Pustaka
Bahasa Indonesia

pesugihan slendang ungu

12.0K · Tamat
DIAN ACHMAD PRASETYAWAN
11
Bab
50
View
9.0
Rating

Ringkasan

Kisah ini berpusat pada keluarga Pranowo yang dulunya terpandang di desa Ngawi. Namun, setelah bisnis batik mereka bangkrut dan sang kepala keluarga, Bapak Harjo, jatuh sakit parah, mereka terhimpit kesulitan ekonomi. Desperasi mendorong Ibu Lestari, sang istri, untuk mencari jalan pintas. Terbujuk oleh bisikan gaib dan cerita turun-temurun tentang kekayaan yang bisa didapatkan melalui pesugihan, Ibu Lestari nekat menemui seorang dukun misterius di lereng Gunung Wilis. Sang dukun menjanjikan kekayaan berlimpah dengan syarat yang mengerikan: ia harus mengenakan sebuah slendang berwarna ungu setiap malam Jumat Kliwon dan menari di bawah pohon beringin keramat di tengah hutan, menyerahkan "persembahan" yang tidak boleh ia lihat wujudnya. Awalnya, kehidupan keluarga Pranowo berubah drastis. Bisnis mereka kembali berjaya, rumah mereka yang dulu sederhana kini berdiri megah, dan Bapak Harjo berangsur pulih. Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Keanehan mulai terjadi. Suara tangisan misterius di malam hari, bau anyir yang menyengat di sekitar rumah, dan mimpi buruk yang terus menghantui Ibu Lestari. Anaknya, Rina, seorang mahasiswi di Surabaya, merasakan ada yang tidak beres dengan perubahan drastis keluarganya. Ia mulai mencari tahu kebenaran di balik kekayaan mendadak mereka. Dibantu oleh teman kampusnya yang tertarik dengan cerita-cerita mistis Jawa, Rina menggali informasi tentang pesugihan dan dampaknya. Semakin dalam Rina mencari, semakin mengerikan fakta yang terungkap. Slendang ungu yang dikenakan ibunya ternyata terikat pada perjanjian dengan makhluk halus yang haus nyawa. "Persembahan" yang diminta bukanlah harta, melainkan nyawa orang-orang terdekat. Rina harus berpacu dengan waktu untuk menyelamatkan keluarganya dari jeratan maut pesugihan slendang ungu sebelum terlambat. Teror demi teror menghantui, memaksa Rina menghadapi kekuatan gaib yang sangat besar dan mengungkap rahasia kelam di balik tradisi pesugihan yang mengerikan.

SupernaturalCerita

senja kelabu di ngawi

Bab 1: Senja Kelabu di Ngawi

Senja merayap di langit Ngawi, mewarnai cakrawala dengan gradasi jingga dan kelabu yang sendu. Rumah keluarga Pranowo, yang dulu selalu ramai dengan tawa dan deretan kain batik warna-warni, kini tampak muram. Bapak Harjo terbaring lemah di kamarnya, napasnya tersengal-sengal seperti deru angin yang tertahan di antara pepohonan jati.

Ibu Lestari duduk di sisi ranjang, menggenggam erat tangan suaminya yang kurus. Matanya sembab, jejak air mata masih terlihat jelas di pipinya yang mulai keriput. Bisnis batik mereka yang menjadi tulang punggung keluarga, kini tinggal kenangan. Pesanan sepi, modal terkikis, dan penyakit Bapak Harjo semakin menggerogoti tabungan mereka.

Rina, putri semata wayang mereka, berdiri di ambang pintu, hatinya ikut teriris melihat kondisi kedua orang tuanya. Ia baru saja kembali dari Surabaya, kota tempatnya menimba ilmu di sebuah universitas negeri. Seharusnya, ia membawa kabar baik tentang studinya, namun yang ada hanyalah kekhawatiran yang semakin besar.

"Bagaimana keadaan Bapak, Bu?" tanya Rina pelan, suaranya bergetar.

Ibu Lestari menggeleng lemah. "Masih sama, Nak. Obat dari dokter seperti tidak mempan."

Desahan putus asa lolos dari bibir Ibu Lestari. Rina tahu, ibunya sedang menanggung beban yang sangat berat. Selain merawat Bapak Harjo, ia juga harus memikirkan bagaimana cara menghidupi keluarga.

Malam semakin larut, dan kesunyian mencekam menyelimuti rumah Pranowo. Hanya suara jangkrik dan desah napas Bapak Harjo yang terdengar. Di tengah kegelapan, Ibu Lestari memandang langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Dalam benaknya, berputar-putar cerita-cerita lama tentang pesugihan di Gunung Wilis, tentang kekayaan instan yang diperoleh dengan cara yang mengerikan.

Bab 2: Bisikan dari Lereng Wilis

Desakan ekonomi dan keputusasaan semakin menghimpit Ibu Lestari. Setelah berbagai cara dicoba dan tidak membuahkan hasil, ia mulai mempertimbangkan bisikan-bisikan gaib yang dulu selalu ia tepis. Cerita tentang dukun di lereng Gunung Wilis yang bisa memberikan kekayaan dalam semalam, kembali menghantuinya.

Suatu pagi, tanpa sepengetahuan Rina dan Bapak Harjo, Ibu Lestari berpamitan dengan alasan mencari pekerjaan di kota tetangga. Namun, langkahnya justru menuju ke arah selatan, menuju Gunung Wilis yang tampak menjulang misterius di kejauhan.

Perjalanan menuju tempat tinggal sang dukun tidaklah mudah. Jalan setapak yang terjal dan hutan yang lebat membuat Ibu Lestari beberapa kali hampir menyerah. Namun, bayangan Bapak Harjo yang terbaring sakit dan Rina yang terancam putus kuliah, memberinya kekuatan untuk terus melangkah.

Setelah berjalan berjam-jam, ia akhirnya tiba di sebuah gubuk reyot yang terletak di tengah hutan. Asap tipis mengepul dari cerobongnya, menandakan adanya penghuni di dalam. Dengan jantung berdebar, Ibu Lestari mengetuk pintu.

Seorang lelaki tua dengan wajah keriput dan mata yang tajam membukakan pintu. Aura mistis langsung terasa begitu Ibu Lestari bertatap muka dengannya. Tanpa banyak basa-basi, Ibu Lestari menceritakan semua masalahnya dan keinginannya untuk mendapatkan kekayaan dengan cara cepat.

Sang dukun mendengarkan dengan seksama, tanpa ekspresi. Setelah Ibu Lestari selesai bercerita, ia tersenyum tipis. "Semua ada harganya, Ibu Lestari," ucapnya dengan suara serak. "Kekayaan memang bisa datang dengan cepat, tapi pengorbanannya juga tidak main-main."

Bab 3: Slendang Ungu dan Janji Kegelapan

Di dalam gubuk yang remang-remang, sang dukun mengeluarkan sebuah bungkusan kain berwarna hitam. Dengan hati-hati, ia membukanya dan memperlihatkan sebuah slendang berwarna ungu yang tampak berkilauan meski dalam cahaya redup.

"Ini adalah jalan yang Anda pilih," kata sang dukun sambil menyerahkan slendang itu kepada Ibu Lestari. "Slendang ini akan menjadi perantara antara Anda dan 'mereka'. Setiap malam Jumat Kliwon, Anda harus mengenakannya dan menari di bawah pohon beringin keramat di tengah hutan. 'Persembahan' akan datang dengan sendirinya. Jangan pernah melihat wujudnya, dan jangan pernah menceritakan ini kepada siapa pun."

Ibu Lestari menerima slendang ungu itu dengan tangan gemetar. Warnanya yang indah terasa dingin dan aneh di kulitnya. Ia merasakan ada aura mistis yang kuat terpancar dari kain tersebut.

"Apa yang harus saya persembahkan?" tanya Ibu Lestari dengan suara tercekat.

Sang dukun tersenyum misterius. "Itu bukan urusan Anda. 'Mereka' tahu apa yang mereka inginkan."

Ibu Lestari tidak berani bertanya lebih lanjut. Ia merasa ada sesuatu yang sangat gelap dan mengerikan di balik perjanjian ini. Namun, bayangan kesembuhan Bapak Harjo dan kembalinya kejayaan bisnis mereka, mengalahkan ketakutannya.

Malam Jumat Kliwon pertama setelah pertemuannya dengan dukun, Ibu Lestari dengan hati berat mengenakan slendang ungu itu. Dinginnya kain itu menusuk kulitnya. Ia berjalan menuju hutan di bawah cahaya rembulan yang pucat, mencari pohon beringin keramat yang digambarkan oleh sang dukun.

Setibanya di sana, angin bertiup kencang, menggoyangkan ranting-ranting pohon beringin yang tampak seperti tangan-tangan mengerikan yang menjangkau ke arahnya. Dengan tubuh bergetar, Ibu Lestari mulai menari, mengikuti irama angin yang berbisik di telinganya.

Bab 4: Keajaiban yang Menakutkan

Beberapa minggu berlalu setelah malam Jumat Kliwon pertama itu. Keajaiban mulai terjadi dalam kehidupan keluarga Pranowo. Bapak Harjo menunjukkan perkembangan yang signifikan. Ia mulai bisa duduk, bahkan berjalan perlahan dengan bantuan.

Bisnis batik mereka tiba-tiba mendapatkan banyak pesanan. Para pelanggan lama kembali berdatangan, dan muncul pula pelanggan-pelanggan baru yang entah dari mana asalnya. Uang mengalir deras ke rekening mereka. Rumah mereka yang dulu sederhana kini direnovasi menjadi lebih megah.

Ibu Lestari berusaha menyembunyikan kegelisahannya di balik senyum bahagia. Setiap malam Jumat Kliwon, ia tetap menjalankan ritualnya dengan slendang ungu, meskipun hatinya semakin dipenuhi rasa takut dan bersalah. Ia seringkali terbangun di tengah malam dengan mimpi buruk yang mengerikan, namun ia berusaha menepisnya.

Rina yang melihat perubahan drastis dalam kehidupan keluarganya merasa heran sekaligus curiga. Ia senang melihat kondisi ayahnya yang semakin membaik dan bisnis keluarganya yang kembali sukses, namun ada sesuatu yang janggal yang tidak bisa ia pahami.

"Ibu, bagaimana bisa bisnis batik kita tiba-tiba seramai ini?" tanya Rina suatu sore saat membantu ibunya membereskan kain batik.

Ibu Lestari tersenyum tipis. "Mungkin ini rezeki dari Tuhan, Nak. Kita harus bersyukur."

Namun, Rina tidak sepenuhnya percaya. Ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh ibunya.

Bab 5: Mimpi Buruk di Surabaya

Rina kembali ke Surabaya untuk melanjutkan kuliahnya. Namun, pikirannya terus terganggu dengan perubahan aneh yang terjadi pada keluarganya. Ia seringkali merasa khawatir, meskipun ia tidak tahu apa yang sebenarnya ia khawatirkan.

Suatu malam, Rina bermimpi buruk. Dalam mimpinya, ia melihat ibunya mengenakan slendang ungu dan menari di bawah pohon beringin yang sangat besar. Di bawah pohon itu, tampak bayangan-bayangan hitam yang mengerikan berkerumun, seolah menunggu sesuatu. Kemudian, ia melihat ibunya menyerahkan sesuatu kepada bayangan-bayangan itu, dan seketika, bau anyir yang sangat menyengat menusuk hidungnya.

Rina terbangun dengan jantung berdebar kencang dan tubuhnya berkeringat dingin. Mimpi itu terasa sangat nyata dan membuatnya semakin gelisah. Ia memutuskan untuk mencari tahu kebenaran di balik kekayaan mendadak keluarganya.

Di kampus, Rina bertemu dengan Bayu, seorang teman kuliahnya yang dikenal tertarik dengan hal-hal mistis dan cerita-cerita rakyat Jawa. Rina menceritakan tentang perubahan aneh keluarganya dan mimpi buruk yang menghantuinya.

Bayu mendengarkan dengan penuh perhatian. "Ceritamu ini terdengar seperti ciri-ciri orang yang melakukan pesugihan, Rina," kata Bayu setelah Rina selesai bercerita. "Apalagi dengan adanya slendang ungu dan ritual di malam Jumat Kliwon. Itu adalah praktik yang sangat berbahaya dan memiliki konsekuensi yang mengerikan."

Bab 6: Jejak di Gunung Wilis

Mendengar penjelasan Bayu, Rina semakin yakin bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan kekayaan keluarganya. Ia memutuskan untuk kembali ke Ngawi dan mencari tahu kebenarannya. Bayu setuju untuk menemaninya.

Sesampainya di Ngawi, Rina merasakan suasana yang berbeda di rumahnya. Meskipun tampak lebih mewah, ada aura dingin dan mencekam yang menyelimuti rumah itu. Ibu Lestari tampak lebih sering melamun dan terlihat sangat lelah.

Rina mencoba bertanya kepada ibunya tentang bisnis mereka, namun Ibu Lestari selalu menghindar atau memberikan jawaban yang tidak memuaskan. Rina dan Bayu kemudian memutuskan untuk diam-diam menyelidiki.

Berdasarkan petunjuk dari mimpi Rina dan informasi dari Bayu, mereka berdua pergi menuju Gunung Wilis. Mereka mencari gubuk tempat dukun itu tinggal. Setelah bertanya kepada beberapa penduduk desa, mereka akhirnya menemukan lokasi gubuk yang dimaksud. Namun, gubuk itu tampak kosong dan tidak terawat.

Meskipun gubuk itu kosong, Rina dan Bayu menemukan beberapa petunjuk yang mengarah pada praktik pesugihan. Mereka menemukan sisa-sisa pembakaran dupa dan beberapa benda-benda aneh yang tidak mereka kenali.

"Kita harus mencari pohon beringin keramat yang disebutkan dalam mimpi kamu, Rina," kata Bayu. "Mungkin kita bisa menemukan sesuatu di sana."

Bab 7: Tangisan di Tengah Malam

Malam itu, Rina dan Bayu menginap di rumah Rina. Saat semua orang terlelap, Rina terbangun oleh suara tangisan yang lirih dan menyayat hati. Suara itu terdengar dari arah kamar ibunya.

Dengan hati-hati, Rina keluar dari kamarnya dan mengintip ke kamar ibunya. Ia melihat ibunya duduk di tepi ranjang, memeluk slendang ungu dengan erat sambil terisak-isak.

"Ibu..." panggil Rina pelan.

Ibu Lestari terkejut dan segera menyembunyikan slendang ungu di bawah bantalnya. Ia menatap Rina dengan mata merah dan sembab.

"Kamu belum tidur, Nak?" tanya Ibu Lestari dengan suara bergetar.

"Aku mendengar Ibu menangis. Ada apa?" tanya Rina khawatir.

Ibu Lestari menggeleng. "Tidak ada apa-apa, Nak. Ibu hanya sedang tidak enak badan."

Rina tahu ibunya berbohong. Ia melihat jelas kesedihan dan ketakutan di mata ibunya. Namun, ia tidak ingin memaksa ibunya untuk bercerita. Ia memutuskan untuk menunggu waktu yang tepat.

Keesokan harinya, Rina dan Bayu kembali melanjutkan pencarian mereka di hutan Gunung Wilis. Mereka mencari pohon beringin keramat yang ada dalam mimpi Rina.

Bab 8: Pohon Beringin yang Menakutkan

Setelah menyusuri hutan yang lebat, Rina dan Bayu akhirnya menemukan pohon beringin yang dimaksud. Pohon itu tampak sangat tua dan besar, dengan akar-akar yang menjalar ke segala arah seperti tentakel raksasa. Suasana di sekitar pohon itu terasa sangat dingin dan mencekam.

Di bawah pohon beringin, mereka menemukan bekas-bekas ritual. Tanah di sekitar pohon itu tampak menghitam seperti terbakar, dan tercium bau anyir yang samar namun sangat mengganggu.

"Ini tempatnya, Rina," kata Bayu dengan suara pelan. "Tempat ibumu melakukan ritual pesugihan."

Tiba-tiba, mereka mendengar suara bisikan angin yang aneh. Suara itu seperti memanggil-manggil nama Rina. Bulu kuduk Rina berdiri, dan ia merasakan hawa dingin yang menusuk tulang.

"Kita harus pergi dari sini, Rina," bisik Bayu. "Tempat ini tidak aman."

Namun, Rina merasa ada sesuatu yang menahannya. Ia merasa ada ikatan yang kuat antara dirinya dan tempat itu. Ia ingin mengetahui lebih banyak tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Saat mereka berbalik untuk pergi, mereka melihat sesuatu yang membuat mereka membeku ketakutan. Di salah satu akar pohon beringin, tergantung sebuah boneka kecil yang terbuat dari kain. Boneka itu tampak lusuh dan menyeramkan, dengan mata kancing yang menatap kosong ke arah mereka. Di leher boneka itu, terikat sehelai rambut hitam yang panjang.

Bab 9: Firasat Buruk

Kembali ke rumah, Rina semakin tidak tenang. Penemuan boneka di bawah pohon beringin membuatnya memiliki firasat buruk. Ia merasa ada bahaya yang mengintai keluarganya.

Ia kembali mencoba berbicara dengan ibunya, namun Ibu Lestari tetap tertutup. Ia bahkan mulai terlihat semakin aneh. Ia seringkali berbicara sendiri dan tatapannya kosong.

Suatu malam, Rina tidak sengaja melihat ibunya menyembunyikan sesuatu di balik lemarinya. Karena penasaran, Rina menunggu ibunya tidur sebelum diam-diam membuka lemari itu. Betapa terkejutnya ia ketika menemukan slendang ungu yang sama persis dengan yang ia lihat dalam mimpinya.

Rina mengambil slendang itu dan merasakannya. Dinginnya kain itu membuatnya merinding. Ia merasakan ada energi negatif yang kuat terpancar dari slendang itu.

Ia kemudian teringat akan perkataan Bayu tentang konsekuensi mengerikan dari pesugihan. Ia mulai menyadari bahwa kekayaan dan kesembuhan ayahnya mungkin memiliki harga yang sangat mahal.

Keesokan harinya, Rina mengajak Bayu untuk kembali ke Surabaya. Ia ingin mencari informasi lebih lanjut tentang pesugihan slendang ungu dan cara untuk menghentikannya. Ia merasa waktu mereka semakin sempit.

Bab 10: Mencari Jawaban di Kota

Di Surabaya, Rina dan Bayu mulai mencari informasi tentang pesugihan dan praktik-praktik mistis di Jawa Timur. Mereka mengunjungi perpustakaan, mencari buku-buku tentang folklore dan kepercayaan tradisional. Mereka juga mencoba mencari informasi dari internet, namun tidak banyak yang mereka temukan tentang pesugihan slendang ungu secara spesifik.

Kemudian, Bayu teringat bahwa kakeknya dulu pernah bercerita tentang seorang tokoh spiritual yang tinggal di pinggiran Surabaya dan memiliki pengetahuan yang luas tentang dunia gaib. Mereka memutuskan untuk mencari tokoh tersebut.

Setelah melalui perjalanan yang cukup jauh, mereka akhirnya menemukan rumah sederhana tempat tokoh spiritual itu tinggal. Seorang lelaki tua dengan wajah yang tenang dan sorot mata yang bijaksana menyambut kedatangan mereka.

Rina menceritakan semua yang ia alami, mulai dari perubahan aneh keluarganya, mimpi buruknya, hingga penemuan slendang ungu dan boneka di hutan. Tokoh spiritual itu mendengarkan dengan seksama, tanpa menyela.

Setelah Rina selesai bercerita, tokoh spiritual itu menghela napas panjang. "Apa yang ibumu lakukan adalah perbuatan yang sangat berbahaya," katanya dengan nada prihatin. "Pesugihan slendang ungu adalah salah satu jenis pesugihan yang paling gelap dan meminta tumbal nyawa sebagai imbalannya."

Rina dan Bayu saling berpandangan dengan wajah pucat. Mereka tahu, bahaya besar sedang mengancam keluarga Pranowo. Mereka harus segera bertindak sebelum terlambat.