Bab 14
"Bu...."
"Ada yan mau Arya tanyakan" ucapku
"Apa?" jawab Ibu
"Sebenarnya ada apa to Ibu sama Romo?" tanyaku tiba-tiba
Hening sesaat.... kuarahkan tatapanku ke wajah Ibuku. Ah betapa bodohnya aku ini, kenapa aku menanyakan hal ini kepada ibu, benar-benar merusak suasana. Tiba-tiba Ibu menghela nafas yang panjang dan memulai pembicaraan.
"Ibu aka cerita kepadamu, tentang semua dari awal..." jelas ibu dan aku balas dengan anggukan kecil.
Ibu kemudian memulai cerita dari awal bagaimana Ibu bisa menikah deng Romo. Ibu bercerita mengenai masa mudanya, sahabat-sahabatnya dan juga keluarga besar Ibu yang berdarah ningrat. Dan semua itu dimulai dari ....
(Pada cerita ini, Aku adalah Diyah Ayu Pitaloka, karena cerita dibawah ini adalah cerita masa lalu Diyah Ayu Pitaloka)
Sejuk alam di kaki gunung yang menjulang tinggi di daerahku. Namaku Diyah Ayu Pitaloka, aku anak ke dua dari tiga bersaudara. Aku mempunyai seorang kakak bernama Andi Pitawarno Sucipto, dan seorang adik bernama Ratna Ayu Pitaloka. Ayahku bernama Warno Sucipto, seorang ningrat dengan darah Jerman mengalir ditubuhnya sedangkan Ibuku adalah orang jepang asli, beliau bernama Asasi Kutone, yang kemudian beralih nama menjadi Ayu Pitaloka. Semua anak dari Ayah dan Ibuku mempunyai nama Pita karena ini adalah permintaan Ibu yang sebenarnya ditolak oleh Kakekku tapi pada akhirnya kakekku menyetujuinya melihat begitu gigihnya Ayahku memaksa Kakek. Karena memang seharusnya yang tercantum di nama kami adalah nama dari Ayahku bukan Ibuku, sesuai dengan adat yang berlaku di daerah ini.
Aku dan kakakku mempunyai kesaamaan dengan ibu, mempunyai kemiripan seperti orang jepang sedangkan adikku Ratna lebih mirip Romo-ku yang terlihat ke-Jermanannya. Aku dan kakaku terpaut 4 tahun, dan dengan adikku hanya terpaut 2 tahun. Aku dibesarkan di keluarga yang sangat erat dengan kebudayaan didaerahku, dan harus selalu bisa menjaga tata krama di dalam maupun diluar rumah.
Ayahku merupakan orang yang sangat berpengaruh di daerahku tinggal. Beliau menjabat sebagai Kepala Daerah di Daerahku. Semua orang segan dan hormat terhadap Ayahku, ditambah lagi Ayah bukanlah orang yang sombong, beliau sesosok pemimpin yang rendah hati dan selalu bergaul dengan semua lapisan masyarakat. Ayah tidak pernah membeda-bedakan orang disekitarnya. Kembali lagi ke aku, Sekarang umurku 15 tahun sebentar lagi masuk 16 tahun, lebih tepatnya sekarang kelas 1 SMA. Aku bersekolah di sekolah negeri yang dekat dengan rumahku, sekolah ini aku pilih karena selain dekat dengan rumah di sekolah ini dikenal sebagai sekolah untuk rakyat. Ya, karena SMA-ku ini semua lapisan masyarakat bisa sekolah di tempat ini, dibandingkan dengan SMA-SMA yang lain yang selalu ada cap 'Cuma buat orang kaya' dan aku paling tidak suka dengan perbedaan. Kakakku kuliah di perguruan tinggi negeri mengambil Jurusan Kedokteran sedangkan adikku masih kelas 3 SMP yang berdekatan dengan SMA-ku sama sepertiku Adikku memiliki alasan yang sama denganku ketika memilih SMP-nya. Di sekolah aku selalu menempatkan diriku sebagai wanita biasa, sekalipun aku berdarah ningrat ataupun dari keluarga kaya karena aku ingin berteman dengan semua anak di sekolah ini, entah itu kaya-miskin, hitam-putih, sama seperti Ayahku semua ingin aku jadikan teman begitupun Adikku di Sekolahnya.
Dengan cara bergaulku, aku memiliki banyak teman-teman yang sangat sayang kepadaku. Bahkan aku merasa aku memiliki keluarga yang sangat besar di Sekolah ini. Yang aku suka adalah mereka semua menganggapku sebagai orang biasa ketika berada di sekolah sehingga untuk bisa menyatu dengan mereka itu adalah hal yang sangat mudah. Di SMA-ku, Aku memiliki seorang sahabat yang sejak SMP bersamaku, bernama Karima aku memanggilnya Ima, dia orang yang supel dan enak di ajak curhat. Disisi lain Aku sangat akrab dengan semua teman-temanku bahkan kami selalu berbagi dengan apa yang dimiliki. Tapi kalau masalah cowok gandengannya dia jarang cerita ke aku. Cowok? bagaimana denganku? Aku belum berpikir untuk pacaran.
Waktu itu adalah waktu ketika aku pulang sekolah, aku mendapati di depan rumahku berjajar-jajar mobil. Heran aku, ada acara apa? Masih berbaju sekolah aku masuk kerumah dengan merundukan badan, kulihat kanan-kiriku banyak sekali tamu dan mereka tersenyum kepadaku. Ketika aku sampai di ruang tamu kulihat romo sedang bercengkrama dengan seorang laki-laki muda beserta perempuan dan laki-laki lain yang sebaya dengan orang tuaku, mungkin bapak Ibunya. Tampak Ayah dan Ibuku juga....
"Nduk, kemari" ucap Romoku, aku pun duduk diantara Ibu dan Ayahku.
"Perkenalkan ini namanya Mas Mahesa Wicaksono, dia melamarmu dan dia yang akan jadi suamimu" lanjut romoku. Aku kaget setengah mati, kulihat wajah Ayahku masih santai ketika mengucapkan kata-kata itu.
"Tapi Romo, Diyah-kan masih sekolah, masa harus nikah muda" balasku.
"Ya ndak secepat itu nduk, maksudnyaaaa....nanti setelah kamu lulus baru kamu menikah" jelas Romoku.
"Tapi aku masih ingin kuliah Romo" lanjutku
"Itu bisa di atur..." jawab Romoku tenang.
Aku masih tertegun, kaget dengan semua hal ini. Kulihat laki-laki itu tampak mencoba tersenyum manis kepadaku. Aku pun hanya tertunduk tak mau aku membalas senyumannya. Laki-laki itu, yang akhirnya aku tahu memiliki tinggi lebih pendek dari aku, sedangkan tinggiku di saat ini sudah 160 cm (ingat pada sambungan-sambungan sebelumnya, Arya hanya mengira-ira tinggi Ibunya). Umurnya 25 tahun, lebih tua 5 tahun dari kakakku. Kulitnya gelap menuju kehitam , wajahnya tidak terlalu ganteng, dibandingkan dengan Ayah, Kakakku dan teman-teman sekelas, JAUH!
Aku sebenarnya tidak tahu alasan Romo, menerima lamaran itu walaupun pada akhirnya aku tahu. Aku berada diantara mereka untuk bisa mendapatkan alasan utama kenapa Ayah menerima laki-laki itu. Dan akhirnya pembicaran antara kedua orang tua-ku dan kedua orang tua Mas Mahesa menjelaskan yang ternyata selama ini kakekku sudah membuat perjanjian dengan kakek Mas Mahesa untuk menikahkan cucunya. Aku tidak bisa mengelak dan aku harus menurutinya. Walaupun sebenarnya Ibuku tidak pernah setuju tapi apa mau dikata Ibu adalah wanita yang sangat patuh kepada Ayah. Dan akhirnya pada hari itu juga aku ditunangkan dengan Mas Mahesa.
Keesokan harinya aku bercerita kepada Retno, dia hanya menggeleng-gelengkan kepala. Dia terus menyemangatiku, sudah menjadi kebiasaan retno membuat sebuah kata-kata semangat yang selalu membuatku tersenyum. Berita ini pun sampai ke teman-teman sekelasku, mereka bukannya meledekku tapi malah menyemangatiku. Aku bangga mempunyai mereka semua, semua teman-temanku selalu menjagaku. Bahkan ketika aku ditemui oleh Mas Mahesa di sekolah teman-temanku selalu berada di sampingku layaknya body guard.
Kini umurku sudah genap 16 tahun lebih satu bulan. Dua bulan setelah acara lamaran itu berlangsung dan selama itu pula aku selalu dan selalu mencoba untuk mencintai tunanganku ini. Hingga pada hari sabtu Mas Mahesa mengajakku kencan, aku sebenarnya bingung menerima atau tidak. Karena biasanya setiap kali aku ditemui Mas Mahesa aku selalu ditemani banyak temanku. Akhirnya aku menelepon teman-temanku untuk di temani tapi karena mendadak mereka tidak bisa, mau ndak mau ya aku akhirnya harus mau karena tahu sendirilah Ayahku, selalu memaksaku.
Dengan Kaos dan Rok sepanjang lututku sembari membawa tas kecil yang biasa aku isi dengan dompet dan botol air mineral, Aku diajak Mas Mahesa dengan menggunakan mobil kepantai katanya ya untuk mencari udara segar. Dipantai layaknya orang pacaran kami bergandengan tangan, berjalan menyusuri pantai hingga matahari mulai terbenam. Kami pun pulang
Baru saja berjalan kurang lebih 1 km tiba-tiba duarrrrrrrrrrrrrr..... ban mobil layaknya suara letusan tembakan.
"Ada apa mas?" tanyaku kaget
"Oh ini bannya bocor dek, sudah tenagng saja" katanya, yang kemudian dia keluar melihat ban yang bocor tersebut.
"Dek ini lama, mungkin baru besok kita bisa pulang, bagaimana kalau kita menginap di losmen itu saja?" katanya dari kaca jendela mobil sambil menunjuk losmen yang berada tepat di sampingku. Kenapa juga ada losmen disini?
"Aduh mas, bagaimana bisa, aku tidak bisa mengabari kedua orang tuaku, aku naik angkot atau taksi kalau ada mas" balasku, hand phone pada saat itu langka yang punya.
