Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 3 - Pent-up Anger

Keesokan hari, pukul 2 siang waktu pulang sekolah, Sasa dan Vanya berjalan dipekarangan sekolah untuk menunggu jemputan Sasa.

"Kenapa supirmu lama sekali?!" desah Vanya, menendang batu kerikil di hadapannya.

Sasa mengecek ponselnya lagi. "Dia berkata baru selesai mengantar mamiku berbelanja."

Vanya menatap setiap mobil murid-murid yang terparkir rapi dihalaman sekolah, bahkan beberapa murid masih belum meninggalkan sekolah, mereka masih berkerumunan, bergaul, tertawa canda, dan berpacaran.

"Hai... kalian masih belum pulang?!" Seseorang menyentuh bahu Vanya, dia Dela dan Zura, teman sekelasnya.

Sasa menghempaskan rambut depannya yang menghalangi penglihatannya, akibat angin kencang. "Supirku masih dalam perjalanan."

Zura tersenyum mengejek. "Aku sebenarnya ingin mengajak kalian berpesta dirumahku besok," tawar Zura mengundangnya.

"Jam berapa?" Mata Vanya berbinar, ini kesempatan bagus untuknya menikmati makanan enak dan tentunya geratis. Berpesta memang kesukaan-nya. Tujuannya bisa makan enak, bukan karna berpesta.

Zura menjawabnya, "Datanglah pukul 7 malam." Zura memberi kode mata pada Sasa, seperti berharap.

Sebenarnya Zura hanya ingin mengingatkan Sasa saja akan undangan yang ia kirim di waktu lalu. Tapi melihat Sasa bersahabat dengan Vanya, Zura mau tidak mau, harus mengajak seorang anak dari kelurga miskin juga.

Jemputan Sasa datang. "Maaf, aku tidak bisa janji." Sasa menarik tangan Vanya untuk masuk kedalam mobil Limosinnya.

Zura mengepal tangannya. "Dia sangat sombong. Andaikan saja Ayahku tidak memiliki urusan kerja sama dengan perusahaannya, aku pasti tidak akan bicara dengannya seperti pengemis."

Dela menyunggingkan bibirnya menatap kepergian mobil Sasa yang menjauh. "Mereka seperti pasangan lesbian, apa kau tidak lihat Sasa begitu dekat dengan gadis miskin itu?"

"Maka dari itu, untuk mendapatkan perhatian Sasa, aku harus berbaik hati pada gadis miskin tadi. Yah... andaikan saja Sasa tidak bersahabat dengannya, tentunya gadis miskin itu akan mendapatkan bullyan semua orang disini. Dan juga ... menyiksanya," Zura lontarkan ucapan kejamnya.

Hardik Dela, "Salah! Gadis miskin itu miliki malaikatnya sendiri."

Dela dan Zura memasuki mobil sport masing-masing.

Seorang pria tampan sedari tadi duduk di dalam mobil stirnya sendiri. Dia baru saja mengamati wajah gadis yang membuatnya terpikat baru-baru ini.

TOK TOK!!!

Suara ketukan kaca pintu mobil.

Vano membuka kunci mobilnya, membiarkan Revano masuk. "Aku kira kau sudah pulang. Tidak biasanya kau duduk berlama-lama di dalam mobilmu. Yah, aku sedari tadi menunggumu ditempat kita biasanya berkumpul."

Vano wilson memakai kaca mata hitamnya dan juga jaket hitamnya, sambil mendengar Revano berbicara. "Ada apa, langsung saja?" Vano menyalakan mesin mobilnya.

"Brian barusan menelponku. Ia sedari tadi menghubungimu, tapi kau tidak mengangkat telponnya. Sekarang, ia ada dimansion pribadimu menunggumu pulang."

Revano menggoyangkan kepalanya pelan, sambil menikmati musik yang berbunyi nyaring didalam mobil Vano.

Jemari Vano mengetuk-ngetuk stir mobilnya. Ia berpikir sebentar. "Beritahu Dion, untuk menjaga ke amanan di pelabuhan peti kemas, jangan lupa untuk periksa barang itu sebelum disebarkan!"

Revano paham, ia langsung keluar dari mobil, menutup kencang pintu mobil milik vano. Setelah itu mobil Vano langsung beranjak pergi dari sana, dengan laju pelannya karna masih banyak murid yang berlalu lalang melintas disepanjang jalan.

"Hai... itu mobil kakak kelas yah?" ucap siswi pada teman-temannya yang lain, mereka terpesona melihat mobil sport mahal milik Vano yang melintas disamping mereka.

"Wow keren, aku pengen bercinta dengan kakak Vano," lontar salah satu murid lain.

"Jangan mimpi, orang seperti kakak Vano selera wanitanya sangat tinggi."

"Betul, aku dan pacarku perna melihat Kakak Vano merangkul pinggang seorang artis papan atas di sebuah hotel Grup Smith."

"Hah serius, siapa artis itu?" penasaran mereka.

"Veronika," jawab murid lain.

"Ini pasti hanya skandal saja, palingan setelah Veronika berikan perawannya, esoknya juga di lupakan. Kalian harus dengar! Kakak Vano wilson itu fakboy."

"What... fakboy, bukannya dia playboy yah?"

"Ah masa bodoh, mau dia fakboy atau playboy semua wanita pasti dengan suka rela memberikan tubuhnya. Siapa-sih yang tidak jatuh dalam pesona Kakak Vano itu. Vano sangat tampan, kaya dan yah, senyumannya itu. Wow ... aku bisa pingsan di tempat jika ingat senyuman mautnya itu."

"Kau benar, dia sangatlah sempurna. Aku sangat penasaran, wanita seperti apa yang dia nikahi kelak?"

"Dia sama dengan pria-pria yang di bahas dibuku-buku novel di wattpad.

Dia mafia, dia berbahaya, sepenuhnya ilegal."

Murid itu terus saja melontarkan kata-kata pujaan. Vano bagaikan sebuah patung berhala yang terus di puji akan dirinya.

~~~

Di rumah kediaman Sasa, Vanya terus memaksakan diri pada sasa.

"Ayolah Sasa! Kita harus pergi besok, aku yakin banyak makanan dipesta itu."

"Kau ingin kepesta hanya karna makanan saja. Oh tidak, katakan padaku makanan apa yang kau inginkan, biar nanti pelayanku menyiapkan semua untukmu." Sasa menatap serius Vanya yang memperlihatkan giginya yang rapi.

Vanya mencubit paha Sasa. "Apaan sih, pokonya makanan di pesta itu lebih menarik, puas karna banyak yang bisa aku makan disana."

Sasa menggelengkan kepalanya mendengar pengakuan Vanya. Lalu apakah Vanya memang tidak perna menikmati makan-makanan enak.

"Ok, besok kita pergi. Dan kau jangan telat datang untuk berhias."

"Hah kenapa harus berhias?!"

"Ini bukan pesta biasa Vanya, ini pertemuan antara-" perkataan Sasa terputus.

"Ok, ok, aku paham sekarang! Aku mau pulang, ibuku sedari tadi menelponku."

Vanya yang sudah di antar pulang oleh supir Sasa, kini dia berjalan masuk kepekarangan rumahnya, dan melihat mobil mewah terparkir di halaman rumahnya.

Vanya menyentuh body mobil itu, dia heran bagaimana bisa Ayahnya membeli mobil mahal, sedangkan buat makan hari-hari saja sudah susah bagi mereka.

Vanya membuka sepatunya untuk masuk kedalam rumahnya. "Ayah, ibu! Heh... ada tamu yah?" Vanya menutup mulutnya, dia malu setengah mati, mobil yang terparkir di halaman rumahnya ternyata mobil orang lain, berbeda dengan apa yang dia kira. Hampir saja dia berkata bahwa: Kapan Ayahnya membeli mobil. Lucu sekali dia.

Mariam menarik tangan Vanya untuk duduk ditengah-tengah tamunya. Vanya melihat pemuda yang sangat tampan, duduk berhadapannya dengannya, dan hanya meja kaca saja yang menjadi pembatas diantara mereka.

"Vanya apa kau lupa dengan tante Nita?" tanya Mariam.

Vanya bingung, siapa orang di hadapannya. "Aku serius, tidak tau Bu." Vanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Mariam membuang wajahnya ke arah samping, itu karna dia mengira vanya akan mengenal Nita sahabatnya.

Nita mendekat merangkul bahu Vanya. "Wajar saja Vanya lupa mariam, dulukan dia masih umur 6 tahun bertemu denganku."

"Ehem! Vanya apa kau juga lupa dengan diriku." Pemuda yang berumur 19 tahun itu menunjukkan foto didalam dompetnya.

Mata Vanya membulat, dia serasa ingin menangis sekarang. Pemuda di hadapannya adalah sahabatnya waktu kecil, dimana mereka terpaksa harus berpisah karena ayah sahabatnya itu meninggal di Rusia. Ayahnya memang orang Rusia.

Vanya loncat memeluk pria tampan dihadapannya. "Rafka, kau jahat! Kau menghilang bagaikan di telan bumi. Kau tega sekali. Kenapa kau tidak perna menghubungiku lagi." Vanya tidak canggung lagi, ia memukuli dada Rafka.

Mariam menarik tangan anaknya untuk berhenti kurang ajar. "Vanya, berhenti memukuli Rafka. Dia baru saja pulih dari sakitnya," ucapnya beritahukan.

Vanya menarik tangannya dari ibunya, lalu menyentuh pipi Rafka.

"Kau sakit apa?"

Rafka mengusap rambut Vanya. "Tente, Ibu, apa aku bisa mengajak Vanya keluar? Aku ingin cerita banyak hal padanya," harapnya.

"Vanya pergilah ganti bajumu, dan ikutlah bersama Rafka," Mariam mengizinkan.

Mariam memang senang pada Rafka. Bila itu Pria lain yang mengajak anaknya keluar, tentu saja Mariam tidak akan mengizinkannya. Dia tau laki-laki di kota london itu seperti apa. Berbeda dengan Rafka.

Bila dibandingkan dengan pria lain, Rafka sangatlah berbeda. Rafka baik, ramah pada semua orang, taat beribadah, dan juga penyayang. Bahkan Rafka sendiri tidaklah pelit. Setiap bulan ia selalu mendonasikan uangnya pada anak-anak yatim piatu yang tinggal di yayasan.

Rafka berkata bahwa, buat apa kaya bila anak-anak disana masih ada yang menahan kelaparan. Mariam memang sudah mendapatkan pria yang cocok untuk anaknya yang berjiwa rohani. Itulah pilihan Mariam untuk anaknya Vanya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel