BAB 10 - BENCI
Kejadian di lapangan tadi membuat acara go green sedikit terhambat namun untunglah semuanya dapat diatasi sedangkan sang Ketua OSIS menangis dan mengurung diri di ruangan OSIS, ia benci pada Steffi dan siapapun yang membelanya termasuk cowok bad yang gila itu. Sekarang semua wewenang dan tugas ia berikan kepada Eza selaku Wakil Ketua Osis, ia hanya ingin menenangkan diri setelah kejadian yang cukup menguras emosinya kenapa mulut Steffi hanya bisa membuat orang terluka kenapa harus menyinggung mamanya seolah-olah mamanya salah ia benci itu. Bagi Agatha mamanya adalah mama terhebat didunia karena ia bisa menjadi sekarang karena motivasi mamanya sebelum meninggal.
“Lo boleh benci gue, hadapi gue tapi jangan bawa-bawa mama gue. Gue benci lo Steffi, Aldo!” Kata-kata itu muncul saat Agatha masih terdiam duduk di ruang rapat OSIS dengan kedua tangan menjadi sandarannya diatas meja.
“Emang kalau sesuatu yang menyangkut keluarga sensitif ya.” Sebuah suara asing masuk ke indera pendengaran Agatha, kepala Agatha berat jadi ia memilih diam dan mencoba mendengarkan kalimat selanjutnya.
“Kamu boleh nangis tapi, nanti aja ya. Sekarang saya mau minta kunci ruangan musik bisa?” Kekeh Alvin, Anehnya setelah Agatha mencerna lebih lagi suara itu ia seolah paham siapa pemilik suara itu, jadi dengan perlahan ia merubah posisi kepalanya dan ia langsung mundur dan hampir saja terjatuh seketika karena melihat siapa yang berdiri dengan gaya paling cool di dekat pintu dan melihat reaksi Agatha, Alvin hanya mengangangkat sedikit sudut bibirnya.
Agatha melihat itu dengan jelas, ia melihat bagaimana seorang good boy terbaik sekolah ini sedikit ya hanya sedikit mengangkat sudut bibirnya hanya dengan melihat tingkah bodoh Ketua OSIS nan perfeksionis itu.
“Jadi? Saya bisa pinjam?” Tanya Alvin, yang ditanya tidak memberikan reaksi sama sekali. Agatha mematung di posisinya melihat seorang titisan dewa yunani ada di hadapannya dan sedang berbicara dengan ia, sungguh beruntungnya.
Tanpa sadar ada seseorang yang mengintip dari luar, ia kesal melihat apa yang di dalam dengan senyum getir seolah paham memang kakaknya lah yang pantas untuk gadis itu.
Agatha berharap waktu berhenti berputar, ia merasa seluruh darahnya beku, tangannya dingin, kegugupan hebat mengguncang dirinya kemana Agatha yang pemberani mengapa hanya di hadapan seorang Alvin Dirgantara Pratama, ia ciut? Kenapa? Agatha masih terdiam sedangkan jantung tidak bisa di kontrol, Alvin yang mulai jenuh akhirnya mengambil langkah dengan maju mendekati Agatha, pergerakan Alvin membuat Agatha tersadar dan ini tidak baik signal buruk untuk jantungnya tapi, semakin dekat jarak Alvin dan Agatha.
“Jadi kunci ruang musiknya dimana?” Tanya Alvin yang masih berdiri menatap Agatha yang masih duduk. Agatha tau bahwa kunci musik memang ada di ruangan ini tapi, mengapa lidahnya kelu hanya untuk mengucapkan letak kunci itu setelah itu ia pasti bisa bernafas, oksigen di sekitarnya menipis itu yang Agatha rasakan.
“Di laci biru kak.” Suara yang sangat pelan perlahan keluar dari mulut Agatha, dan Alvin tanpa banyak tanya mengambil kunci itu dan bersiap menuju ke arah pintu namun sebelum keluar.
“Makasih, jangan nangis lagi.” Ucapnya sebelum membuka pintu.
Setelah Alvin keluar dari ruangan OSIS, Agatha memegang dadanya dan merasa jantungnya seperti lari maraton berdebar tidak karuan ditambah oksigen yang menipis baginya satu ucapan Alvin berdampak hebat mengubah seluruh perasaannya seperti sekarang ia senang bukan main saat Alvin menyuruhnya untuk tidak menangis lagi.
“Aduh mimpi apa gue semalam, satu ruangan sama Kak Alvin di tambah dia kasih kata-kata penghiburan lagi.” Agatha tersenyum senang dan melompat-lompat kesana kemari membayangkan kejadian tadi namun ia berhenti sejenak.
“Astaga gue kan abis nangis, pasti mata gue bengkak, hidung gue merah terus rambut acak-acakan. Yah ancur deh image gue didepan Kak Alvin.” ia memajukan bibirnya.
*******
“Za, tadi anak MOS udah ngapain aja? Sorry ya gue gak bisa ngikutin.” Ucap Agatha saat melihat Eza di pinggir lapangan.
“Tadi sih habis go green, makan bersama di lapangan sekarang masih jam mereka buat games. Gapapa Tha, santai gue ngerti kok.” Eza mengerti apa yang terjadi di lapangan, bahkan seluruh sekolah mendengar kejadian itu.
“Lo istirahat dulu aja gapapa Za, gue bisa gantiin kok buat ngawasin.” Ucap Agatha tak enak karena melihat Eza hanya minum.
“Serius lo udah lebih baik?” Eza memang sangat baik disamping itu dialah satu-satunya teman cowok yang cukup dekat dengan Agatha.
“Ini tanggung jawab gue dan gue pasti baik-baik aja.” Hanya itu yang terucap dari Agatha setelah itu Eza pergi dan tinggal Agatha yang termenung memperhatikan langit siang hari dan lapangan luas tempat dimana tadi hatinya terluka karena perkataan Steffi.
*******
“Bos, lo kenapa sih?” tanya Okky bingung saat melihat bosnya yang biasa bercanda dengan dia dan Rangga sekarang terdiam.
“Iya Do, tuh siomay sampe melting gara-gara lu liatin doang.” Ucap Rangga seperti memelas “Ih dodol lu Ngga mana bisa siomay melting, lu kata dia cewek?” Okky menoyor kepala Rangga.
“Siapa tahu tuh siomay jenis kelaminnya cewek, coba lu cek Ky.” Ucap Rangga sambil tertawa dan mereka larut dalam candaan selanjutnya sedangkan di sisi lain Aldo mengulang memori dimana saat dilapangan sebuah kalimat yang sedari tadi memenuhi pikiran dan relung hatinya. ‘Gue benci lo’ rasanya hal itu sudah sangat sering ia dengar dari teman-teman cewek sekelasnya yang biasa ia goda bahkan dari setiap orang yang ia ganggu pasti membenci dirinya namun bila kalimat itu keluar dari Agatha mengapa efek yang ditimbulkan mampu membuat gejolak hebat pada dirinya.
“Kalau ada cewek yang bilang kalau dia benci kita, apa reaksi lo berdua?” tanya Aldo tiba-tiba saat Okky dan Rangga sedang tertawa sambil melahap bakso dengan sedikit tersedak Okky bertanya.
“Ya gue juga jadi benci sama tuh cewek.” Ucap Okky santai yang memang terkenal playboy seantero sekolah.
“Tuh kan begonya sih Okky kumat.” Ucap Rangga.
“Gue serius.” Aldo berucap dingin, kedua sahabatnya sangat paham bila Aldo sudah begini pasti ia ingin serius.
“Kalau gue sih pasti gue tanya dulu lah kenapa dia benci sama gue? Alasannya apa?” Jawab Rangga santai namun bagi Aldo itu adalah titik terang, dari tadi ia terus memikirkan kata-kata yang diucapkan Agatha berulang namun tidak memikirkan solusinya.
“Tumben lo pinter, Ngga.” Ucap Aldo sambil melahap bakso sahabatnya itu.
“Dasar tukang tikung bakso.” Ucap Rangga kesal dan mereka larut dalam candaan.
“Kalau gitu gue mau ke kelas deh.”
“Siomay lo?” tanya Okky melihat siomay milik Aldo tidak terjamah sedikitpun.
“Buat lo berdua aja.” Ucap Aldo.
“Asik siomay gratis, kapan lagi?” Okky berucap namun Aldo berbalik.
“Pak Dadang, siomay saya di bayar Okky sama Rangga. Makasih.” Teriak Aldo dan langsung berlari.
“Kampret lo Do, gak jadi deh siomay gratis kita.” Okky dan Rangga dengan wajah memelas pun kembali menikmati makanan mereka.
*******
Aldo sedang mencari gadis yang membuat perasaannya tak karuan namun tak menemukannya di kelas, tapi mata tajamnya berhasil mendapatkannya di pinggir lapangan sedang menatap kosong ke depan, ada apa dengan gadisnya. Ia harus segera kesana.
Saat ia ingin berjalan menghampiri gadis itu ia melihat Riska dan Febri duduk di dekat Agatha jadi ia mengurungkan niat dan menatap gadisnya itu dari kejauhan.
“Tha, sorry ya gue sama Febri gak bisa bantuin lo pas lo di hina-hina sama si Steffi.” Ucap Riska.
“Iya Tha, soalnya tadi kita ikut ulangan remedial matematika.” Ucap Febri lagi sedih setelah mengetahui sahabatnya diperlakukan dengan tidak baik oleh orang sok cantik seperti Steffi.
“Gue gapapa kali santai, apa kabar remedial kalian?” tanya Agatha tersenyum.
“Ya nilai standar namanya remedial.”
“Gue mencium bau-bau kebahagian dan rahasia diantara kita.” Riska dengan mata menyipit serat menyelidik ke arah Agatha.
“Apaan sih maksud lo Ris, gak paham gue.” Elak Agatha namun rona merah di pipinya tak dapat berbohong.
“Pasti Kak Alvin lagi deh.” Ucap Febri yang langsung membuat Agatha salah tingkah.
“Ini sih ketebak, ada apa sih sama si titisan dewa yunani itu?” tanya Riska merangkul sahabatnya.
“Cuman ngobrol doang, itu juga gak enak banget suasananya.” Agatha masih serius melihat lalu lalang di lapangan.
“Ceritain dong.” ucap Riska dengan puppy eyes nya.
“Lebay deh lo.” Agatha menyenggol Riska.
“Iya deh Tha, gue pengen denger.” Febri ikut-ikutan dengan mendengus sebal Agatha menatap lurus mengingat bagaimana tadi jantungnya berdetak sangat cepat.
“Ternyata Kak Alvin bisa care juga sama cewek.” Ucap Febri tersenyum manis.
“Sekarang lo selangkah lebih deket sama tujuan lo Tha, bisa dekat sama cowok yang lo idam-idamin dari dulu.” Ucap Riska memeluk sahabatnya itu.
“Tuh kan lo berdua lebay, itu mah gak berarti apa-apa tau.” dengan muka memerah Agatha mencoba bersikap biasa.
“Saya mau balikin ini.” Ucap sebuah suara bariton menginterupsi obrolan Agatha, dan reaksi pertama Riska dan Febri sudah dapat ditebak.
“Ehem..ehem..” Dan menyenggol Agatha secara bersamaan, Agatha bersumpah akan memarahi mereka setelah urusannya dengan pangeran di depannya selesai.
“Oh iya kak, makasih.” Ucap Agatha jauh lebih tenang walaupun tak bisa dipungkiri rona merah wajahnya di bawa terik matahari sangat nampak di pipi bulatnya.
“Bagus kalau kamu udah gak nangis, saya permisi.” Ucapnya lalu pergi menuju kantin.
“Cieeee...” Kata-kata itu terucap sangat kencang dari kedua sahabat Agatha membuat dia jengah.
“Malu-maluin deh lo berdua sebel gue.” Agatha memajukan bibirnya.
“Malu tapi mau ya?” Ucap Febri.
“Bodo, sebel gue.” Agatha melangkahkan kaki untuk melanjutkan kegiatan OSIS nya.
*******
“Sial, gue benci lo! Lo selalu menang apapun dari gue! Semuanya bisa lo ambil! Arggghh.. !!” Aldo menonjok samsak yang memang terletak di gudang belakang sekolah tempat dimana biasanya seluruh anggota geng nya berkumpul.
Sekarang Aldo sendirian sedang melampiaskan seluruh amarahnya setelah kejadian di ruang OSIS dan lapangan sekolah, mengapa rasanya sulit membuatnya lebih unggul dari sang kakak.
Aldo kembali memukul samsak sampai kemeja nya sudah tak beraturan dan hanya di kancing sebagian, keringat bercucuran dimana-mana, ia sangat menikmati saat seperti ini bolos jam pelajaran dan samsak yang selalu dijadikan tempat pelampiasan kekesalannya.
“Bos.” Suara Rangga masuk membuat Aldo berhenti.
“Zack digebukin anak Nusantara.” Informasi itu langsung menyulut amarah Aldo, ia seperti tersambar kilat, mukanya memerah mengetahui teman segengnya diperlakukan tidak baik oleh musuh bebuyutannya sendiri.
“Siapin anak-anak, kita hajar mereka sekarang di lapangan kosong biasa.” Ucap Aldo dingin mungkin kelewat dingin dari biasanya. Rangga yang paham langsung berlari.
Agatha, Riska, dan Febri baru saja akan masuk ke kelas. “Tha, lo liat deh tuh cowok-cowok gengnya si Aldo masa keluar sekolah pas jam pelajaran?” ucap Riska menunjuk ke arah gerbang.
“Bodo amat Ris, gamau deh gue berurusan sama cowok-cowok bad pengacau gitu.” Agatha membalikan badan dengan bersandar pada tiang koridor.
“Sifat Kak Alvin sama Aldo bertolak belakang banget ya?” Febri membuka suara.
“Iyalah beda Feb, maka dari itu gue suka sama Kak Alvin dia tuh idaman banget.” Ucap Agatha tersenyum.
“Eh yang bad tuh menantang tahu?” Riska tertawa.
“Yauda gue doain lo sama Aldo amin ya Tuhan.” Agatha tertawa dan segera lari menuruni tangga.
“Nyebelin Agatha!” Teriak Riska.
