Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 3

Keesokan harinya di kelas...

"Anak-anak, ini daftar siswa yang remedial fisika!" seru Bu Rina dengan suara petir.

Shinta langsung keringat dingin.

Dan... benar saja. Namanya terpampang indah di urutan pertama, seolah jadi duta remedial nasional.

"Ah, hidup ini penuh warna..." gumamnya dramatis sambil menatap langit-langit kelas, berharap jatuh meteor biar remedial dibatalkan.

Lala menepuk pundaknya. "Shin, kamu tuh kayak super hero. Selalu muncul... di daftar remedial."

"Tapi bukannya aku pahlawan karate?" balas Shinta lemas.

Tiba-tiba, Kelvante mencondongkan diri dari kursinya, masih tenang seperti biasa.

"Kau mau aku ajarkan fisika?"

Shinta langsung menatap dengan mata berbinar. "SERIOUSLY? Kamu bisa fisika juga?"

"Aku bisa semua pelajaran sains. Dunia sihir sangat menghargai logika... meskipun jarang digunakan."

"Ok. Guru ganteng. Dimulai sore ini! Tapi nanti kita harus latihan cari pusaka lagi, ya?"

Kelvante mengangguk. "Sebenarnya... gulungan sihir mengindikasikan pusaka ketiga berada di sekolah ini."

"APA? DI SINI?"

"Ya. Tapi tempatnya samar. Disebutkan, 'di lorong gelap tempat kebenaran disembunyikan di balik angka'."

Shinta berpikir. "Hmm... lorong gelap? Disembunyikan? Angka? APA ITU... RUANG RAPAT GURU?!"

"Lebih gelap dari itu," bisik Lala, "Ruang... LAB KOMPUTER MATEMATIKA."

Shinta menjerit dalam hati. "NOOOOOOOOO!"

Sore hari, saat murid lain pulang...

Shinta dan Kelvante menyelinap ke lorong sekolah bagian belakang. Lampunya redup. Dindingnya penuh coretan jadul. Suasananya seperti lokasi film horor murah.

"Serem banget... ini kayak zona jumpscare."

"Tenang. Aku sudah siapkan sihir pelindung," kata Kelvante sambil menggambar pola di udara. Cahaya biru mengelilingi mereka.

Shinta merinding. "Keren banget... kamu kayak mix Harry Potter dan idol Korea."

"Idol apa?"

"Lupakan."

Mereka berjalan pelan-pelan, sampai tiba di depan ruang komputer. Pintu terkunci.

Shinta melangkah maju. "Aku bisa buka ini. Ilmu ninja rahasia dari klub karate!"

Dia merogoh tasnya... dan mengeluarkan jepitan rambut.

"Shinta... kamu mau buka pintu itu pakai jepit rambut?"

"Tenang. Aku nonton tutorialnya di YouTube."

Kelvante mengangkat alis. "Dunia ini makin aneh."

Setelah usaha 3 menit penuh perjuangan dan suara klik, pintu terbuka.

Mereka masuk. Ruangan gelap. Monitor berdebu. Satu komputer di ujung menyala sendiri, meski colokan listriknya… kosong.

"Serem banget. Kok kayak ada hantu IT di sini?"

Kelvante mendekat. Di layar muncul angka: 931213.

Shinta bergumam, "Apa itu kode? Tanggal lahir seseorang?"

Kelvante menyentuh layar. Tiba-tiba, cahaya biru menyambar. Sebuah panel tersembunyi terbuka dari lantai.

"Pusaka!" seru Kelvante.

Di dalamnya, benda seperti kartu kristal mengambang perlahan. Tiba-tiba...

BOOOMMM!

Dinding ruangan pecah, dan masuklah makhluk bayangan besar berwajah kosong. Pemburu Bayangan.

"Target ditemukan. Musnahkan."

Kelvante refleks memanggil sihir. Tapi si bayangan lebih cepat.

ZROOOM! Serangan energi hitam melesat ke arahnya.

Shinta mendorong Kelvante, membuat sihir itu mengenai meja di belakang mereka.

"Aku duluan!"

