Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Langkah yang tak memiliki bayangan

Langkah-langkah itu makin dekat. Tapi tak ada siapa pun di belakangnya.

Aldrin mematung. Napasnya pendek. Suara kayu yang berderak di bawah kakinya tak lagi datang dari dirinya sendiri. Ada yang lain berjalan bersamaan dengannya,langkah yang tak memantul suara tubuh.

Pelan-pelan ia menoleh.

Kosong.

Tapi jembatan di belakangnya... berubah.

Tidak seperti sebelumnya.

Kayunya bukan lagi papan lapuk. Sekarang, setiap papan bertuliskan nama-nama orang. Nama-nama yang familier. “Ayu,” “Raka,” “Novita,” “Tasya”—semua teman sekolahnya.

Dan di ujung jembatan itu, ada satu papan kayu terakhir... bertuliskan namanya Aldrin.

Matanya melebar. “Apa maksudnya ini...?”

Suara langkah kembali terdengar. Lebih keras. Lebih banyak. Seperti... orang berbaris.

Aldrin membalikkan badan dan terperanjat.

Mereka berdiri di sana.

Sosok-sosok hitam, tanpa wajah, namun memakai seragam sekolahnya. Mereka diam, berdiri rapi di atas jembatan, semua menghadap ke arah Aldrin.

Salah satu dari mereka maju. Ia mengangkat tangan... dan menunjuk ke papan nama bertuliskan "Aldrin".

Lalu berbicara, tanpa mulut. Suaranya menggema di udara kosong:

“Kamu yang membuat kami menyeberang. Sekarang... giliranmu.”

Seketika semua sosok bergerak. Berjalan ke arahnya.

Aldrin panik. Ia berlari ke depan. Tapi jembatan itu berubah lagi. Panjangnya tak terbatas. Di sisi-sisi jembatan, tangan-tangan dari dalam air menjulur ke atas, mencoba menariknya turun.

Salah satu tangan nyaris menggenggam pergelangan kakinya. Ia menendangnya dan terus berlari.

Tiba-tiba, sebuah lonceng berdentang.

DING!

Langit berubah merah darah.

DING!

Kabut terbelah.

DING!

Jembatan itu tak lagi kayu. Tapi daging. Denyutnya terasa di bawah telapak kakinya.

Dan saat ia berhenti karena tak tahan dengan bau amis dan lengket, sesosok pria tua muncul di hadapannya.

Penuh luka. Mulutnya dijahit. Tangannya membawa paku besar.

Ia merogoh saku jubahnya dan melempar sesuatu ke kaki Aldrin.

Sebuah foto.

Aldrin menatapnya. Tangannya gemetar.

Itu adalah dirinya sendiri, sedang berdiri di jembatan ini... tapi di belakangnya, ada sosok yang mirip dirinya... mendorong seseorang jatuh ke bawah.

Wajah orang yang jatuh itu... adalah Raka, sahabatnya yang hilang dua tahun lalu.

Aldrin terduduk. “Tidak mungkin... aku nggak pernah... aku nggak ingat...!”

Pria tua itu menunduk.

Lalu berkata untuk pertama kalinya, lewat robekan jahitan mulutnya:

“Jembatan ini hanya muncul... untuk mereka yang punya utang darah.”

Jembatan mulai runtuh, dan dari bawah, suara-suara jeritan korban muncul: “Ajak dia ke sini! Ajak dia ke sini! Kita belum selesai!”

Aldrin harus memilih antara melompat ke bawah dan menghadapi kebenaran yang ia tekan selama ini, atau lari ke arah yang tak dikenal, membawa beban yang tak pernah ia ingat... atau sengaja dia lupakan.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel