Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Langkah yang susah kembali

Namanya Aldrin. Seorang remaja biasa dengan obsesi tidak biasa, ia terobsesi dengan kematian.

Bukan dalam arti ia ingin mati, tidak. Ia hanya… penasaran. Tentang dunia setelah napas terakhir, tentang tempat-tempat yang konon dihuni oleh roh penasaran. Tentang jembatan tua di Desa Lamuru, yang katanya tidak pernah mengantarkan siapa pun ke seberang.

Jembatan itu bukan sekadar kayu tua. Konon, dibangun di atas tanah bekas pemakaman massal, tempat mayat-mayat para pemberontak dibuang begitu saja saat zaman penjajahan. Mereka tidak dimakamkan. Mereka dikutuk.

Dan jembatan itu? Mereka bilang… tumbuh dari tulang mereka.

Aldrin berdiri di hadapan jembatan itu. Hari sudah hampir magrib. Kabut dari rawa mulai merambat ke kakinya. Angin mati. Hutan di belakangnya mendadak sunyi, terlalu sunyi untuk jadi alam.

Ia menyalakan perekam suara di ponselnya.

“Eksperimen hari pertama. Aku, Aldrin Wiratama, akan menjadi orang pertama dalam 30 tahun yang menyeberangi Jembatan Kayu Berdecit. Aku akan buktikan semua itu cuma cerita karangan.”

Ia melangkah.

CREEAAAKKKK.

Langkah pertama. Lantai jembatan seolah mengerang. Ia berhenti. Nafasnya memburu. Tapi ia tersenyum.

Langkah kedua. CREK. Lalu ketiga. CREAAAKKK. Jembatan mulai gemetar.

Kemudian ia sadar... langkah yang terdengar bukan cuma dari dirinya.

Dari belakang... ada suara yang mengikutinya. Langkah yang sama. Tapi tidak ada siapa pun. Ia menoleh cepat, hanya menemukan kabut pekat dan... sebentuk bayangan yang terlalu tinggi untuk manusia.

Ia menyalakan senter. Sinar bergetar karena tangannya gemetar. Tapi senter hanya menangkap tiang kayu, jaring laba-laba... dan setitik darah di papan kayu.

“Apa...?”

Darah itu segar.

Lalu terdengar suara di telinga kirinya. Jelas. Lirih. Dingin.

“Kamu kembali.”

Aldrin menoleh. Tak ada siapa pun.

Tiba-tiba, semua suara menghilang. Bahkan detak jantungnya sendiri terasa hening. Dunia seperti dimatikan. Ia mencoba bergerak, tapi tubuhnya berat. Sangat berat.

Ia menunduk.

Tangannya… sudah tidak di atas papan kayu. Tapi menancap di... daging?

Daging yang berdetak.

Jembatan itu... berubah. Kayu-kayunya meneteskan darah. Paku-paku mencuat seperti tulang. Suara tangisan dan teriakan memenuhi udara.

Ia ingin lari, tapi jembatan menggeliat di bawahnya. Papan-papan mencengkeram kakinya seperti tangan manusia.

“LEPASKAN!!” teriaknya.

Tiba-tiba, sebuah wajah muncul dari papan di bawahnya. Wajah perempuan muda dengan mata putih seluruhnya. Bibirnya sobek, namun ia tersenyum.

“Kau sudah berjanji kembali.”

Aldrin membeku.

“Ap—apa maksudmu?”

Perempuan itu mendesis, “Dulu, kau yang jatuh ke sini. Kau berjanji kembali saat tubuhmu baru saja mati.”

Aldrin menggeleng panik. “Aku belum pernah ke sini! Aku belum pernah—”

Suara itu memotong, menjadi banyak, bersahutan: “Kau mati di sini. Bertahun lalu. Ini tubuh barumu.”

Ia melihat ke tangannya. Jemarinya mulai membusuk. Kukunya hitam. Bajunya… bukan lagi yang ia pakai tadi. Tapi baju sekolah dasar penuh darah, robek di bagian dada.

Aldrin teriak.

Sebuah kilatan memori menerpa di dirinya saat dia masih kecil, bermain di sekitar jembatan, lalu terjatuh ke bawah... lalu tenggelam... lalu gelap...

Dan kini, ia kembali. Tapi bukan sebagai penjelajah.

Ia adalah bakal menjadi bagian dari jembatan kayu.

*****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel