BAB 4
Di bawah, sebuah ruangan rahasia terbuka, ratusan buku sihir berjajar di rak kaca. Di tengahnya, duduk satu benda bercahaya ungu bentuk seperti gelang kristal.
"Pusaka keempat..." bisik Kelvante. Tapi sebelum sempat dia menyentuhnya
ZRAKKK!!
Bayangan berwarna hijau menyerbu dari dinding. Sosok bertudung dengan mata menyala merah muncul.
"Terima kasih sudah menunjukkan lokasinya untukku," ucap suara berat itu.
Shinta bersiap dalam posisi bertarung. "Siapa kamu?!"
"Aku... pemburu pusaka. Dan kalian... akan segera jadi cerita usang."
Bayangan bertudung itu melangkah ke depan. Kakinya tidak menyentuh lantai, seperti melayang. Setiap gerakannya membuat udara di ruangan bawah tanah itu berdesis, seolah ruangan itu sendiri menahan napas.
"Serahkan pusaka keempat, atau kalian akan terperangkap dalam dimensi beku selama seribu tahun," desisnya sambil mengangkat tongkat hitam dengan simbol bulan sabit terbalik di ujungnya.
Kelvante berdiri di depan Shinta, menyebar pelindung sihir transparan.
"Tetap di belakangku," katanya.
"Excuse me, aku petarung, bukan bunga potong yang ditaruh di belakang sofa," jawab Shinta dengan nada tidak terima.
Bayangan itu melemparkan bola energi hijau besar dan mengerikan menuju mereka. Kelvante mengangkat tangannya dan menyerapnya dengan perisai sihir biru. Tapi gesekan antara dua energi itu meledak!
BOOOMMMM!!
Debu beterbangan. Rak buku terjatuh. Cahaya berkedip-kedip.
Saat itulah, Shinta mengambil inisiatif.
Dia melompat dari belakang Kelvante, berputar di udara, dan...
BRAAK!!
Tendangan melayang ke arah makhluk bertudung, tepat ke wajahnya.
"HAAAIIIYAAHH!!"
Makhluk itu terpental ke tumpukan buku sihir seperti boneka dilempar ibu-ibu habis marah.
Kelvante menoleh dengan kaget. "Aku bilang di belakangku!"
"Dan aku bilang aku bukan pot tanaman!"
Makhluk itu bangkit perlahan. Tudungnya terbuka menampakkan wajah setengah manusia, setengah bayangan. Mata merah menyala dan taring hitam terlihat di bibirnya.
"Waktumu habis, manusia bodoh."
Shinta menyeringai, "Maaf, aku hanya bodoh di soal Matematika, bukan dalam menghajar monster."
Makhluk itu menciptakan salib sihir hijau di udara, dan tiba-tiba ruangan mulai bergetar. Dari dinding keluar tangan-tangan kabut yang menyergap, mencoba menarik mereka ke dalam bayangan.
Kelvante membisikkan mantra cepat. Sebuah lingkaran sihir muncul di lantai, menyebar seperti tetesan tinta ke air.
"Tahan mereka! Aku butuh waktu 20 detik untuk membuka gerbang balik!" serunya.
Shinta menendang, memukul, menghindar. Tapi jumlah tangan kabut itu terus bertambah.
Kelvante mencoba tetap fokus, tapi dari ujung matanya dia melihat sesuatu: satu tangan kabut hampir menyentuh Shinta dari belakang.
Tanpa pikir panjang, dia menerjang.
"SHINTA!!"
WHUUUSSHH!!
Dia mendorong Shinta, dan tangannya sendiri tersentuh kabut. Seketika sebagian energinya tersedot. Tubuhnya bergetar, lututnya jatuh ke lantai.
"Kelvante?!"
Shinta segera mengangkatnya.
Kelvante terengah, wajahnya pucat. "Gerbang hampir selesai... tinggal... satu baris mantra lagi..."
"Biar aku yang urus sisanya!" teriak Shinta.
"Tapi kamu..."
"Kelvante... percaya aku. Kamu pernah bilang aku bisa karena aku percaya. Sekarang, kamu harus percaya juga."
Kelvante terdiam sebentar. Pandangan mereka bertemu. Tatapan yang bukan hanya saling lihat tapi saling memahami.
Akhirnya, Kelvante mengangguk lemah. Dia memberikan pusaka dan setengah lembaran mantra.
Shinta berdiri, lalu menghadap si makhluk bertudung yang kini bersiap melepaskan serangan terakhir.
"DENGARKAN AKU, BAYANGAN JELEK!"
Makhluk itu terdiam, heran.
Shinta mengangkat pusaka ungu dan membentangkan gulungan mantra.
"Aku mungkin nggak ngerti bahasa sihir ini, tapi aku ngerti satu hal: ketika orang yang kamu pedulikan terluka, kamu gak akan diam aja!"
Dia memejamkan mata, dan entah dari mana, kekuatan dari tiga pusaka yang telah mereka kumpulkan bersinar bersamaan. Cahaya merah, biru, dan ungu berputar mengelilingi tubuh Shinta.
Aura karate bertabrakan dengan sihir, menciptakan kekuatan yang bahkan tidak dimengerti oleh makhluk itu.
"Sekarang RASAKAN - TINDAKAN - KARATE - ULTRA - MEGA - SPECIAL!!"
ZZAARRRAK!!!
Kelvante komentar "Apa ga kepanjangan jurusmu!"
Satu tendangan penuh sihir menghantam makhluk itu. Tubuhnya bergetar, terhisap ke dalam bayangan sendiri sambil berteriak, "AKU AKAN KEMBALI CIIINTAAA... eh salah!!"
Dan... hening.
Mereka berdua terduduk kelelahan. Pusaka keempat kini melayang pelan ke tangan Kelvante.
"Dia nyebut kamu cinta?" Shinta tertawa kecil.
"Itu efek sihir kabut. Kadang mencampur emosi dengan mantra. Kacau," jawab Kelvante setengah bingung.
Shinta menatapnya lama. "Kamu baik-baik aja?"
"Energi sihirku terkuras... tapi aku bisa pulih."
Shinta memaksakan senyum. "Bagus. Aku... senang kamu nggak kenapa-kenapa."
Kelvante menatapnya. Mata mereka kembali bertemu dalam diam yang aneh. Waktu terasa melambat. Hanya bunyi jam rusak yang terdengar... dan detak jantung masing-masing.
Tanpa sadar, mereka saling tersenyum. Ringan. Tulus. Aneh.
"Ayo pulang," kata Shinta pelan. "Kamu butuh tidur. Dan aku butuh mie goreng level 5."
Sore itu, mereka berjalan keluar perpustakaan dengan langit jingga menggantung di atas mereka.
Kelvante menatap Shinta dari samping. Entah kenapa... langkah gadis itu, yang tadinya terasa berisik dan kacau, kini terasa seperti irama yang menenangkan.
Dan Shinta, yang biasanya cuek, hari itu beberapa kali diam-diam melirik cowok sihir itu.
Satu hal mereka belum sadari. Pusaka bukan satu-satunya hal yang sedang mereka temukan.
Keesokan paginya, Shinta duduk di atap sekolah dengan minuman kotak rasa cokelat di tangan. Sinar matahari belum terlalu panas, tapi cukup membuat rambutnya yang acak-acakan terlihat berkilau seperti protagonis shoujo manga.
Di tangannya, pusaka keempat gelang ungu gelap dengan ukiran bintang di tengahnya berkilau pelan, seolah masih menyimpan bekas pertarungan semalam.
"Empat pusaka... tinggal lima lagi," gumam Shinta.
Tapi pikirannya tidak hanya tentang pusaka. Ia teringat saat Kelvante mendorongnya dari bahaya, saat ia jatuh lemas karena menyerap kabut hitam itu... dan cara ia memandang Shinta sebelum mereka pulang.
"Kenapa sih... kalau dia liat aku, jantungku kayak kena serangan karate juga," gumamnya, lalu buru-buru menampar pipinya sendiri. "GAK! Itu cuma efek pertempuran. Pasti."
Suara langkah mendekat membuatnya terlonjak. Kelvante muncul di sisi atap, berdiri tenang seperti biasanya.
"Kamu selalu kabur ke sini saat gak mau masuk kelas ya?" tanyanya dengan nada netral, tapi matanya menyimpan rasa ingin tahu.
"Bukan kabur. Ini... meditasi," jawab Shinta cepat, lalu minum habis kotaknya seolah itu jawaban logis.
Mereka duduk bersebelahan. Hening sesaat.
Shinta melirik. "Jadi, kamu... udah pulih?"
Kelvante mengangguk. "Energi sihirku kembali stabil. Tapi... ada sesuatu yang harus kamu tahu."
Kelvante hanya tersenyum tipis, lalu berkata pelan, “Aku dapat pesan dari dun...”
CRAACKK!!
Langit tiba-tiba membelah. Awan menggulung seperti kapas disedot vacuum cleaner. Sebuah celah raksasa terbuka, menampakkan mata besar bersinar ungu. Simbol sihir kuno melayang di sekelilingnya.
Suara berat bergema:
"Pangeran Kelvante dari Istana Sihir Utama. Keterlibatan emosional mu dengan manusia melewati batas. Peringatan terakhir. Kembali, atau jalur sihir akan ditutup permanen."
Shinta langsung berdiri. "HAH?! PANGERAN?! SIAPA?! SIAPA YANG PANGERAN?!"
Kelvante membeku. Shinta menatapnya tajam.
"Kamu... maksudnya kamu?"
Kelvante menghela napas pelan. "Ya. Aku... pangeran di dunia sihir. Tapi itu tak penting sekarang."
Shinta melotot. "Ternyata kamu orang penting, kenapa tidak bilang sih, Kamu kira ini reality show?!"
Kelvante menunduk. "Aku ingin kamu mengenalku sebagai diriku. Bukan karena statusku."
Shinta terdiam.
Langit menggelap. Mata sihir menatap makin tajam. Suara itu kembali:
"Waktu habis. Kembali sekarang. Ini bukan permintaan."
Angin mendadak bertiup kencang. Tanah bergetar. Portal ungu terbuka di depan Kelvante.
"Aku harus pergi untuk sementara," ujar Kelvante, menatap Shinta.
"Enggak!" Shinta maju. "Kita baru dapat pusaka keempat! Kita tim, ingat? Tim Karate-Sihir Kombinasi Spesial!"
Kelvante hanya menatapnya. Matanya menyimpan ragu. Tapi tekanan dari langit terlalu besar.
Shinta mencoba bicara lagi, tapi suaranya bergetar. "Kamu gak bisa pergi gitu aja... aku..."
Dia menggigit bibirnya. Tidak berani mengucapkan perasaan yang bahkan ia sendiri belum pahami.
Kelvante melangkah pelan ke portal. Sebelum masuk, ia berbalik.
"Aku janji akan kembali."
Dan dalam sekejap, ia menghilang bersama kilatan cahaya.
Hari-hari berikutnya terasa aneh.
Di kelas, bangku di sebelah Shinta kosong. Tidak ada lagi celetukan sinis dari cowok berseragam rapi itu. Tidak ada debat lucu saat istirahat. Tidak ada diskusi pusaka atau tatapan diam penuh makna.
Shinta duduk di bangku taman sekolah, menatap gelang pusaka keempat yang kini terlihat lebih kusam.
"Kelvante... kamu janji bakal kembali. Tapi kenapa perasaanku kayak... kosong ya?" katanya lirih.
