Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Jembatan kedua

Sinar matahari menyentuh wajah Aldrin.

Ia terbangun di tempat tidur. Kamar. Meja belajar. Poster horor di dinding. Semua terasa… normal.

Jembatan. Darah. Suara-suara. Itu semua hanya mimpi?

Ia duduk. Kepalanya berat. Punggungnya basah oleh keringat.

Jam digital menunjukkan pukul 06:66.

Ia mengernyit.

Tunggu... enammmm enam?

Jam itu tiba-tiba berdering keras, seperti alarm darurat, lalu meleleh di hadapannya. Bunyinya berubah menjadi suara derit jembatan yang familiar:

CREAAAAAKK.

Aldrin membeku. Ia menoleh ke jendela dan tidak melihat halaman rumah. Yang ada hanya... jembatan kayu, menjulur dari jendelanya ke kegelapan yang tak berujung.

Ia segera bangkit. Kamar ini bukan kamarnya. Poster-poster di dinding berubah menjadi gambar dirinya sendiri yang terikat, berdarah, dengan mata melotot.

“Tidak. Tidak! Aku sudah bangun! Ini mimpi!” teriaknya, panik.

Lalu suara lirih dari bawah tempat tidur:

“Kau sudah bangun... di tempat yang salah.”

Aldrin jongkok perlahan. Tangannya gemetar saat ia mengangkat seprei.

Tak ada siapa-siapa.

Tapi tempat tidur itu mendadak menghisapnya.

Ia jatuh.

Lama. Seperti dilempar ke lubang tak berdasar.

Dan saat ia membuka mata... ia berdiri di atas jembatan lain.

Jembatan ini lebih baru, lebih bersih. Ada cahaya matahari. Tapi... semua terasa palsu.

Di ujung jembatan berdiri seseorang. Seorang anak kecil, mengenakan seragam SD. Berdarah.

Anak itu menatap Aldrin.

“Siapa kamu?” tanya Aldrin.

Anak itu tidak menjawab. Ia hanya menunjuk ke dada Aldrin.

Aldrin melihat ke bawah—dan menyadari, ia mengenakan baju yang sama dengan anak itu. Seragam SD penuh noda darah kering.

“Kau ingat sekarang?” tanya si anak.

“Tidak... Aku bukan kamu!”

Anak itu mengangguk kecil. “Benar. Kamu bukan aku. Kamu adalah bayangan yang diciptakan agar aku bisa tidur tenang. Tapi kau terlalu penasaran. Sekarang, kita berdua terjebak di sini.”

Aldrin mulai mundur.

Tanah di bawah jembatan mulai merekah. Suara-suara berbisik naik dari celah. Potongan tubuh, seperti kepala tanpa mata, tangan dengan kuku panjang, lidah-lidah menjulur dari kayu.

“Tidak ada dunia luar,” kata anak itu. “Jembatan ini tak pernah bisa dilewati. Karena jembatan ini bukan penghubung.”

“Ini adalah penjara.”

Aldrin berteriak dan berlari ke arah seberang.

Tapi setiap langkah yang ia ambil, ujung jembatan makin menjauh. Seperti bergerak mundur. Ia berlari lebih cepat, napasnya memburu, tapi suara di belakangnya mengejar:

“JANGAN LARI DARI DIRIMU SENDIRI!!”

Tiba-tiba, ia tergelincir.

Dan saat tubuhnya jatuh ke bawah, ia melihat... ada ratusan versi dirinya, terjebak di sela kayu-kayu jembatan. Semuanya berwajah putus asa. Menangis. Beberapa tertawa. Beberapa mencoba merobek dirinya sendiri.

Sebelum tubuhnya menyentuh dasar, suara itu berkata:

"Selamat datang di lapisan kedua, Aldrin. Baru dua dari tujuh jembatan."

**

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel