2. PERSEMBUNYIAN
"Lebih baik kita cari di tempat lain saja. Lama berada di sini, semua isi perutku bisa ke luar. Lagipula, tidak mungkin orang tersebut bisa tahan bersembunyi ditumpukan karung bau busuk begitu, dia pasti sudah mati!"
"Bram! Kamu mau di sini dengan sepatu bau busukmu itu atau ikut dengan kita?" Ajak pria bertubuh pendek.
Yang merasa namanya dipanggil langsung menghela napas dan mendekati kedua temannya. "Kita cari ditempat lain! Tidak mungkin dia ada di sini!"
"Kamu jangan dekat-dekat denganku! Sepatumu bau busuk!" Pria hitam langsung pergi diikuti kawannya yang bertubuh pendek dengan hidung yang ditutup.
"Bersihkan dulu sepatumu kawan! Bos bisa marah, sudah targetnya lepas, sekarang ditambah mencium sepatumu yang bau busuk. Aku khawatir kamu akan ditembak ditempat oleh Bos," ucap pria bertubuh pendek dengan diakhiri tawa meledek.
"Sialan kalian berdua!" Gerutu Bram dengan kesal begitu melihat kedua temannya pergi berlari meninggalkan dirinya.
Bram kembali melihat sepatunya dengan kedua tangannya bertolak pinggang. "Di mana aku harus membersihkan sepatuku ini? Sialan! Brengsek!"
Sementara itu, orang yang bersembunyi sedang menutup hidungnya rapat-rapat. Isi dalam perutnya serasa bergejolak ingin ke luar tapi demi nyawanya yang hanya satu-satunya, seluruh tenaganya dia kumpulkan agar bisa menahan rasa muntah yang menyeruak ingin ke luar.
"Fuck! Bau busuk sangat menyengat sekali. Rasa sakit di tanganku yang patah hampir tidak terasa karena bau busuk ini. Orang itu juga, kenapa hanya berdiri saja melihat sepatunya? Sialan!" Gerutu orang yang sedang bersembunyi dari kejaran ketiga pria tersebut.
Bram beberapa kali menghela napas. "Biar saja bau busuk juga. Yang penting aku harus mendapatkan orang yang kabur itu. Itu lebih penting dari sekedar memikirkan sepatuku ini, karena nyawaku yang menjadi taruhannya. Bos bisa marah besar padaku jika tidak bisa menemukan tawanannya," Bram bicara sendiri, kemudian pandangannya mengedar ke sekeliling lorong yang terlihat gelap dan becek.
Setelah melihat ke sekelilingnya yang gelap dan tidak ada yang mencurigakan, Bram segera pergi dengan terburu-buru menyusul kedua kawannya menembus lorong yang gelap dengan pijakan kaki yang becek.
"Akhirnya dia pergi juga," gumam orang yang bersembunyi, hatinya merasa sangat lega, nyawanya seakan telah kembali lagi setelah beberapa saat tadi menahan napas takut persembunyiannya ketahuan.
Sambil meringis menahan sakit, dirinya ke luar dengan tangan berlumuran darah yang hampir mengering. Napasnya terkadang ditahan untuk mengurangi bau busuk yang sangat menyengat. Perlahan tapi pasti, dirinya ke luar dari persembunyiannya setelah melihat keadaan sekelilingnya telah benar-benar aman.
"Sebaiknya aku segera pergi dari sini. Jangan sampai tanganku terkena infeksi, apalagi tanganku ini patah," gumamnya meringis melihat tangannya yang sakit. "Brengsek! Sialan! Akan aku balas orang yang telah mematahkan tanganku ini! Tunggu saja pembalasanku," gumamnya kesal.
Setelah melihat keadaan benar-benar aman, orang tersebut pergi dengan tertatih. Pandangannya dengan awas melihat kesekeliling lorong yang terlihat gelap dan becek.
Di luar lorong, di depan rumah tua yang lebih tepatnya terlihat seperti sebuah Rumah Sakit yang sudah lama tidak dipakai. Terlihat pria yang berperawakan besar dengan dada bidang dan kulit sawo matang sedang berjalan mondar mandir di depan anak buahnya sambil memegang senjata api pendek.
Tidak lama kemudian terdengar suara langkah kaki datang mendekat dari arah kegelapan menuju ke kumpulan orang tersebut.
"Bos!" Panggil pria bertubuh pendek langsung berdiri di depan pria yang sedang mondar mandir kemudian diikuti Bram dan pria berkulit hitam.
Yang dipanggil Bos langsung menoleh ke arah mereka bertiga. "Di mana dia?"
Bram dan kedua temannya langsung menunduk begitu tatapan Bosnya menghujam tepat di kedua bola mata mereka.
"Di mana dia?" Tanya Bos dengan suara yang lebih keras.
Bram dengan memberanikan diri menjawab pertanyaan Bosnya. "Kami sudah berusaha mencarinya tapi ---."
Plaaak!
Sebuah tamparan mendarat di pipi Bram sehingga membuat tubuh Bram oleng kesamping dengan wajah menghadap ke kiri. Dalam hitungan detik rasa sakit langsung menjalar ditubuhnya, tapi sekuat tenaga ditahannya rasa sakit itu.
Kedua temannya semakin menundukkan kepala begitu melihat Bram ditampar begitu kerasnya, tidak berani melihat ke depan apalagi melihat Bosnya.
"Dan kamu, Jiger. Di mana dia?" Tanya Bosnya pelan, tapi berhasil membuat bulu kuduk Jiger merinding. "Di mana tawananku?"
"Dia, dia ---," Jiger menelan ludahnya yang kelu, suaranya terasa tercekat ditenggorokan yang mendadak terasa kering.
"Apa Jiger?" Tanya Bosnya pelan dengan suara berat. "Bicara yang jelas!"
"Aku, aku, di dia dia ---," Jawab Jiger gagap semakin gugup tidak tahu harus bicara apa.
Plaaak!
Sebuah tamparan keras mendarat dipipinya yang cabi sehingga membuat tubuhnya limbung ke samping.
"Bicara yang jelas!" Teriak Bosnya.
Jiger mengusap pipinya yang sakit dan kembali berdiri dengan tegak di depan Bosnya.
Tatapan Bos beralih ke arah pria yang berkulit hitam. Postur tubuhnya hampir sama dengan dirinya. "Lalu, bagaimana denganmu? Di mana dia, James?"
James memberanikan diri menjawab pertanyaan Bosnya. "Aku sudah mencarinya kemana-mana tapi tidak ada Bos."
"Lalu?" Tanya Bosnya pelan.
"Aku sudah berusaha Bos, tapi tetap tidak ada. Sudah ke semua tempat aku mencarinya, tapi tetap tidak ada," jawab James dengan percaya diri karena melihat Bosnya sudah tenang, tapi tiba-tiba sebuah tendangan mendarat diperutnya.
Buughh!
"Aaa!" James menjerit dengan tubuh yang jatuh tersungkur sambil memegang perutnya yang baru saja terkena tendangan dari Bosnya.
"Kalian semua tidak berguna!" Teriak Bosnya tanpa mempedulikan James yang meringis kesakitan tersungkur di tanah yang basah.
Semua yang berdiri semakin menundukan kepala, tidak berani menatap Bosnya. Mereka sangat tahu, betapa murkanya Bos jika pekerjaan yang ditugaskan kepada mereka tidak berhasil. Bahkan pernah, teman mereka ditembak langsung di depan mata kepala mereka sendiri, karena tidak berhasil membawa orang yang telah mencuri dokumen di perusahaan Bosnya.
"Aku telah membayar kalian dengan begitu mahal, tapi lihat hasilnya? Mencari seorang pria yang sudah sekarat saja, kalian tidak becus!" Teriaknya kencang dengan wajah yang memerah dan mata yang penuh amarah.
"Kalian tahu? Siapa yang telah berhasil melarikan diri itu, hah!" Tanya Bos berteriak menatap tajam wajah anak buahnya satu per satu dengan tangan memegang erat senjata api.
Tidak ada yang berani menjawab, semuanya menunduk menatap tanah basah yang ada di bawah kaki mereka.
"Orang yang berhasil kabur itu, tangan kanan dari musuhku! Dia Arsen Vernon, tangan kanan musuhku. Aku sudah bersusah payah menjebaknya agar dia masuk perangkapku tapi kalian menghancurkan rencanaku! Fuck!" Teriak Bos.
Mendengar teriakan Bosnya yang sangat kencang, membuat semua anak buahnya semakin takut apalagi melihat senjata api kecil yang sedang dipegang Bosnya mengarah kemana-mana. Bagaimana kalau tiba-tiba pistol itu meletus menembus salah satu tubuh mereka?
"Aku ingin kalian semua mencarinya sekali lagi. Telusuri semua lorong dan ruangan dalam bangunan tua itu. Aku yakin, tawananku belum jauh dari tempat ini! Cepat!" Teriaknya menatap wajah anak buahnya yang kurang lebih ada dua puluh orang itu.
