Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5 – Darah di Singgasana

Peluru melesat membelah udara. Dinding marmer meledak serpihan. Axel menarik Sarena ke belakang pilar besar sementara Dante menembakkan senjata otomatis ke arah pintu yang terbuka. Tiga orang bertopeng jatuh berguling, sementara sisanya menyerbu masuk seperti kawanan serigala kelaparan.

Sarena tak bisa berpikir. Telinganya berdengung. Semua suara—teriakan, tembakan, dentuman—bercampur menjadi satu. Tapi satu hal yang terus ia rasakan: tangan Axel yang tak melepaskannya.

“Ambil dia dan bawa ke ruang evakuasi!” perintah Axel pada Dante.

“Aku tidak akan pergi!” teriak Sarena.

“Kau harus pergi, Sarena! Ini bukan pertarunganmu!” balas Axel, matanya penuh tekanan.

Tapi Sarena menolak. “Kalau aku pergi dan kau mati, maka semua ini tak ada artinya!”

Axel memejamkan mata sejenak, lalu menatapnya—dalam dan tajam. “Kau lebih keras kepala dari yang kuduga.”

Sarena menarik napas panjang. “Dan kau lebih manusiawi daripada yang kau tampilkan.”

Axel mengangguk pelan, lalu mencium keningnya. “Kalau begitu, kita bertarung bersama.”

Beberapa menit sebelumnya – di sisi Lucio

Lucio Viscari berdiri di ruang komando kecil yang dipenuhi layar pemantau. Ia mengenakan jas putih yang kontras dengan suasana gelap, rambut peraknya tertata rapi, tapi wajahnya keras seperti batu.

“Axel sudah membuka file-nya,” ujar tangan kanannya, Renzo.

Lucio tersenyum tipis. “Tepat seperti yang kuprediksi. Fajri memang menyimpan sesuatu... tapi dia juga terlalu percaya pada anak perempuannya.”

“Kita serang langsung atau lewat jalan bawah?”

Lucio memutar cincin di jarinya. “Langsung. Hancurkan pintu utamanya. Buat dia tahu bahwa singgasananya tidak pernah benar-benar milik dia.”

Kembali ke Axel dan Sarena

Sarena meraih pistol kecil dari laci meja. Tangannya gemetar, tapi ia mencoba mengingat semua yang pernah ia tonton—atau baca—tentang menembak.

Axel berdiri di sampingnya, menembakkan dua peluru tepat ke kepala musuh yang mendekat. Ia bergerak seperti bayangan, gesit dan presisi. Setiap langkahnya penuh makna, setiap geraknya seperti simfoni kekerasan yang dilatih bertahun-tahun.

“Kalau kau bertahan hidup malam ini,” katanya sambil menembak, “aku akan memberimu pelatihan yang sesungguhnya.”

Sarena mengangguk cepat, menembakkan pistolnya ke arah bayangan yang bergerak. Tembakannya meleset. Tapi yang penting: dia berani.

Axel tersenyum singkat. “Kau akan jadi ancaman, Sarena.”

Tiba-tiba, ledakan terdengar dari sisi timur bangunan. Guncangan membuat kaca jendela retak. Dante muncul kembali.

“Kita harus keluar! Mereka sudah menembus perimeter dalam!”

Axel menatap Sarena. “Kau masih punya chip itu?”

Sarena mengangguk. “Sudah kupindahkan ke drive eksternal dan aku simpan di saku dalam jaketku.”

Axel menyentuh wajahnya, sebentar saja. “Kau lebih berharga dari chip itu.”

Ruang Evakuasi – Terowongan Bawah Tanah

Sarena, Axel, Dante, dan dua orang pasukan yang tersisa berlari menyusuri lorong gelap sempit. Aroma lembap dan karat memenuhi udara. Setiap langkah seperti detik terakhir dari hidup mereka.

Namun sebelum mereka sampai ke pintu keluar...

Suara kaki berlari mendekat dari arah berlawanan.

“Berhenti atau aku tembak!” teriak Dante.

Bayangan tinggi besar muncul dari balik belokan.

“Lucio,” gumam Axel.

Pria itu berdiri dengan senyum licik di wajahnya. Ia tidak membawa senjata—terlalu percaya diri untuk itu.

“Anakku,” ucap Lucio, suara lembutnya menusuk. “Masih kau pikir kau pantas atas nama Viscari?”

“Kau mengkhianati ayahku,” balas Axel. “Kau mengkhianati segalanya.”

Lucio tertawa kecil. “Ayahmu lemah. Ia membiarkan orang-orang seperti Fajri hidup, membuat keputusan bodoh, dan akhirnya—membawa kita ke ambang kehancuran. Tapi aku... akan mengembalikan kejayaan.”

“Dengan membunuh semua orang yang menghalangimu?”

Lucio mengangkat bahu. “Dunia ini milik yang kuat.”

Sarena maju selangkah, menatap Lucio. “Kalau begitu, mengapa kau takut pada satu chip kecil yang dipegang oleh satu wanita yang bahkan tidak punya nama di dunia kalian?”

Lucio tersenyum. “Karena wanita itu... kini memegang leher kekuasaan kami.”

Ia melirik Axel.

“Berikan dia padaku. Dan aku akan membiarkanmu hidup.”

Axel tidak bergerak.

Lucio mendekat selangkah. “Atau... kau bisa mati bersamanya. Tapi jika dia hidup—dan file itu jatuh ke tangan orang lain—maka bukan hanya Viscari, tapi seluruh tatanan kriminal dunia akan runtuh.”

Axel mengarahkan pistolnya.

“Biarkan dunia runtuh.”

Dan ia menembak.

Peluru bersarang di bahu Lucio. Pria itu tersungkur. Teriakan terdengar. Dante dan yang lain menahan anak buah Lucio yang menyerbu.

Axel menarik Sarena ke tangga darurat di ujung lorong.

“Malam ini belum selesai,” gumamnya.

Beberapa jam kemudian – Lokasi Aman

Sarena duduk di atas ranjang kecil, tubuhnya lelah dan jiwanya remuk. Luka di lengannya dibalut oleh Dante. Sementara Axel berdiri di dekat jendela, menatap hujan yang kembali turun.

“Lucio kabur,” ucap Dante. “Tapi kita berhasil mengamankan file dan menyebarkan sebagian bukti ke tiga orang wartawan besar. Dunia akan tahu siapa dia.”

Axel mengangguk pelan.

Dante pamit keluar. Tinggal mereka berdua.

Sarena menatap Axel. “Apa sekarang semuanya berakhir?”

Axel menoleh. “Tidak. Ini baru dimulai.”

“Lalu aku?”

Axel mendekat, duduk di sisi ranjang. “Kau bebas. Jika kau ingin pergi... aku tidak akan menghalangi.”

Sarena tertawa pelan. “Setelah semua ini? Setelah kau menculikku, menyentakku, menyiksaku... dan menyelamatkanku?”

Axel menunduk. “Maaf tidak akan cukup.”

Sarena menatap matanya lama. “Tapi aku tidak akan pergi.”

Axel mengerutkan dahi. “Kenapa?”

“Karena takhta itu sudah kau miliki. Tapi kau masih belum punya satu hal yang paling berharga.”

“Apa?”

Sarena menyentuh dadanya.

“Hati yang percaya bahwa kau bisa berubah.”

Axel diam. Lalu menggenggam tangan Sarena. Lembut. Tak seperti sebelumnya.

Dan untuk pertama kalinya… tak ada lagi perang di mata mereka. Hanya luka yang saling mengerti.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel