Pustaka
Bahasa Indonesia

A Throne of Vengeance

10.0K · Ongoing
Firda mauli
12
Bab
6
View
9.0
Rating

Ringkasan

Sarena Al Ghazali hanyalah seorang perancang gaun pengantin di butik kecil milik tantenya. Namun hidupnya jungkir balik saat ayahnya ditemukan tewas secara misterius di sebuah hotel, dan namanya tiba-tiba muncul dalam surat wasiat milik keluarga kriminal paling ditakuti di negeri ini: Keluarga Viscari. Tanpa sempat memahami apa yang terjadi, Sarena diculik dan disekap di markas keluarga mafia, lalu dipertemukan dengan Axel Viscari—pria berdarah dingin yang menguasai dunia bawah tanah dengan tangan besi. Axel yakin Sarena mengetahui keberadaan "mahkota kekuasaan" yang telah hilang sejak 12 tahun lalu. Axel tak ragu menyiksa mental Sarena, mencoba menghancurkan pertahanannya. Tapi ia tak menyangka bahwa di balik kelembutan gadis itu, tersembunyi luka yang mampu membuatnya bertekuk lutut. Sarena pun menyimpan rahasia. Ia bukan hanya anak dari musuh bebuyutan keluarga Viscari—ia adalah pewaris sebenarnya dari kerajaan bawah tanah. Dan jika Axel adalah iblis, maka Sarena adalah bayangan maut yang dikirim untuk menumbangkannya. Cinta, kebencian, dan dendam. Siapa yang akan menguasai tahta darah?

RomansaDewasa

Bab 1 – Surat Wasiat Terakhir

Hujan turun perlahan di atas kota, menciptakan irama monoton yang memukul kaca jendela apartemen kecil itu. Sarena Al Ghazali menggenggam cangkir teh yang sejak tadi sudah dingin. Pandangannya tertuju ke layar ponsel yang baru saja menampilkan pesan singkat dari nomor tak dikenal.

"Datanglah ke Hotel Armano, Kamar 1203. Ini tentang ayahmu."

Ayah.

Kata itu masih terasa asing baginya, seperti kenangan pahit yang menolak larut bersama waktu. Pria itu telah pergi sejak Sarena berusia tujuh tahun. Ia tak pernah benar-benar kembali. Yang Sarena tahu, pria itu hidup entah di mana—jauh, dengan wanita lain, dan mungkin anak-anak baru.

Namun, rasa penasaran kadang lebih kuat dari logika.

Sarena melirik arloji di pergelangan tangannya. Sudah lewat tengah malam. Jalanan pasti sepi. Tapi hatinya tak tenang. Ia bangkit, mengganti celana tidur dengan jeans, dan meraih jaket hitam sebelum meninggalkan apartemen.

Hotel Armano berdiri megah di tengah kota, terlalu mewah untuk disebut tempat tinggal seorang pria seperti ayahnya. Resepsionis yang berjaga menatapnya ragu, namun Sarena hanya menunjukkan layar ponsel dan menyebutkan kamar.

"Sudah ditunggu," gumam sang resepsionis.

Kamar 1203 berada di lantai paling atas. Angka yang membuat jantung Sarena berdebar semakin kencang. Ia tak tahu apa yang menunggunya. Saat pintu lift terbuka dan lorong sunyi menyambut, Sarena hampir membatalkan niatnya. Tapi ia berjalan juga. Pelan, satu langkah demi satu langkah, hingga berdiri di depan pintu dengan angka emas.

Ia mengetuk. Sekali. Dua kali.

Tak ada jawaban.

Tapi pintu... tidak terkunci.

Sarena mendorongnya perlahan, dan langsung disambut aroma tajam alkohol dan rokok yang menusuk. Lampu redup di langit-langit menyala remang. Di dalam ruangan, di atas sofa kulit gelap, tergeletak sosok yang tak asing.

"Papa?"

Langkahnya terhenti.

Tubuh pria itu membeku. Wajahnya pucat. Bibirnya membiru.

Sarena menjerit.

Dua hari kemudian

"Menurut hasil otopsi, ayah Anda meninggal karena overdosis obat penenang dan alkohol. Tapi ada hal lain yang ingin kami diskusikan."Petugas kepolisian itu meletakkan sebuah amplop besar bersegel hitam di atas meja. Sarena menatapnya penuh curiga.

"Apa ini?"

"Surat wasiat."

Sarena membeku. "Dia tidak meninggalkan apa pun untukku."

"Sebaliknya. Dia meninggalkan segalanya untuk Anda."Petugas itu membuka amplop dan mengeluarkan selembar kertas berstempel hukum.

"Namanya Fajri Al Ghazali. Pernah menjadi akuntan pribadi keluarga Viscari."

Sarena mengerutkan dahi. "Keluarga siapa?"

"Viscari. Mafia paling tua dan kuat di negara ini. Keluarga kriminal kelas atas yang selama bertahun-tahun hidup di balik wajah bisnis legal. Ayah Anda—entah bagaimana—memiliki akses ke sistem keuangan mereka. Dan dalam surat ini, dia menyatakan bahwa Anda... adalah satu-satunya orang yang bisa membuka file digital yang menyimpan daftar lengkap aset ilegal mereka."

Sarena menatap petugas itu seakan pria itu baru saja bicara dalam bahasa alien.

"Apa maksud Anda?"

"Kami percaya ini alasan kematiannya. Dan mulai sekarang, Anda dalam bahaya."

Malam berikutnya

Sarena menggulung tirai jendela apartemennya dengan cepat. Ia merasa diawasi. Sudah dua malam berturut-turut ada mobil hitam yang parkir di ujung jalan. Dan hari ini, seseorang mengirimkan bunga mawar hitam ke depan pintunya—tanpa nama pengirim.

Saat ia hendak mengunci jendela, listrik padam.

Semuanya gelap.

Sarena menahan napas.

Detik berikutnya, pintu belakang apartemennya berderit pelan.

"S-siapa di sana?" tanyanya dengan suara gemetar.

Tak ada jawaban.

Ia meraih gunting di meja dan melangkah perlahan, napasnya memburu. Tapi sebelum ia bisa membuka mulut untuk berteriak, seseorang dari belakang membungkam mulutnya dengan tangan besar dan kasar. Guntingnya terjatuh. Ia menendang, menggigit, menjerit—semua sia-sia.

"Hening," bisik suara laki-laki itu di telinganya. Suaranya dingin. Lembut tapi mengancam.

"Kalau kau menjerit lagi, aku tidak akan segan mematahkan rahangmu."

Sarena terbangun dalam ruangan asing.

Dinding gelap. Lampu-lampu neon di langit-langit. Ruangan ini tidak seperti rumah—lebih seperti penjara mewah. Ia terbaring di ranjang besar, tangan kanannya diborgol ke tiang besi di sisi tempat tidur.

"Selamat datang, Sarena Al Ghazali."Suara itu membuatnya menoleh cepat.

Seorang pria berdiri di ambang pintu. Tinggi, tegap, dengan jas hitam yang terlalu pas. Wajahnya tampan dan mengancam, seperti patung marmer yang hidup. Mata birunya menusuk seperti pisau.

"Aku Axel Viscari."

Sarena menggigil. "Apa yang kau inginkan?"

Axel tersenyum tipis, tapi matanya tetap dingin.

"Aku ingin daftar yang disembunyikan ayahmu. Kau tahu di mana itu, bukan?"

"Aku bahkan tidak tahu apa yang kau bicarakan!"

"Jangan bodoh."Ia berjalan pelan ke arahnya. Sepatunya menjejak lantai marmer dengan suara bergetar."Kalau kau tidak tahu, mengapa nama ayahmu ada di sistem internal kami? Mengapa dia tiba-tiba mati dua hari setelah membuka file terakhir itu? Dan kenapa kau—anaknya yang lama hilang—tiba-tiba muncul, warisi surat wasiat itu?"

Sarena menatapnya dengan amarah. "Mungkin karena dia satu-satunya yang masih menganggapku penting."

Axel menatapnya lama, lalu berjongkok di tepi ranjang. Ia menyentuh borgol di tangan Sarena. Jemarinya dingin.

"Ayahmu mencuri sesuatu dariku. Kalau kau tidak bisa mengembalikannya, kau akan membayarnya... dengan caramu sendiri."

"Kalau aku bilang aku tidak tahu?"

Axel mendekat. Napasnya menyentuh pipi Sarena.

"Maka aku akan memecahmu perlahan, sampai kau mulai mengingat."

Sarena membelalakkan mata. "Kau gila..."

"Tidak, Sarena."Ia menyentuh dagunya dan mengangkat wajahnya agar menatap langsung ke mata itu."Aku adalah Raja. Dan kau... baru saja menyentuh tahtaku."