Dia melompat, mendarat di atas meja, lalu meluncur ke arah bayangan dengan teknik lompatan dua tingkat.

"RAWRR!! TENDANGAN CINTA KERASUKAN!!"

DUAARR!

Sayangnya... bayangan itu menyerap energi fisik.

"Seranganku mental?!"

Kelvante berdiri. "Dia makhluk sihir. Tak bisa dikalahkan dengan kekuatan biasa... kecuali"

"Tunggu." Shinta berdiri, mengatur napas. "Kalau seranganku nggak bisa langsung, maka kita harus kerja sama."

Kelvante mengangguk cepat. "Aku akan menciptakan ilusi untuk mengalihkan perhatian. Saat dia terbuka... kau harus hancurkan titik gelap di punggungnya."

"Aku ngerti! Let's go!"

Kelvante membuat bayangan dirinya sendiri muncul dari kanan. Monster itu teralihkan.

Shinta berlari diam-diam dari kiri, seperti ninja, memutar tubuh di udara, lalu

Tendangan spiral tepat ke punggung!

BRAAAK!

Makhluk itu menjerit dan meledak menjadi debu hitam.

Pusaka ketiga melayang ke arah Kelvante, lalu menyatu ke dalam kalungnya.

"Mission complete," ujar Kelvante sambil menghela napas.

Shinta terjatuh duduk, lelah tapi puas.

"WHOAAA... itu gila... GILA banget... kayak final boss game padahal ini baru babak 3!"

Kelvante mendekat, mengulurkan tangan.

Shinta menatapnya. Kali ini, bukan dengan konyol, tapi... dengan rasa penasaran.

"Kamu tadi sempat... khawatir?"

Kelvante menoleh. "...Aku tak ingin partnerku terluka."

Mereka saling diam beberapa detik. Suasana jadi aneh.

"EHEM!" Shinta berdiri cepat. "Oke, waktunya pulang! Aku lapar parah!"

Kelvante tersenyum tipis. "Aku bisa buatkan... sup dari dunia sihir. Makanan bergizi dengan efek pemulihan."

"Whaaa... serius? Bisa nambahin rasa ayam goreng gak?"

"...Tidak."

"Yah, ya udahlah!"

Di kejauhan, di atas atap sekolah...

Sosok misterius dengan jubah hijau tua memperhatikan mereka. Di tangannya, ada potret Shinta dan Kelvante.

"Dua anak manusia... berhasil mengalahkan bayangan..."

Ia mengepalkan tangan.

"Sepertinya... aku harus turun tangan sendiri."

Malamnya, setelah pertarungan penuh adrenalin di ruang komputer, Shinta terbaring di tempat tidur, menatap langit-langit kamarnya. Langit malam tampak biasa saja di luar jendela. Tapi di dadanya, ada sesuatu yang tidak biasa.

Detak jantungnya masih cepat.

Bukan karena lari. Bukan karena tendangan super. Tapi karena... dia sempat melihat wajah Kelvante dari dekat. Sangat dekat.

"Kenapa... dia bisa terlihat cakep banget dari jarak 3 cm?!"

Shinta mengubur mukanya di bantal, lalu menjerit pelan.

"AAARRGH KENAPA AKU BLUSHING?! GILA!!! AKU INI PETARUNG BUKAN KARAKTER DRAMA CINTA!!"

Tiba-tiba, ponselnya berbunyi.

[Pesan masuk dari Kelvante]

[Terima kasih atas bantuanmu hari ini. Tanpa kamu, aku mungkin sudah jadi debu sihir.]

[Besok kita harus bicara. Aku mencurigai sesuatu. Jangan bilang siapa-siapa.]

Shinta menatap layar, lalu membalas dengan satu kalimat:

[Kamu baik-baik aja? Kamu tadi kayaknya lelah banget...]

Balasan datang cepat.

[Aku baik. Tapi kamu...? Luka di tanganmu tadi...]

Shinta langsung menoleh ke lengannya yang dibalut perban kecil.

Ah. Rupanya Kelvante memperhatikan.

Wajahnya memanas lagi. Kali ini bukan karena sihir. Tapi karena perhatian.

Keesokan paginya.

Di sekolah, suasana berjalan normal, hampir terlalu normal.

Tapi Shinta dan Kelvante tahu, sesuatu sedang mengintai. Dan mereka harus mencari pusaka berikutnya secepat mungkin sebelum musuh lebih dulu mendapatkannya.

“Shin, lihat ini,” bisik Kelvante saat mereka duduk di pojok perpustakaan.

Dia membuka gulungan sihir ketiga yang kini bersinar samar setelah pusaka sebelumnya berhasil ditemukan.

“Sekarang muncul petunjuk baru,” katanya.

Di lembaran itu muncul kalimat:

[Pusaka keempat tersembunyi di tempat di mana waktu seolah berhenti, di tengah keramaian yang diam, dan suara tak terdengar.]

Shinta memiringkan kepala. "Keramaian yang diam? Waktu berhenti? Ini semacam... ruangan meditasi?"

Kelvante menggeleng. "Atau... mungkin lebih logis."

Shinta berpikir keras, lalu tiba-tiba menepuk meja.

"PERPUSTAKAAN!"

Semua orang menoleh karena teriakannya. Bu Nani, sang penjaga perpustakaan, langsung muncul di balik rak seperti ninja.

"Siapa yang teriak?"

"Eh, saya Bu, maaf, saya cuma... nemu jawaban hidup..."

Mereka tertawa pelan setelah Bu Nani pergi.

"Kalau petunjuknya tentang tempat tenang yang ramai tapi sunyi... ya perpustakaan!" bisik Shinta bangga.

Kelvante tersenyum. "Analisismu... bagus."

"Yaiyalah, aku punya satu otak dengan dua mode, bodoh dan jenius mendadak!"

Sore harinya, setelah semua murid pulang, mereka menyelinap kembali ke perpustakaan. Rak-rak tinggi, lampu kuning redup, dan suara jarum jam yang seolah bergema lebih keras dari biasanya.

"Tempat ini... punya aura," ujar Kelvante pelan.

Dia mengangkat kalung pusaka yang kini bersinar biru, seolah merespons lokasi.

Shinta berjalan perlahan menyusuri rak. Jantungnya mulai deg-degan. Entah kenapa, sensasi seperti malam sebelumnya mulai muncul lagi.

Bukan karena takut. Tapi karena... dia menyadari, dia dan Kelvante mulai terbiasa berjalan bersama. Bertarung bersama. Bernafas dalam dunia yang aneh tapi terasa pas.

"Kel," katanya tiba-tiba.

Kelvante menoleh.

"Kalau misalnya... aku bukan gadis karate. Bukan yang bisa nendang monster. Bukan yang bisa bantu kamu cari pusaka. Kamu masih mau ngajak aku ikut?"

Kelvante tidak langsung menjawab. Dia menatap mata Shinta, lebih lama dari biasanya.

"Kamu salah satu alasan kenapa pusaka ini bisa ditemukan."

Shinta tertawa kecil. "Karena aku jadi umpan monster ya?"

"Bukan. Karena kamu... mempercayai dunia yang bahkan belum kamu kenal."

Lagi-lagi, jantung Shinta berdetak lebih cepat dari kecepatan normal.

Namun, momen itu segera terganggu saat sebuah suara misterius terdengar dari belakang rak paling ujung.

…Klik...klik...klik...

"Suara jam?" bisik Shinta.

Mereka mendekat. Di sana, jam dinding tua berhenti pada pukul 09:42, jarumnya macet. Di bawahnya ada sebuah rak dengan buku-buku tua berbahasa asing.

Kelvante menempelkan telapak tangan ke jam itu. Tiba-tiba seluruh rak bergetar... dan muncul lubang rahasia di lantai.

"Yaaah... lubang lagi? Bisa gak sih suatu hari kita nemu pusaka di lemari snack?" keluh Shinta.

Mereka menuruni tangga sempit yang hanya cukup untuk satu orang lewat. Cahaya mulai berpendar dari kalung Kelvante.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel