Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

5. DEMI MARGARETA

Cedric melihat sahabatnya yang mulai terlihat lemah. "Kamu harus kuat, kita akan segera ke luar dari sini. Percaya padaku!"

Arsen tidak bersuara sedikitpun, tubuhnya sudah terasa dingin dengan penglihatan yang mulai kabur.

"Kamu harus kuat!" Cedric memegang bahu Arsen untuk memberinya semangat.

"Bos!" Panggil anak buahnya pelan.

"Apa?"

"Sebaiknya aku yang pergi lebih dulu mengambil mobil. Gerakanku lebih leluasa jika aku sendirian."

Cedric nampak berpikir, apa yang dikatakan anak buahnya ada benarnya juga.

"Bagaimana Bos? Biar aku sendiri saja yang mengambil mobil. Kasihan Tuan Arsen, kondisinya sudah sangat lemah seperti itu. Untuk membawanya berjalan bersama kita menuju mobil, sepertinya Tuan Arsen tidak akan kuat."

"Kamu yakin bisa sendiri?" Tanya Cedric.

"Yakin! Hanya itu satu-satunya cara agar kita bisa ke luar dari tempat ini."

Cedric terdiam, dilihatnya kembali sahabatnya yang nampak lemah dengan mata yang sedang tertutup. Wajahnya penuh lebam dengan sedikit darah kering dari luka yang tergores dipipinya.

"Bos. Percaya padaku!" Bisik anak buahnya melihat Bosnya yang terlihat ragu.

Cedric menghela napas. "Pergilah! Bawa mobil ke sini dengan secepat mungkin!"

"Siap Bos!" Anak buahnya dengan sangat hati-hati langsung bergerak pergi meninggalkan kedua Bosnya untuk membawa mobil mereka yang terparkir ditempat tersembunyi.

Cedric merapatkan tubuhnya pada Arsen agar bisa bersembunyi dibalik pohon yang sekarang satu-satunya sebagai penyelamat hidupnya dan hidup sahabatnya.

Dengan perlahan tapi pasti, anak buahnya sekaligus tangan kanannya mulai berjalan dengan sangat hati-hati di antara ilalang yang tinggi dan pohon-pohon basah sisa air hujan yang tadi siang seharian mengguyur bumi meninggalkan mereka berdua.

Cedric memegang tangan sahabatnya yang terasa mulai panas karena demam. "Tubuhmu panas."

Perlahan Arsen membuka matanya. "Jangan khawatir, aku masih kuat," bisiknya sangat lemah.

"Sebentar lagi Zero akan kembali dengan membawa mobil, kamu harus kuat," bisik Cedric merasa khawatir melihat kondisi sahabatnya.

Arsen hanya tersenyum samar mendengar perkataan sahabatnya, perlahan matanya tertutup kembali dengan napas yang sudah terdengar sangat lemah.

Suara angin malam yang menerpa pohon-pohon dengan daun-daun rimbun ikut berbaur dengan suara langkah sepatu dan beberapa orang yang sibuk sedang mencari keberadaan tawanan mereka.

Wajah-wajah yang tidak bersahabat serta tangan yang memegang senjata api dengan erat, mengedarkan pandangannya ke segala arah menembus gelapnya malam yang penuh dengan hamparan ilalang tinggi serta pohon-pohon yang tidak terawat.

"Aku tidak mengerti, hilang ke mana tawanan kita?" Ucap Jassen berdiri tidak jauh dari tempat persembunyian Cedric dan Arsen.

"Aku juga tidak tahu," jawab Bram berdiri dengan bertolak pinggang melihat ke sekeliling yang terlihat gelap.

"Apa orang itu punya ilmu menghilang?"

"He-he-he. Otakmu sudah mulai tidak waras. Mana ada jaman sekarang ilmu menghilang?" Bram terkekeh sambil berjalan mendekat ke arah pohon yang menjadi tempat persembunyian Cedric dan Arsen.

"Mau apa kamu?" Tanya Jassen melihat Bram yang membuka ikat pinggangnya.

"Aku ingin buang air kecil, dari tadi aku menahannya. Lama-lama aku bisa terkena batu ginjal." Bram berdiri menghadap pohon dan perlahan mulai membuka resleting celana panjangnya.

"Hati-hati buang air kecil di tempat seperti itu, ular kecil yang menjadi kebanggaan kamu itu, bisa dipatuk ular sungguhan!" Teriak Jassen.

"Tidak mungkin ular sungguhan bisa mematuk ularku. Dia pasti ketakutan melihat ular besarku," jawab Bram yang sedang menikmati proses buang air kecilnya.

"He-he-he. Kamu bisa nangis darah kalau benar-benar dipatuk!'

Tanpa mereka sadari, dari balik pohon yang sekarang ada di depan Bram, tawanan yang sedang mereka cari sedang berusaha menyembunyikan dirinya dengan segala macam doa yang mereka ucapkan di dalam hati.

Cedric menutupi tubuh sahabatnya dengan tubuhnya yang jauh lebih besar. Matanya yang tajam, memasang kewaspadaan penuh melihat orang yang sedang buang air kecil yang hanya terhalang batang pohon yang tidak begitu besar.

Setelan jas hitam yang dikenakan dirinya dan sahabatnya menjadi dewa penolong untuknya, serta keadaan alam yang gelap ikut membantunya tidak terlihat dari penglihatan anak buah Chris yang tidak tahu keberadaan mereka berdua yang ada di balik pohon yang sedang Bram siram dengan air kotornya.

"Sialan! Dia mengeluarkan air kotornya di depanku!" Hati Cedric bicara sendiri dengan tangan memegang erat senjata apinya, serta tubuh yang melindungi sahabatnya yang duduk lemas. "Ular kecil begitu dibanggakan. Ularku jauh lebih besar dan panjang daripada milikmu!"

Arsen membuka matanya, dilihatnya Cedric yang begitu menempel dengan tubuhnya.

"Sst!" Cedric langsung memberikan kode dengan menempelkan jari telunjuknya di bibir agar Arsen tidak bersuara.

Terdengar suara air dari balik pohon yang melindungi mereka berdua dan suara-suara orang sedang bercakap. "Lega rasanya."

"Ayo! Kita mencari ke tempat lain!" Ajak Jassen pergi menjauh setelah melihat keadaan sekelilingnya tidak ada yang mencurigakan.

"Tunggu!" Bram segera menarik kembali resleting celananya dan menyusul temannya untuk mencari tawanan mereka.

Cedric bernapas lega, kepalanya mengintip dari balik pohon yang tadi sukses telah disiram dengan air kotor anak buah musuhnya. "Mereka telah pergi, rasanya nyawaku telah kembali. Aku bisa saja tadi menembak mereka berdua, tapi melihat keadaan Arsen seperti ini, tidak memungkinkan untukku melawan mereka. Sekarang yang jauh lebih penting menyelamatkan Arsen terlebih dahulu."

Dua orang anak buah Chris perlahan mulai hilang dari penglihatan Cedric ditelan gelapnya malam. "Syukurlah, mereka berdua sudah pergi," gumamnya bernapas lega menyandarkan tubuhnya ke batang pohon yang sekarang tercium bau menyengat.

"Sialan! Orang itu meninggalkan polusi yang merusak hidungku. Apa yang dia makan sampai baunya seperti ini?" Gumam Cedric menutup hidungnya yang mancung.

Arsen membuka matanya, tatapannya semakin sendu dengan napas yang semakin melemah. "Cedric."

"Apa?" Cedric segera mendekatkan telinganya ke bibir Arsen agar bisa mendengar.

"Kenapa lama sekali? Rasanya aku tidak kuat lagi, tubuhku mulai mati rasa."

"Sebentar lagi Zero pasti datang. Tetap bertahan!" Bisik Cedric.

"Aku tidak kuat," bisiknya lirih perlahan menutup matanya kembali.

"Aku mohon bertahanlah! Setidaknya kamu bertahan demi adik perempuanmu satu-satunya, Margareta. Juga demi aku, sahabatmu!" Bisik Cedric semakin khawatir melihat kondisi sahabatnya yang semakin lemah.

"Margareta," gumam Arsen lirih.

"Iya Margareta. Adik kesayanganmu yang selalu menunggumu pulang dengan tersenyum manis. Adikmu yang cantik, yang bisa membuatmu marah jika ada laki-laki yang menggodanya."

"Margareta," gumam Arsen.

"Kamu harus kuat demi adikmu!" Bisik Cedric berusaha menguatkan sahabatnya dan membuatnya tetap tersadar.

"Aku harus kuat demi adikku," gumamnya lirih dengan mata yang tetap tertutup dan tubuh yang terkulai lemah bersandar pada batang pohon yang lembab. "Dia tidak punya siapa-siapa lagi selain aku."

"Apa yang kamu katakan itu betul, makanya tetap bertahan demi adikmu yang cantik atau nanti akan ada laki-laki yang menggodanya jika kamu tidak ada."

Arsen membuka matanya. "Akan aku habisi orang itu, jika berani menggoda adikku!"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel