Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

penjelasan sang sesepuh

Bab 11: Penjelasan Sang Sesepuh

Tokoh spiritual yang mereka temui, yang akrab dipanggil Mbah Wiryo, menjelaskan lebih lanjut tentang pesugihan slendang ungu. "Slendang itu terhubung dengan entitas kuno yang sangat kuat. Kekayaan yang diberikan memiliki batas waktu, dan setiap kekayaan yang didapatkan harus dibayar dengan nyawa. Biasanya, awalnya tumbal yang diminta adalah hewan, namun seiring waktu, permintaannya akan meningkat menjadi manusia, dimulai dari orang-orang terdekat pelaku."

Rina merasakan dingin menjalar di sekujur tubuhnya. Ia teringat mimpi buruknya dan tangisan ibunya. "Lalu, apa yang bisa kami lakukan untuk menghentikannya, Mbah?" tanya Rina dengan nada cemas.

Mbah Wiryo menghela napas. "Cara untuk melepaskan diri dari perjanjian ini sangat sulit. Slendang itu harus dihancurkan melalui ritual khusus, dan orang yang terikat perjanjian harus benar-benar bertobat. Namun, entitas yang terlibat tidak akan melepaskan mangsanya dengan mudah. Akan ada banyak rintangan dan teror yang akan kalian hadapi."

Mbah Wiryo memberikan beberapa petunjuk tentang ritual yang harus dilakukan untuk menghancurkan slendang ungu. Ia juga memberikan Rina sebuah jimat kecil yang terbuat dari akar pohon tertentu, yang katanya bisa melindungi dirinya dari gangguan makhluk halus.

Bab 12: Pengorbanan Pertama

Beberapa hari setelah pertemuan dengan Mbah Wiryo, kabar duka datang dari Ngawi. Bibi Aminah, adik kandung Ibu Lestari yang tinggal tidak jauh dari rumah mereka, meninggal dunia secara tiba-tiba. Keluarga mengatakan bahwa Bibi Aminah jatuh sakit dan meninggal dalam tidurnya.

Namun, Rina merasakan ada yang aneh dengan kabar itu. Ia teringat perkataan Mbah Wiryo tentang tumbal pertama dalam pesugihan. Firasat buruknya semakin kuat. Ia dan Bayu segera kembali ke Ngawi.

Sesampainya di rumah, suasana duka masih terasa kental. Ibu Lestari tampak sangat terpukul dengan kepergian adiknya. Namun, Rina memperhatikan ada tatapan kosong dan raut bersalah di mata ibunya.

Rina dan Bayu mencoba mencari tahu lebih lanjut tentang kematian Bibi Aminah dari warga sekitar, namun tidak ada yang mengetahui penyebab pastinya. Beberapa tetangga hanya mengatakan bahwa Bibi Aminah terlihat sehat-sehat saja beberapa hari sebelumnya.

Bab 13: Teror di Malam Jumat

Malam Jumat Kliwon berikutnya tiba. Rina dan Bayu berjaga-jaga di sekitar rumah mereka. Mereka melihat Ibu Lestari keluar dari rumah dengan mengenakan slendang ungu. Langkahnya terlihat seperti dikendalikan oleh kekuatan lain.

Ibu Lestari berjalan menuju hutan di belakang rumah mereka, ke arah pohon beringin yang telah mereka temukan sebelumnya. Rina dan Bayu mengikuti dari kejauhan, bersembunyi di balik pepohonan.

Setibanya di bawah pohon beringin, Ibu Lestari mulai menari dengan gerakan-gerakan aneh dan di luar kendalinya. Angin bertiup kencang, dan suara-suara aneh mulai terdengar dari dalam hutan.

Tiba-tiba, muncul sesosok bayangan hitam yang mengerikan dari balik pohon beringin. Bayangan itu menjulurkan tangannya ke arah Ibu Lestari. Rina dan Bayu tidak bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi selanjutnya, namun mereka merasakan aura kegelapan yang sangat pekat menyelimuti tempat itu.

Setelah beberapa saat, bayangan itu menghilang, dan Ibu Lestari tergeletak lemas di tanah. Rina dan Bayu segera menghampirinya. Ibu Lestari tampak sangat pucat dan ketakutan.

Bab 14: Pengakuan yang Pahit

Rina dan Bayu membawa Ibu Lestari kembali ke rumah. Setelah siuman, Ibu Lestari akhirnya mengakui semuanya. Ia menceritakan tentang pertemuannya dengan dukun di Gunung Wilis, perjanjian pesugihan dengan slendang ungu, dan ritual yang harus ia lakukan setiap malam Jumat Kliwon.

Ibu Lestari menangis tersedu-sedu, menyesali perbuatannya. Ia mengatakan bahwa ia tidak tahu bahwa tumbal yang diminta adalah nyawa orang-orang terdekatnya. Ia hanya ingin menyelamatkan keluarganya dari kesulitan ekonomi dan menyembuhkan Bapak Harjo.

"Bibi Aminah... dia..." Ibu Lestari tidak sanggup melanjutkan kalimatnya. Rina mengerti bahwa kematian bibinya adalah tumbal pertama dari pesugihan itu.

Bapak Harjo yang mendengar pengakuan istrinya sangat terkejut dan marah. Ia merasa dibohongi dan dipermainkan. Namun, di tengah kemarahannya, ia juga merasa sedih dan khawatir dengan nasib keluarganya.

Bab 15: Mencari Cara Melepas Kutukan

Setelah pengakuan Ibu Lestari, Rina dan Bayu semakin bertekad untuk melepaskan keluarga mereka dari kutukan pesugihan slendang ungu. Mereka kembali menemui Mbah Wiryo untuk meminta bantuannya.

Mbah Wiryo menjelaskan bahwa ritual penghancuran slendang ungu harus dilakukan dengan hati-hati dan membutuhkan keberanian serta keyakinan yang kuat. Ada beberapa bahan dan persyaratan yang harus dipenuhi.

Salah satu syarat terpenting adalah Ibu Lestari harus benar-benar bertobat dan ikhlas melepaskan kekayaan yang telah ia dapatkan dari pesugihan. Selain itu, mereka juga membutuhkan bantuan dari orang lain yang memiliki niat baik dan keberanian untuk menghadapi makhluk halus yang terikat dengan slendang ungu.

Mbah Wiryo setuju untuk membantu mereka melakukan ritual tersebut, namun ia memperingatkan bahwa akan ada banyak bahaya dan godaan yang akan mereka hadapi.

Bab 16: Persiapan Ritual

Rina, Bayu, dan Mbah Wiryo mulai mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk ritual penghancuran slendang ungu. Mereka mencari berbagai macam bahan alami yang memiliki kekuatan spiritual, seperti bunga tujuh rupa, kemenyan, air dari tujuh sumber, dan lain-lain.

Mereka juga melatih diri untuk memperkuat mental dan spiritual mereka agar tidak mudah terpengaruh oleh gangguan makhluk halus. Mbah Wiryo memberikan mantra-mantra perlindungan yang harus mereka hafalkan dan amalkan.

Sementara itu, kondisi Bapak Harjo kembali memburuk. Seolah merasakan energi negatif yang semakin kuat di sekitar rumah mereka, penyakitnya kambuh dengan hebat. Ibu Lestari semakin merasa bersalah dan takut. Ia terus-menerus berdoa dan memohon ampunan kepada Tuhan.

Bab 17: Malam Penghancuran

Malam Jumat Kliwon berikutnya menjadi malam yang sangat menegangkan. Dengan hati yang berdebar-debar, Rina, Bayu, Mbah Wiryo, dan Ibu Lestari berkumpul di bawah pohon beringin di tengah hutan. Bapak Harjo tidak ikut karena kondisinya yang tidak memungkinkan.

