Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 – Tawanan Sang Raja

Cahaya redup dari lampu langit-langit menciptakan bayangan di dinding, seolah memperkuat nuansa menyeramkan dalam ruangan itu. Sarena menggeliat di ranjang besar, merasakan dinginnya besi borgol yang mengekang pergelangan tangannya. Ia mencoba menarik napas dalam, mencoba menenangkan degup jantung yang terus berdetak tak beraturan.

Axel Viscari duduk di sofa kulit berwarna gelap tak jauh dari tempat tidurnya. Ia menatap Sarena seperti menatap objek yang sedang ia amati dengan saksama—bukan sebagai manusia, tetapi sebagai teka-teki yang harus dipecahkan.

“Kau menyebut dirimu raja,” gumam Sarena dengan suara serak. “Tapi menyekap wanita seperti ini... tidak terdengar seperti seseorang yang punya kekuasaan. Hanya pengecut yang takut ditinggalkan.”

Axel tidak marah. Ia hanya tersenyum kecil, lalu menyesap minuman dari gelas kristal di tangannya.

“Lidahmu tajam, Al Ghazali. Tapi sayangnya, itu tidak akan membebaskanmu dari sini.”

Sarena mencoba menarik tangannya, namun bunyi besi yang saling bergesekan hanya membuatnya semakin frustasi. “Apa yang sebenarnya kau cari dariku?”

Axel berdiri. Langkahnya tenang namun penuh dominasi saat ia mendekat ke tempat tidur. Ia menatap wajah Sarena, lalu duduk di tepi ranjang, sangat dekat, hingga aroma parfum kayu dan asap tembakau menyusup ke hidung Sarena.

“Aku mencari satu file. Satu-satunya yang bisa menjatuhkan semua lawanku dalam sekali pukul. Dan ayahmu—idiot yang mengkhianatiku itu—menyimpannya. Di tempat yang hanya bisa dibuka oleh seseorang yang memiliki sidik jari dan akses kode biometrik miliknya.”

Sarena menahan napas.

“Kau yakin aku anak yang kau cari? Bagaimana kalau ayahku punya anak lain?”

Axel memiringkan kepalanya. “Kami telah memeriksa. Dia hanya punya satu anak sah yang tercatat dalam catatan sipil. Sarena Al Ghazali. Seorang penjahit, tinggal di apartemen murahan, dan...”—Axel mengamati wajahnya dengan tajam—“...terlalu polos untuk menyembunyikan sesuatu. Tapi justru itu yang membuatku curiga. Kepolosan kadang adalah topeng terbaik.”

Sarena memalingkan wajahnya, menahan air mata yang nyaris tumpah. Ia tak tahu soal file, soal kode, atau soal kejahatan yang dilakukan ayahnya. Yang ia tahu hanya satu: ia tak pernah diminta, tak pernah dicintai, dan kini malah dijadikan kambing hitam untuk dosa yang bukan miliknya.

“Berapa lama kau akan menyekapku di sini?” tanyanya dengan suara pelan.

Axel berdiri kembali, menatap ke luar jendela kaca besar yang menghadap ke kota yang masih tertutup kabut malam.

“Sampai aku yakin kau tidak berguna. Dan jika itu terbukti... maka aku akan menyingkirkanmu.”

Sarena mencengkeram sprei ranjang. Ketakutan menyelubunginya, tapi ada sesuatu yang tumbuh di balik rasa takut itu: kemarahan. Dendam. Bukan hanya pada Axel, tapi juga pada ayahnya yang mewariskan hidup kacau ini. Jika memang ia tak bisa lari, maka ia akan melawan.

Keesokan harinya

Sarena dibawa ke ruang makan besar oleh seorang pria bertubuh kekar, berjanggut tebal, dan bermata tajam seperti burung elang. Ia memperkenalkan diri singkat sebagai Dante—tangan kanan Axel. Ia tidak banyak bicara, hanya memastikan Sarena tidak mencoba hal bodoh.

Ruang makan itu seperti istana mini. Meja panjang dari kayu ek tua. Lampu gantung kristal yang memancarkan sinar hangat. Dan tentu saja, Axel duduk di ujung meja dengan ekspresi datar, mengenakan kemeja hitam yang kontras dengan kulit pucatnya.

“Duduk,” perintahnya tanpa menoleh.

Sarena duduk di seberang, tetap diam.

“Dante bilang kau tidak makan sejak kemarin. Mau bunuh diri lewat kelaparan?” tanya Axel sambil menuangkan anggur ke dalam gelasnya.

Sarena menatap piring berisi steak, sayuran kukus, dan kentang panggang. “Aku tidak nafsu makan kalau duduk bersama penculikku.”

Axel tertawa pelan. “Penculik yang memberimu makanan mahal dan ruangan berpendingin? Dunia ini jauh lebih kejam daripada aku, Sarena. Kau hanya belum melihat segalanya.”

Sarena menunduk, tapi otaknya bekerja cepat. Ia harus mencari celah. Jika ingin selamat, ia harus membuat Axel lengah—mungkin bahkan percaya. Walau itu berarti ia harus berpura-pura tahu sesuatu yang ia tidak tahu.

Ia mengangkat kepalanya dan menatap Axel dengan tatapan yang berbeda. “Kalau aku bantu kau... kau akan melepaskanku?”

Axel berhenti memotong steak-nya. “Kau mulai bernegosiasi?”

“Kau ingin file itu, kan? Tapi mungkin... ayahku menyimpannya di tempat yang hanya aku tahu. Aku mungkin bisa mengingat, kalau kau memberiku waktu.”

Axel menatapnya lama. Ada kecurigaan di sana. Tapi juga ketertarikan.

“Baiklah,” katanya akhirnya. “Kita akan main sesuai aturanmu. Tapi setiap hari kau akan dibawa ke ruang interogasi. Kita akan mulai dari masa kecilmu. Dari tempat tinggal, kebiasaan ayahmu, dan siapa saja yang pernah datang ke rumah kalian. Sedikit saja aku curiga kau berbohong...”

“...kau akan membunuhku?” potong Sarena.

Axel mengangguk. “Dengan sangat pelan.”

Malam hari

Sarena duduk di atas ranjangnya, mata tak bisa terpejam. Ia memikirkan langkah berikutnya. Ia tidak tahu soal file, tapi jika benar itu penting, mungkin ia bisa memanfaatkannya untuk mendapatkan kebebasannya.

Tiba-tiba, suara ketukan lembut terdengar di pintu.

Sarena melompat kaget. Pintu terbuka perlahan. Bukan Axel.

Seorang wanita muda berdiri di ambang pintu, mengenakan seragam pelayan. Usianya mungkin dua puluhan, dengan rambut hitam panjang dan mata cemas.

“Aku Liana,” bisiknya. “Aku tahu kau bukan bagian dari mereka. Dan aku tahu... kau tidak akan selamat jika bertahan terlalu lama di sini.”

Sarena bangkit cepat, mendekati Liana. “Kau tahu sesuatu?”

Liana menatap ke lorong, memastikan tak ada yang mendengar. “Ada yang lebih besar dari yang kau pikirkan. File itu... bukan hanya soal uang. Itu berisi bukti pengkhianatan—orang-orang di dalam keluarga Viscari yang berkhianat pada ayah Axel. Kalau kau punya file itu, kau bisa menjatuhkan Axel... atau menyelamatkannya.”

“Kenapa kau membantuku?”

“Karena aku punya alasan pribadi. Tapi sekarang belum saatnya kau tahu.” Liana menyelipkan kertas kecil ke tangan Sarena. “Ini kode akses pintu darurat bawah tanah. Simpan baik-baik. Kau akan membutuhkannya.”

Sebelum Sarena sempat bertanya lebih jauh, Liana sudah menghilang ke lorong gelap. Sarena menggenggam kertas itu erat-erat.

Ia tak tahu apakah bisa percaya pada Liana.

Tapi satu hal pasti—ia harus keluar dari tempat ini. Dan untuk itu, ia harus memainkan permainan Axel dengan lebih baik dari yang pria itu duga.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel