1. Perjanjian Dalam Pernikahan
Siapa yang sangka kalau masa sulit seseorang akan datang secepat dan serumit itu. Semua tampak tenang dan nyaman dalam satu tempat yang disebut dengan rumah. Namun, nyatanya tempat nyaman itu sudah menghilang entah ke mana.
Di depan para tamu undangan, Amanda berdiri dengan tubuh lesu dan gemetaran. Kain putih seperti jaring yang tersampir indah di atas rambutnya yang tersangggul, tidak serta merta menemani riasan cantik di wajah itu. Sesempurna apa pun penata rias mempercantik wajah, nyatanya tidak mampu membuat sang pemakai tersenyum.
Gaun putih dengan ekor panjang, Bunga indah dan harum dalam genggaman, hal itu juga seperti sia-sia. Wajah tampak murung dan hanya secuil senyum tipis berharap diri akan aman sampai acara selesai.
Amanda melihat pria yang sedari tadi berdiri di sampingnya sedang bicara dengan salah satu tamunya. Dia berbicara sambil sesekali tertawa. Hal tersebut membuat Amanda ingin sekali mencakar wajah itu.
“Kenapa aku harus ada di sini?” pertanyaan itu melintas di otaknya begitu saja. Dua kelopak matanya yang sudah mulai lelah menopang bulu mata, sekarang masih menatap sinis ke arah pria yang sudah berstatus menjadi suami sekitar setengah jam yang lalu.
Ketika mata itu terus mengamati, Amanda tidak tahu kalau ada seseorang yang sedari tadi sudah mengawasinya. Orang itu perlahan mendekat sambil memegang gelas berkaki yang masih berisi minuman.
Tepat ketika berada di samping Amanda, Wanita itu menaikkan satu ujung bibirnya. “Apa yang kamu pertaruhkan sampai William mau menikahi kamu?”
Wajah itu menoleh dengan cepat. “Apa maksud kamu?”
Bibir itu sekarang menyungging senyum usai menyeruput minuman. Dia dengan mata berlensa biru, mengamati Amanda mulai dari atas hingga ke bawah. “Kamu pendek, wajah pas-pasan. Aku yakin William tidak akan mau menikahi kamu tanpa alasan.”
Kening Amanda perlahan turun. Dia tidak mengenal siapa Wanita yang mengajaknya bicara ini. Dia ingat terakhir kali melihatnya ketika William sedang bermain golf di belakang rumah.
“Apa kamu ibunya?” tanya Amanda.
“Apa maksud kamu?” Jeselyn menaikkan alis dan menaikkan dagu. “Kamu pikir aku sudah tua?”
“Tidak, aku hanya heran karena orang yang ingin banyak tahu seperti kamu, biasanya adalah seorang ibu.”
“Kamu!”
Amanda dengan cepat menarik diri. “Aku tidak ada urusan dengan kamu. Mengenai alasan apa William menikahiku, kamu bisa tanya langsung padanya.”
Malam pernikahan terasa panjang untuk Amanda hingga membuat dia masuk ke dalam kamar sebelum acara usai. Dia masuk ke dalam kamarnya yang selama satu bulan ini ia tempati ketika tinggal di rumah William.
“Di sana tidak ada yang ingin bicara denganku. Untuk apa aku tatap berdiri di sana seperti orang bodoh?” dengkus Amanda sambil melepas paksa sepatunya hingga terlempar ke segala arah.
Amanda menaikkan gaun pengantin, lalu ia melompat ke atas ranjang. Dia berbaring telentang melihat langit-langit.
“Apa yang terjadi setelah ini?” gumam Amanda.
Dia mencoba mengingat kembali bagaimana dia bisa berada di sini karena hal apa. Mungkin tidak ada yang tahu, tapi perlahan juga mereka-mereka akan mengetahui karena rasa penasaran yang tinggi. Selama satu bulan berada di rumah ini, Amanda tidak bicara sedikit pun dengan William. Melihat pria itu berada di rumah juga jarang. Kesehariannya, Amanda hanya mengobrol dengan para pelayan yang jika ditanya mengenai William tidak ada yang berani menjawab.
“Dia seperti seorang penguasa di rumah ini,” gumam Amanda lagi. “Siapa pun yang ada di rumah ini patuh padanya. Sebenarnya, apa tujuan dia menikahiku?”
Cklek!
Brak!
Pintu kamar terbuka dengan cepat sampai menabrak dinding. Amanda yang tengah berbaring, seketika mengangkat badan dan terduduk. Lalu, ketika melihat siapa yang berdiri di ambang pintu sekarang, dengan cepat sesuatu di dalam leher Amanda bergerak naik turun dengan cepat. Dia segera bergeser dan menurunkan kedua kaki lalu duduk di tepi ranjang dengan tubuh menciut.
“Siapa yang menyuruh kamu pergi sebelum acara pesta selesai?”
Pertanyaan itu membuat Amanda kembali menelan ludah. “Te-tentang itu … aku—”
“Bawa dia ke kamarku!” perintah William pada pria yang berdiri di belakangnya.”
“Baik, Tuan.”
Sementara William berbalik badan dan pergi, Broery masuk ke dalam kamar tersebut. Dia mendekati Amanda dengan tetapan dingin.
“Silahkan, Nona.” Dia menepi memberi jalan untuk Amanda.
Amanda tidak mau banyak tanya atau membantah sekarang. dia mengangkat gaunnya cukup tinggi sampai bagian tumit terlihat lalu kakinya mulai melangkah. Dalam pikirannya sekarang, dia ingat betul ketika ayah meninggalkannya di rumah ini waktu itu. Dia berada dalam satu ruangan dengan William dan berontak supaya bisa pergi, tapi dengan lantang William berkata kalau akan menghancurkan keluarganya sampai tak tersisa jika dirinya tidak menurut.
Sekejam apa ayahnya waktu itu, dia masih ingat dengan satu adik perempuannya yang sangat ia sayang. Dia tahu bulan lalu mereka hidup dengan susah karena ayah harus kehilangan perusahaan dan meninggalkan banyak hutang. Sampai … ah, sudahlah, Amanda tidak mau lagi mengingat hal itu.
Ketika sampai di depan pintu, perasaan Amanda mulai tidak tenang. Dia berdiri dengan tubuh gemetaran membayangkan apa yang ada di balik pintu tersebut.
“Silahkan masuk, Nona. Tuan William sudah menunggu Nona di dalam.”
Kalimat itu terdengar rendah, tapi ekspresi wajah Broery membuat Amanda tidak nyaman. Selain berkulit coklat gelap, wajah Broery sangat jika sedang menatap.
Broery membuka pintu itu lebar-lebar membiarkan Amanda masuk. Tidak ada yang mengerikan ketika dua kakinya masuk ke dalam kamar tersebut. Seperti kamar mewah pada umumnya, membuat pikiran Amanda sedikit teralihkan.
Namun, ketika satu langkah lagi dia mendekat, mendadak Amanda memikirkan sesuatu yang mengerikan. Dia teringat tentang sahabatnya yang baru menikah sekitar tiga bulan yang lalu. Banyak hal yang sahabatnya itu ceritakan mengenai malam pertama sampai membuat Amanda tiba-tiba bergidik merinding.
“Tidak usah berpikir terlalu jauh!” hardik William tiba-tiba. saat itu juga Amanda tersadar dari lamunannya.
Amanda menelan ludah lalu menunduk menyembunyikan wajahnya menahan malu. Sial! Pikiran dia begitu jauh.
Sebelum kembali bicara, William meminta Broery mengambil sebuah berkas di dalam laci. Berkas berupa lembaran kertas itu sudah Wiliam siapkan jauh-jauh hari. Begitu lembaran itu sudah berada dalam genggaman, Broery menyerahkannya pada Amanda.
“Baca itu, dan cermati. Aku harap kamu paham dan langsung mengerti,” kata William dengan tegas.
Amanda menerima lembaran itu dengan lalu dengan hati-hati membukanya. Dua bola mata yang bulat itu terlihat mulai bergerak ke samping lalu turun mengikuti setiap kata demi kata yang tertulis di sana. Dua kening yang datar, perlahan berkerut dan ekspresi wajah tampak aneh.
“Apa maksudnya, Tuan?” tanya Amanda kemudian.
William membuang napas kasar lalu duduk menyilang kaki di atas sofa. Amanda yang masih berdiri, segera berputar menghadap ke mana William duduk sekarang.
“Aku sudah menulisnya dengan sangat jelas di sana. Ayahmu menjual kamu padaku. Aku berhak melakukan apa pun padamu, sementara kamu wajib mematuhi apa yang aku perintah. Kita menikah jangan pernah berpikir kalau ini sungguhan. Aku hanya melakukan ini untuk mendapatkan kepercayaan kakekku saja. Lakukan apa yang sudah tertulis dalam berkas itu, maka kamu dan keluarga kamu akan aman. Kamu tidak mau mereka hidup mengembel di jalanan kan?”
Amanda tidak tahu harus berbuat apa sekarang. dia hanya tahu kalau sekarang terikat dalam sebuah hubungan yang semua sudah diatur dan tertulis dalam sebuah kertas yang seluruh isinya harus ia patuhi setelah sesudah tanda tangan yang ia gambar melekat dalam kertas itu.
***