Mbah Wiryo mulai memimpin ritual dengan membaca mantra-mantra dan membakar kemenyan. Bau harum bercampur dengan bau anyir yang semakin kuat di sekitar pohon beringin.

Ibu Lestari dengan gemetar menyerahkan slendang ungu kepada Mbah Wiryo. Saat slendang itu disentuh, tiba-tiba angin bertiup sangat kencang, dan suara-suara mengerikan mulai terdengar dari segala arah.

Sosok bayangan hitam yang pernah mereka lihat sebelumnya kembali muncul, kali ini dengan wujud yang lebih jelas dan menakutkan. Ia tampak marah dan berusaha merebut kembali slendang ungu dari tangan Mbah Wiryo.

Bab 18: Pertarungan dengan Kegelapan

Pertarungan sengit antara Mbah Wiryo dan makhluk halus itu pun terjadi. Mbah Wiryo dengan dibantu Bayu berusaha melindungi diri dan Ibu Lestari dari serangan makhluk tersebut. Jimat yang diberikan Mbah Wiryo kepada Rina terasa hangat di tangannya, memberikan sedikit perlindungan.

Ibu Lestari yang telah bertobat dan ikhlas melepaskan kekayaannya, terus-menerus berdoa dan memohon perlindungan kepada Tuhan. Air matanya mengalir deras membasahi pipinya.

Makhluk halus itu semakin marah dan menyerang dengan brutal. Beberapa kali Rina dan Bayu hampir terkena serangannya. Namun, dengan keberanian dan keyakinan yang kuat, mereka terus bertahan.

Mbah Wiryo akhirnya berhasil memfokuskan energinya dan melafalkan mantra yang sangat kuat sambil membakar slendang ungu. Slendang itu mengeluarkan asap hitam pekat dan kemudian terbakar menjadi abu.

Bab 19: Kebebasan yang Sementara

Saat slendang ungu terbakar habis, makhluk halus itu menjerit kesakitan dan kemudian menghilang bersama dengan hembusan angin yang tiba-tiba mereda. Suasana di hutan kembali menjadi tenang.

Ibu Lestari merasa beban berat yang selama ini menghimpitnya terangkat. Ia merasa bebas dan lega. Namun, Mbah Wiryo memperingatkan bahwa kebebasan ini mungkin hanya sementara. Entitas yang terikat dengan slendang ungu mungkin akan kembali mencari tumbal lain untuk menggantikan perjanjian yang telah rusak.

Kondisi Bapak Harjo berangsur-angsur membaik setelah ritual penghancuran slendang ungu. Seolah kutukan yang selama ini menyelimuti keluarga mereka telah hilang. Namun, trauma dan rasa bersalah masih membekas di hati Ibu Lestari.

Bab 20: Bayang-Bayang Masa Lalu

Beberapa bulan berlalu. Kehidupan keluarga Pranowo perlahan kembali normal. Bisnis batik mereka tidak lagi seramai dulu, namun cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bapak Harjo semakin sehat dan aktif.

Namun, Rina dan Bayu masih sering merasa was-was. Mereka tahu bahwa kekuatan gelap yang pernah mengancam keluarga mereka masih mungkin mengintai. Mereka terus belajar dan memperdalam pengetahuan mereka tentang dunia spiritual untuk melindungi diri dan keluarga mereka.

Suatu malam, saat Rina sedang tidur, ia kembali bermimpi. Dalam mimpinya, ia melihat sosok bayangan hitam berdiri di kejauhan, menatap ke arah rumahnya dengan tatapan penuh dendam. Rina terbangun dengan perasaan takut yang luar biasa. Ia tahu, perjuangan mereka belum berakhir sepenuhnya. Bayang-bayang masa lalu masih menghantui, dan ancaman pesugihan slendang ungu mungkin saja kembali datang.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel