Bab 4 – Perang Dingin di Balik Pelukan
“Bagus sekali, Sarena.”
Suara itu membekukan darahnya.
Axel berdiri di ambang loteng rumah tua itu, separuh tubuhnya diselimuti bayangan. Tak ada emosi di wajahnya. Hanya sepasang mata dingin yang menusuk seperti pisau, memaku Sarena pada tempatnya.
Sarena refleks menyelipkan kembali chip kecil itu ke dalam bra-nya. Ia menatap Axel dengan napas terengah, seolah mencoba membaca apakah pria itu benar-benar akan menyakitinya… atau hanya bermain-main.
“Aku tahu kau akan ke sini,” ucap Axel sambil melangkah masuk. Debu di lantai berputar setiap kali sepatunya menapak. “Aku hanya ingin tahu seberapa jauh kau bisa membohongiku.”
Sarena mundur perlahan. “Aku tidak berbohong. Aku hanya… mengingat.”
Axel tertawa pelan. Tapi tawa itu hambar, tanpa kehangatan.
“Kau pikir aku bodoh?” tanyanya sinis. “Kau menyembunyikan sesuatu dariku. Liana membantumu. Dan kau sudah berbohong di ruang interogasi.”
Sarena mengangkat dagunya. “Kau menyekapku, Axel. Memaksaku menjawab pertanyaan tentang seorang pria yang bahkan tidak pernah benar-benar menjadi ayahku. Apa kau berharap aku akan jujur? Kau pikir aku bisa percaya padamu?”
Axel berhenti hanya sejengkal darinya. Suara langkahnya menghilang digantikan ketegangan yang mendesak di antara mereka.
“Kepercayaan itu dibangun, Sarena. Tapi pengkhianatan hanya butuh satu detik.”
“Seperti yang dilakukan ayahku padamu?” balas Sarena cepat. “Kau mungkin berpikir semua orang akan mengkhianatimu, tapi pernahkah kau bertanya kenapa semua orang melarikan diri darimu?”
Axel menatapnya tajam, seolah hendak mencabik-cabik kata-kata itu. Tapi ia tak menjawab. Hanya mendekat lebih dalam, hingga nafas mereka hampir menyatu.
Sarena ingin mundur. Tapi tubuhnya tak bergerak. Mungkin karena takut. Mungkin karena marah. Atau mungkin karena, di balik semua ini, Axel tak pernah sepenuhnya bisa ia benci.
“Berikan chip itu,” desis Axel.
“Tidak.”
“Sarena—”
“Bunuh aku kalau itu satu-satunya pilihan yang kau punya.” Suaranya gemetar, tapi tatapannya tidak. “Tapi selama aku masih hidup, aku tidak akan memberikannya tanpa tahu apa sebenarnya isi file itu.”
Axel memejamkan mata. Rahangnya mengeras. “Kalau aku membukanya bersamamu… lalu bagaimana kalau kau menyalahgunakannya?”
“Aku tidak sepertimu, Axel,” bisik Sarena. “Aku tidak membunuh orang demi mempertahankan kekuasaan.”
Untuk beberapa detik, hanya suara hujan di atap seng yang terdengar.
Kemudian Axel mengambil napas dalam, membuka matanya, dan mengulurkan tangan.
“Berikan padaku, dan aku bersumpah tidak akan menyakitimu. Aku akan membukanya di depanku dan di depanmu. Kita akan lihat kebenaran itu bersama-sama.”
Sarena menatapnya lama. Hatinya berperang. Tapi akhirnya, perlahan, ia mengeluarkan chip itu dari balik pakaian dan meletakkannya di tangan Axel.
Pria itu menatapnya seperti sedang menerima warisan takdir.
Beberapa jam kemudian – Markas Viscari
Di sebuah ruang rahasia yang tersembunyi di balik perpustakaan keluarga Viscari, Axel memasukkan chip itu ke dalam terminal khusus yang hanya bisa diakses oleh dua orang: dirinya… dan satu akun lama atas nama Fajri Al Ghazali.
Axel menekan beberapa kombinasi kode biometrik. Sarena berdiri di sampingnya, mengawasi layar.
File terbuka.
Ratusan dokumen berseliweran—transfer ilegal, nama-nama politikus yang dibayar, gudang penyimpanan senjata, hingga perjanjian hitam dengan kartel internasional. Axel memindai data-data itu cepat, matanya melebar ketika melihat bagian paling akhir.
“Pengkhianat: Lucio Viscari”
Sarena mengerutkan dahi. “Siapa itu?”
Axel menutup file. “Paman kandungku. Saudara ayahku. Dia adalah satu-satunya pewaris selain aku. Dan dia... sudah merencanakan kudeta.”
“Jadi selama ini ayahku bukan pencuri?”
Axel menoleh padanya. “Tidak. Ayahmu tahu terlalu banyak. Dan dia tahu Lucio mencoba menjatuhkanku. Jadi dia mengambil chip ini—bukti satu-satunya—dan menyimpannya. Mungkin... untuk melindungiku.”
Sarena terdiam. Luka lama terbuka, kini dengan makna baru.
“Jadi kau salah paham selama ini…”
Axel mengangguk perlahan. “Aku membunuh terlalu banyak orang karena salah paham itu.”
Sunyi menyelimuti ruangan.
Sarena menyandarkan tubuhnya ke dinding. “Kalau begitu... apa yang akan kau lakukan sekarang?”
Axel memandangi chip itu. “Aku harus mengakhiri ini. Tapi dengan cara yang tidak membunuh lebih banyak orang. Kalau aku gagal, seluruh Viscari akan menjadi medan perang.”
Ia berbalik menatap Sarena. “Dan aku butuh kau tetap hidup. Lebih dari sebelumnya.”
Sarena tertawa kecil. “Tentu saja. Aku satu-satunya yang bisa membukanya ulang, kan?”
Axel menggeleng. “Bukan karena itu.”
Ia melangkah pelan ke arahnya, mendekat hingga hanya ada beberapa jengkal. “Aku tak pernah menyangka seorang gadis biasa seperti kau bisa menantangku... dan tetap berdiri. Tapi di matamu, aku melihat kekuatan yang bahkan tak kumiliki sendiri.”
Sarena menggigit bibirnya, berusaha mengabaikan detak jantungnya yang berdebar terlalu kencang.
“Kau masih penculikku,” katanya pelan.
Axel menyentuh dagunya, mengangkat wajahnya perlahan. “Dan kau... tawanan yang berhasil menaklukkan penjaranya.”
Untuk sesaat, dunia terasa hening.
Dan untuk sesaat, Sarena membiarkan bibirnya disentuh Axel—bukan dengan kekerasan, bukan dengan ancaman, tapi dengan sesuatu yang lebih berbahaya: kelembutan.
Namun sebelum bibir mereka bersentuhan…
BRAGG!!
Pintu rahasia meledak. Asap memenuhi ruangan. Suara langkah cepat, teriakan, dan tembakan pecah di udara.
Dante masuk dengan wajah panik. “Lucio menyerang. Mereka sudah tahu kita punya file itu!”
Axel langsung menarik Sarena ke belakang, memeluknya erat.
“Lindungi dia dengan nyawamu,” bisiknya pada Dante.
“Dan kau?”
Axel menghunus pistol dari balik jasnya. Tatapannya dingin, penuh dendam. “Aku akan membakar singgasana siapa pun yang mencoba merebut takhtaku.”
