Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 – Di Balik Cermin

Sarena duduk di sudut ruang interogasi, dingin logam kursi menyusup hingga ke tulangnya. Ruangan itu kosong, hanya dinding kelabu, satu lampu neon menyala redup, dan cermin besar di salah satu sisi—jelas kaca satu arah. Ia tahu ada yang mengawasinya dari balik sana. Axel. Mungkin juga Dante.

Setiap detik berlalu seperti satu jam. Sarena mencoba mengatur napas, tapi perutnya mual. Bukan karena takut. Tapi karena hari ini ia harus berpura-pura menjadi seseorang yang tahu lebih dari kenyataannya. Satu kesalahan saja, dan hidupnya bisa berakhir di ruang bawah tanah yang katanya penuh tikus.

Pintu terbuka.

Axel masuk, mengenakan kaus hitam dan celana bahan gelap. Wajahnya seperti biasa—tak terbaca. Ia membawa satu map berisi dokumen dan meletakkannya di atas meja, lalu duduk di hadapan Sarena.

“Jadi kita mulai,” ucapnya datar. “Ceritakan semua yang kau tahu tentang rumah masa kecilmu.”

Sarena mengangguk pelan, mencoba mengingat semua detail yang bisa ia karang menjadi kebenaran. “Kami tinggal di sebuah rumah tua di daerah pinggiran kota. Dindingnya berlumut, dan jendela belakang sering rusak. Ayah sering menghabiskan waktu di ruang kerjanya, dan dia... tidak suka diganggu.”

Axel menyipitkan mata. “Apa yang dia kerjakan di sana?”

“Aku tidak tahu pasti. Tapi pernah suatu malam, aku melihatnya duduk di depan komputer sambil menangis. Dia bicara sendiri. Katanya, dia ingin keluar, tapi sudah terlalu dalam. Waktu itu aku kira dia sedang mabuk.”

Axel diam, memandang Sarena seolah sedang menimbang apakah yang ia dengar pantas dipercaya.

“Ada siapa saja yang pernah datang ke rumah?” lanjutnya.

Sarena menatap lantai, lalu menatap Axel kembali dengan ragu—aktingnya semakin lihai. “Seorang pria asing. Bertato ular di lehernya. Aku ingat karena dia menatapku dengan cara yang sangat aneh. Ayah langsung menyuruhku masuk kamar dan mengunci pintu. Setelah itu... aku dengar suara tembakan.”

Axel menegang. “Tembakan?”

Sarena mengangguk. “Tapi ayah bilang itu hanya suara petasan dari luar. Aku bodoh karena percaya.”

Axel membuka map dan menunjukkan sebuah foto. “Apakah ini pria bertato yang kau lihat?”

Sarena menatap foto itu—pria bertubuh besar, dengan wajah dingin dan mata kosong. Gambar hitam putih dari kamera CCTV. Ada tato ular di lehernya. Sama seperti yang dia sebutkan. Entah itu kebetulan atau intuisi, tapi Sarena pura-pura yakin.

“Ya. Itu dia.”

Axel menutup map. “Dia mati tiga tahun lalu. Ditembak di kepala, dan mayatnya dibuang ke sungai.”

Sarena menelan ludah. “Ayahku yang melakukannya?”

Axel tidak menjawab. Ia berdiri, berjalan ke kaca satu arah, dan menatap bayangannya sendiri. Diam lama.

“Kau tahu apa yang paling membuatku marah, Sarena?” tanyanya pelan. “Aku mempercayai ayahmu. Aku menyelamatkan keluarganya dari utang. Memberinya rumah, pekerjaan, bahkan perlindungan. Tapi dia membalasnya dengan pengkhianatan.”

Sarena berdiri. “Mungkin dia punya alasan. Mungkin dia ingin menyelamatkan seseorang.”

Axel menoleh cepat. “Siapa?”

Sarena diam.

Axel mendekat, berdiri begitu dekat hingga wajah mereka hanya terpisah beberapa inci. “Kau tahu siapa yang ingin diselamatkan ayahmu? Dirinya sendiri.”

“Tidak semua orang lahir kuat, Axel,” bisik Sarena. “Beberapa dari kita hanya ingin bertahan hidup.”

Mata Axel menegang. Lalu... ia mundur, mengambil mapnya, dan berjalan ke luar ruangan.

Pintu tertutup kembali.

Beberapa jam kemudian

Sarena kembali ke kamarnya. Liana menemuinya malam itu, melalui pintu belakang dapur.

“Ada seseorang yang ingin menemuimu,” bisik Liana.

“Siapa?”

“Aku tidak bisa bilang di sini. Tapi kau harus ikut aku sekarang. Kita hanya punya lima menit sebelum kamera keamanan dinonaktifkan oleh salah satu orang dalam.”

Sarena ragu. Tapi ia memegang potongan kertas berisi kode akses dari Liana di saku bajunya. Ia tidak punya pilihan lain jika ingin tahu lebih jauh.

Liana membawanya ke sebuah ruang bawah tanah tersembunyi, yang tak pernah Sarena lihat sebelumnya. Di sana, berdiri seorang pria tua dengan tubuh ringkih dan tatapan penuh luka.

“Namaku Salvatore,” katanya. “Aku sahabat ayahmu. Kami pernah bekerja sama—sebelum semua ini berubah menjadi pertempuran kotor.”

Sarena menatapnya curiga. “Kalau begitu, kau juga mafia?”

Salvatore tertawa miris. “Aku pernah menjadi algojo. Kini hanya sisa daging tua dengan terlalu banyak dosa.”

“Apa yang kau tahu tentang file itu?”

Salvatore mengangguk. “File itu disimpan dalam chip kecil. Ayahmu menanamkannya... di dalam boneka kelinci. Boneka yang selalu kau peluk saat kecil.”

Sarena membeku. “Boneka itu... masih ada. Di loteng rumah ibuku.”

“Kau harus mengambilnya. Tapi jangan biarkan Axel tahu. Jika dia tahu, dia akan menghancurkan bukti itu... dan kau.”

Keesokan harinya

Axel memperhatikan Sarena dari jendela ruang kerjanya. Ia tahu gadis itu menyembunyikan sesuatu. Ia juga tahu Liana bukan pelayan biasa. Tapi Axel membiarkannya bermain. Karena dalam permainan ini, siapa pun bisa menjadi musuh—atau alat.

Dante masuk ke ruangan. “Kita mendapat laporan. Ada gerakan tak biasa dari loteng rumah lama Al Ghazali. Kamera keamanan menangkap bayangan seseorang yang mencoba masuk kemarin malam.”

Axel menyipitkan mata. “Kirim tim. Ambil apa pun yang kau temukan. Dan pastikan kau tidak meninggalkan jejak.”

“Kalau ternyata itu Sarena?”

Axel menatap Dante dengan dingin.

“Bawa dia kembali. Hidup-hidup. Tapi jika dia lari... lumpuhkan.”

Sementara itu, di rumah tua Sarena

Sarena berdiri di bawah atap yang bocor, lampu senter kecil di tangannya. Debu memenuhi udara. Loteng itu berantakan, penuh kardus tua dan foto masa kecil yang terburai.

Tapi di sudut ruangan... ia menemukannya.

Boneka kelinci putih dengan telinga sobek dan mata kancing yang nyaris copot. Ia memeluknya seolah sedang memeluk masa lalu. Di bagian perut boneka, terdapat sobekan kecil dengan benang yang dijahit ulang.

Tangannya gemetar saat membuka jahitan itu.

Dan di dalamnya—sebuah chip kecil berlapis logam.

Sarena memandanginya lama. Ini dia. Jawaban dari segalanya. Kunci antara kehancuran dan kebebasan. Ia menyelipkannya ke dalam bra-nya, lalu bersiap untuk pergi.

Namun, sebelum ia sempat turun dari loteng...

Seseorang muncul dari balik bayangan.

“Bagus sekali, Sarena.”

Suara itu dingin. Familiar.

Axel.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel