Bab 9 Selalu Haznu
Aku bolos kuliah.
Langkahku membawaku kembali ke Haznu.
Daun daun berguguran, menghujani setiap langkahku sejak aku memasuki jalan disamping rumah sakit. Tepat disamping gerbang St. Boromeus aku menoleh ke samping kanan. Diseberang gerbang ada sebuah warung tenda yang biasa menjadi tempat Rae dan kawan kawannya berkumpul. Warung itu kosong, hanya pemiliknya yang kulihat menatapku yang menghentikan langkahku didepannya dari balik etalasenya. Suatu kebetulan kalau tongkrongan kami berdekatan seperti ini. Tapi aku sedikit menyesali kebetulan ini. Mengingat Rae menganggapku mengganggu kehidupannya. Dan Rae pasti tahu aku sering kemari. Rae juga pasti tahu aku kemari lagi hari ini. Pria itu pasti memberi tahunya.
Meski seperti itu kenyataan yang aku tahu, aku tak bisa berhenti datang kemari. Teman temanku yang aku cari disini bukan Rae. Dan aku tak ingin berhenti menemui mereka hanya karena Rae. Mereka menganggapku ada, dan peduli padaku. Sementara Rae tidak. Dan aku tak mau kehilangan apa yang kumiliki karena apa yang tak kumiliki.
Aku melanjutkan langkahku. Masih sekitar 200 meter sampai aku tiba di warung tenda oma. Tapi tubuh tambunnya sudah aku lihat dari sini sedang duduk diatas motornya, dengan dua orang pria yang membelakangi arahku berdiri. Tapi Terios merah Lyon kulihat diseberang warung, dan Ninja Radit dibelakangnya.
“Hai hai hai!” seru oma sambil melambaikan tangannya padaku.
Masih beberapa meter lagi aku dari mereka. Aku berlari menghampiri ketiganya, dan menyapa mereka.
“Ungh!” Radit menutup hidungnya saat aku mengulurkan tanganku padanya.
Aku diserang rasa panik. Apa yang membuat Radit bereaksi padaku seperti itu, sementara Lyon dan oma memandangku keheranan. Aku mencium rambutku yang tergerai dibahu. Masih wangi shampoku yang beraroma blossom seperti biasa, dan aku juga tak mencium bau tak sedap apapun dari badanku.
“Lu kenapa?” kataku bingung.
“Lu bau, bau kekecawaan.” Radit lalu tertawa terbahak bahak.
“Kampret lu!”
“Hush!” Lyon mengusap usap kepalaku, “Jangan ngemaki sekasar itu ah, inget lu cewek.”
“Tuh anak apa maksudnya coba!”
Radit menghembuskan asap rokoknya dengan sengaja diwajahku, aku mengibaskan tangan mengenyahkan kepulan asap. Meski aku juga perokok tapi aku benci sekali jika ada yang berbuat begini padaku.
“Radit, sialan!” makiku kesal.
“Habis lu, planga plongo di sono. Lu pikir kita nggak liat apa, lu nyari dia kan?” Radit memonyongkan mulutnya.
“Ngawur.” Sengatku galak, “Ada siapa aja di dalem?” aku beralih pada oma.
“Kalo lu maksud anak anak, pada nggak ada.” Radit menyambar, oma dengan kesal menutup lagi mulutnya, “Lagian kita juga udah mau balik.”
“Lu aja kali.” Lyon menepuk topi Radit.
“Loh katanya tadi mo cabut juga.”
“Rada males nih, lagian ntar juga balik lagi.”
“Ada apaan emang entar?” tanyaku penasaran.
“Tuh, tuh!” Radit menunjuk oma, aku melirik padanya. “Minta dianter belanja buat seserahan.”
“Serius, mau ikut!!?”
Oma mengangguk, “Nanti Ima juga dateng kok.”
“Trus lu mau kemana dulu?” tanyaku pada Radit lagi.
“Kuliah dulu, skalian jemput si Ima.”
“Ampe jam berapa?”
“Sedatengnya aja lah, nggak akan lewat dari jam 3 kok. Lu tunggu aja dulu disini, jangan banyak cing cong.”
“Gua kan Cuma tanya, lu sensi banget sih ama gua.”
“Udah ah.” Sela Lyon, sementara oma ngeloyor ke belakang meja etalasenya, “Sana pergi lu Dit, bikin berisik aja.”
“Iyalah, mau ini juga!” Radit lewat didepanku, sambil lalu menarik pelan rambutku, “Cuci bersih tuh muka, biar nggak bau derita lagi.”
Radit boleh jadi orang paling iseng diantara kami semua. Tapi jangan salah, kepeduliannya paling tinggi, dia anak paling solid menurutku. Dia selalu bersedia menolong urusan apapun kalau diminta. Dan dia anak yang paling pantang bersedih. Paling jago berkelahi. Dan paling suka membuat aku marah.
Sementara Lyon, setelah oma dia yang paling bijaksana. Meskipun diantara kami Lyon paling muda kedua setelahku. Eii yang seangkatan denganku pun masih lebih tua beberapa bulan darinya. Lyon boleh dibilang sumber dana cadangan terakhir kami. Dia selalu jadi penutup kekurangan biaya acara acara having fun kami. Anak orang kaya tentu saja. Tapi tak sepenuhnya bahagia. Ibunya telah meninggal, dan Lyon punya ibu tiri. Saat papanya menikah lagi saat usianya empat belas tahun, Lyon tinggal sendiri di rumah yang dibelikan papanya untuknya, sementara papanya tinggal di Jakarta bersama istri barunya. Kecuali untuk urusan uang, mereka tak pernah berhubungan.
Lalu Ima, dia pacar Radit, sekaligus kakak kelas 3 tahun diatasnya. Ima sendiri sekarang bekerja sebagai penanggung jawab kostum disebuah teater di Bandung, juga sebagai perancang untuk sebuah butik yang berlokasi di Dago. Dia bagai induk di komunitas kami. Haya dan Sendy yang paling lama berteman dengannya. Mereka berdua seangkatan denganku. Sendy sendiri sekampus dengan Eii, berbeda fakultas. Tapi kenal dengan Eii justru setelah bergabung dengan Room. Dan Haya, adalah mantan dari mantan pacar Eii. Sedikit lucu mengingat kini justru mereka lebih dekat. Setelah Eii putus dengan pacarnya. Kami sering sekali menggoda mereka berdua sebagai korban sang ‘badut’, begitu cara kami menyebut mantan pacar Eii dan Haya.
“Eh oma.” Aku mengejar oma yang duduk dibelakang meja kassa, “Kapan sih acaranya?”
“Acara apa neng?” bunda menyela.
“Seserahannya bunda, kok tahu tahu udah mau belanja?”
“Besok Sabtu, neng ikut juga ya, Ima semua pada mau ikut.”
“Wah kuliah bunda.”
“Alah, Ga. Sehari doang, ya!?” kata oma sedikit terdengar memohon.
Aku melirik Lyon yang mengerutkan kening. Setahuku, cowok itu juga ada jadwal kuliah di hari Sabtu. Berarti dia akan bolos hari itu.
“Boleh deh, buat oma.”
Oma Inyong tersenyum senang.
“Tapi kasbon dulu.” Kataku lagi, oma menujulurkan lidahnya tapi lalu meraih sebungkus rokok dan memberikannya padaku.
“Tengkyu, oma emang paling bae deh. Boleh kan kalo gua bayarnya besok lusa?” kataku sambil tertawa tawa, aku memang tak serius mengatakannya. Oma memonyongkan mulutnya mencibirku.
“By the way, oma!” kataku lagi, “Gimana rasanya ahir masa lajang didepan mata.”
“Beuh, lebay!” kata oma, tak kalah lebay.
“Ih, pengen tahu atuh.”
“Jujur?”
“Iya lah.”
“Deg degan, dan yang paling parah, minder.” Oma menggeleng pelan.
“Kok gitu sih?”
“Yah, secara. Lu kan tahu sendiri Renata siapa, babehnya setajir apa, trus orangnya secantik apa. Kalo dibanding si eikeu, cakep kagak, kaya apalagi. Masih serasa ngimpi dapetin dia.”
“Jodoh, Oma.” Aku menekankan kata pertama untuk member kesan dramatis, “Eikeu juga mau dapetin yang mirip ngimpinya oma.” Lanjutku sambil tertawa kecil saat meninggalkannya.
Aku lalu mengambil tempat diatas motor oma, Lyon masih tetap ditempatnya sedari tadi. Ada yang aneh darinya. Sejak aku datang, Lyon sering sekali ketahuan olehku sedang menatapku aneh. Entah apa yang salah dengannya, atau mungkin denganku. Aku balas menatapnya, tapi Lyon segera buang muka.
“Gua aneh ya?” kataku sambil menyalakan rokok, “Apa lu yang aneh?” lanjutku.
Lyon bergidik. Seperti pura pura tak acuh.
“Trus kenapa lu CCP dari tadi?”
“Apaan CCP?”
“Curi curi pandang?”
“Bah!” dengusnya, “Lu aja yang geer.”
Aku mengerlingkan mata. Jelas jelas aku memergokinya beberapa kali dari tadi.
“Lu udah makan?”
Aku menggeleng.
“Mau yamin?”
“Kayaknya.”
“Kok ragu?”
“Gua makan mie mulu dua hari ini.”
“Mau makan diluar sama gua?”
“Kemana?”
“Whatever.”
“Ya, lu ngajak gua kemana?”
“Black Market?”
“Gua lagi kere nih.”
“Lebay!” Lyon mencibir, aku tersenyum. Cibirannya itu menegaskan, dia akan mentraktirku lagi hari ini, seperti biasanya.
“Oma, kita jalan dulu bentar ya.” Kataku, Lyon tersenyum tampak senang.
“Mau pada kemana?” oma menjulurkan kepalanya dari pintu roda.
“Pengen steak gurita.” Kataku asal.
Oma menggeleng gelengkan kepala. Setahuku jika oma berbuat begitu itu artinya dia berkata ‘dasar, ada ada aja!’
“Nanti jam tiga kan?” tanya Lyon, oma mengiyakan, “Oke, ntar kita kesini lagi.”
“Cabut ya oma.” Aku melompat dari atas motor.
“Hati hati!”
