di luar negeri.
"Dia memprioritaskan keluarga, kamu harus dukung dong." Amara mengatakan itu sembari mengintip pesannya untuk Tama yang belum dibalas.
"Kakak telepon Mas Tama coba," desak Adistia yang sudah merasa sisa sabarnya sedikit lagi akan habis.
Baru saja Amara mengangguk, dan hendak membuka ponselnya. Orang yang sejak tadi mereka bicarakan muncul.
"Sori lama, tadi ada masalah sedikit," ujar Tama sembari menunjukkan wajah lelah.
"Terus yang namanya Ranu mana?" tanya Adistia tidak sabar.
Tama tidak membalas dengan suara melainkan hanya mengedikkan dagu ke belakang bahunya. Dua gadis itu pun segera melarikan matanya ke arah pintuk masuk. Di mana seorang laki-laki dengan kemeja putih serta celana jenas hitam kini berjalan ke arah mereka. Auranya begitu dingin, tidak ada senyuman yang muncul. Saat itu juga Adistia merasa seperti baru masuk ke alam lain, dan siap untuk dieksekusi.
