
Ringkasan
Awal kisah seorang gadis bernama Shinta bertabrakan dengan seorang lelaki di sekolah yang bernama Kelvante. Kelvante adalah seorang penyihir dari dunia lain yang mencari benda pusaka, gadis itu tertarik dengan apa yang dicari kelvante yang kemudian mereka mulai bertujuan untuk mengumpulkan benda pusaka tersebut. Shinta dan kelvante pun memiliki kisah romance komedi yang menarik untuk di simak.
BAB 1
Matahari pagi di kota Beringin Metropolis bersinar terlalu ceria untuk hari Senin. Di antara klakson mobil, kerumunan siswa berseragam putih abu-abu berjalan cepat menuju SMA Harukaze, sekolah elit yang terkenal karena akademik dan klub karate nya yang super kompetitif.
"SHINTAAA!! JANGAN LARI DI KORIDOR!!" teriak seorang guru piket sambil mengibas-ngibaskan buku absen.
Tapi tentu saja, Shinta tidak mendengar. Atau, lebih tepatnya, memilih untuk tidak mendengar.
Dengan rambut hitam sebahu yang berkibar seperti iklan sampo dan senyum lebar tak berdosa, Shinta melompat dua anak tangga sekaligus menuju ruang klub karate. Sepatu ketsnya mengeluarkan bunyi dramatis setiap kali mendarat.
"Aku harus latihan! Turnamen nasional tinggal dua minggu lagi!" teriaknya pada dirinya sendiri atau mungkin pada alam semesta.
Shinta adalah tipe gadis yang bisa memecahkan batako dengan kaki, tapi tak tahu perbedaan antara segitiga sama sisi dan sama kaki. Nilai matematikanya bagaikan hasil ramalan tarot tidak pernah pasti, sering bikin deg-degan.
Begitu melewati tikungan menuju lapangan belakang, BRAKK!
Dia menabrak sesuatu. Atau lebih tepatnya, seseorang.
"ARGH!"
"UWAAA!!"
Buku-buku beterbangan seperti confetti, dan tubuh seseorang terguling tiga kali sebelum akhirnya jatuh duduk dengan ekspresi seperti kucing habis disiram air.
"AUCH! Apa kamu batu bata hidup?!"
Shinta mengerjap-ngerjap. Di hadapannya, berdiri (dengan agak gemetar) seorang cowok dengan wajah... yah, tidak bisa dipungkiri seperti pangeran anime yang nyasar ke dunia nyata.
Kulit putih, rambut agak gondrong kecoklatan, mata tajam penuh gengsi. Seragamnya masih bersih, tapi sekarang sedikit kusut akibat tabrakan dadakan. Di tangannya, ada sebuah buku bertuliskan "Fisika Tingkat Tinggi & Teori Dimensi Paralel." Shinta langsung merasa alergi.
"Maaf banget!" kata Shinta buru-buru membantu cowok itu berdiri. "Aku enggak lihat tadi aku keasyikan lari dan... eh, kamu anak baru ya? Wajahmu kayak... belum masuk database wajahku."
Cowok itu menepuk celananya, lalu berdiri dengan angkuh. "Namaku Kelvante. Aku murid pindahan dari... luar kota."
(Luar kota. Tentu saja. Kota bernama Aethrion yang tidak bisa ditemukan di Google Maps.)
"Aku Shinta. Gadis yang sangat menyesal telah meluncurkan tubuhmu seperti boling."
Kelvante melirik tajam. "Kamu berbahaya. Manusia biasanya tidak menghasilkan energi kinetik sebesar itu hanya dengan tubuh mungil."
Shinta melongo. "Itu pujian?"
"Itu analisis."
Mereka berdua saling menatap. Saling bingung. Dan agak dongkol.
Di dalam kelas Shinta terkaget guru memperkenalkan murid baru yang tidak asing baginya. "AAAHHH, Kamu kan!"
Hari berikutnya, suasana kelas 2-3 berubah. Semua siswa ribut membicarakan murid baru yang katanya "jenius", "dingin", "keren", dan "bisa ngerjain soal fisika sambil makan sandwich."
Sementara itu, Shinta sedang berkutat dengan soal matematika dan mencoba membedakan "X" dan "Y" seperti mencoba membedakan cowok kembar.
"Shin, denger-denger si Kelvante itu kayak ahli IT tapi dalam bentuk manusia," bisik sahabatnya, Lala.
"Ya, tapi dia enggak ngerti nilai penting olahraga," jawab Shinta, "Aku ngajakin lari keliling lapangan, dia langsung bilang 'aku alergi keringat'. Bayangin!"
"Alergi keringat?? Itu alasan teraneh abad ini!"
Shinta mengangguk dramatis. "Aku curiga dia robot. Atau alien. Atau... penyihir."
Lala tertawa. "Haha! Iya, iya... kayak tokoh anime!"
Yang tidak mereka tahu, Shinta sebenarnya… tidak sepenuhnya salah.
Di atap sekolah, Kelvante berdiri sambil membuka sebuah gulungan kuno kecil yang tidak bisa dilihat siapa pun kecuali dirinya. Di gulungan itu tertera simbol pusaka pertama: "Cakar Naga Perak".
Ia menghela napas panjang. "Sembilan pusaka tersebar di dunia ini... dan aku harus mengumpulkannya sebelum para pemburu sihir menemukan mereka lebih dulu."
Tangannya bergetar lemah. Tubuhnya yang kurus memang tampak lemah, tapi aura sihir di sekitarnya kuat. Ia tahu, keberadaannya di dunia ini akan segera terdeteksi. Dan itu berbahaya.
Hari itu juga, nasib mempermainkan mereka lagi.
Kelvante sedang berdiri membaca buku di bawah pohon, ketika... BRUK!
Sebuah bola voli melesat dan mendarat tepat di wajahnya.
"ADUHH!!"
Shinta berlari panik. "MAAF BANGET! Itu bola nyasar dari latihan klub! Kamu gak apa-apa?!"
Kelvante membuka mata dengan susah payah. "...Aku membenci olahraga."
Shinta menahan tawa sambil membantu memijat dahi cowok itu. "Yah, kamu harus terbiasa. Dunia ini keras, tahu."
Kelvante menatap wajah Shinta dari dekat. Matanya... seperti bersinar, entah karena sinar matahari atau sesuatu yang tak bisa dijelaskan.
Sementara Shinta berpikir, Kenapa aku deg-degan, ya? Dia cuma cowok kurus yang baru kukenalin dua hari lalu...
Mereka saling berpandangan beberapa detik. Lalu...
"Shinta! Cepetan balik ke lapangan!" seru kapten klub karate dari kejauhan.
"SIAP!" Shinta berdiri dan lari lagi seperti angin.
Kelvante hanya menggeleng pelan. "Manusia aneh…"
Tapi untuk pertama kalinya, bibirnya terangkat membentuk senyuman kecil.
Hari berikutnya, seperti biasa, Shinta datang ke sekolah dengan semangat 150 persen meski nilai ulangan matematika kemarin membuatnya nyaris pingsan.
"Shinta… kamu remedial lagi?" tanya Lala, menatap lembar ulangan bertuliskan angka merah menyala 27.
"Ini bukan nilai, ini kode darurat!" keluh Shinta sambil meletakkan wajahnya ke meja.
"Kamu harus mulai belajar beneran, Shin."
"Aku belajar kok! Tapi rumus matematika kayak mantra hitam makin dibaca, makin sakit kepala."
Tiba-tiba, suara langkah pelan terdengar. Seperti disutradarai alam semesta, muncul si murid baru tampan, Kelvante, berdiri di samping bangku mereka.
"Kalau kamu tahu mantra yang benar, matematika itu mudah," katanya tanpa ekspresi.
"Eh?"
Kelvante menaruh selembar kertas. Di situ, dia menulis penjelasan ulang soal Shinta, lengkap dengan gambar panah, warna-warni stabilo, dan emot?
"Ini metode belajarku. Visual dan terstruktur. Bahkan manusia seperti kamu bisa paham."
Shinta melongo. "Ini... ini kayak… matematika versi kartun! Lucu banget!"
"Hem... hem... sepertinya otakmu butuh bantuan visual karena kapasitas logikamu rendah."
Shinta menatapnya dengan ekspresi setengah kagum, setengah kesal. "Kamu jenius atau penjahat komedi, sih?"
"Dua-duanya bisa."
Lala menahan tawa. "Awas, Shin, kamu bisa jatuh cinta pelan-pelan tuh."
Shinta menoleh cepat. "HAH?! SIAPA JATUH CINTA?! DIA CUMA… CUMA PAKET GURU BIMBEL EKSPRES!"
Kelvante mengangkat alis. "Apa itu bimbel?"
Waktu istirahat siang, Shinta dan Kelvante duduk di kantin. Entah kenapa, mereka mulai sering bersama. Mungkin karena Shinta butuh bimbingan pelajaran. Atau mungkin karena alasan yang tak bisa dijelaskan dengan logika (dan itu mengganggu Kelvante lebih dari apapun).
"Coba makanan dunia ini," kata Shinta menyodorkan nasi goreng pedas level 10.
Kelvante mencium aroma pedasnya. "Warna ini terlihat berbahaya."
"Tenang, cuma cabai. Makanan favoritku."
Kelvante mengambil satu suapan kecil. KRIUK
Beberapa detik kemudian…
"AAAAAAA!!!"
Wajah Kelvante berubah merah. Air mata meleleh. Dia gemetar seperti habis dikutuk naga.
"APA INI RAMUAN KEMATIAN?!"
Shinta menepuk-nepuk punggungnya sambil ngakak. "HAHAHAHA! Itu belum sepedas cinta pertama lho!"
"Kalau cinta seperti ini... aku akan hidup selibat!"
Sore hari, Kelvante duduk di perpustakaan sekolah, membuka gulungan sihirnya diam-diam. Sebuah cahaya biru keluar dari permukaan kertas dan membentuk hologram peta kecil.
"Pusaka pertama… seharusnya ada di sekitar tempat ini."
Dia menyipitkan mata. Di pojok peta, tampak sebuah simbol yang familier emblem klub karate SMA Harukaze.
"Tak mungkin… salah satu pusaka tersembunyi di klub olahraga penuh teriakan itu?"
