Bab 8 Jalan Buntu
Seperti kegiatan rutin setiap minggunya, aku pulang juga minggu ini, seperti biasa juga menginap satu hari, dan kembali ke rumahku senin pagi untuk kuliah siang harinya. Tentu saja hal ini aku lakukan karena aku ingin sekali ada didekat Elo – putra semata wayangku yang tak bisa aku miliki seutuhnya.
Aku memejamkan mataku. Derita ini sangat memilukan. Aku baru saja tahu bahwa jadi ibu itu tak selalu sama. Ada kebahagian luar biasa saat anak itu lahir, lalu kekaguman yang juga diluar jaungkauan pikiran seorang anak saat melihat anak sendiri pada saat pertama kali. Ada rasa khawatir dan menyesal saat anak itu menangis dan sakit. Tapi terasa luar biasa perih saat dipisahkan darinya.
Aku masih dirumah. Bersama putraku dikamar yang dulunya kamarku dan kini jadi kamar Elo. Bahkan aku masih memilikinya dalam pangkuanku dan dekapanku yang seolah tak ingin berpisah sementara malaikat kecil itu tidur lelap dan merasa hangat. Tapi aku sudah merindukannya. Dan bersedih karena akan meninggalkannya lagi, dan tak mendengarnya menangis meminta susu saat aku tertidur nanti.
Aku menyeka air mataku.
Enin – begitu aku memanggil nenek – datang dan mengambil Elo dariku.
Hatiku terasa perih. Dan lebih perih lagi saat aku menguatkan diriku dan mengingatkan untuk tak boleh menangis.
Aku mengecup kepala Elo sebelum Enin membawanya kekamarnya dan menidurkannya disana, dalam pengawasannya. Lalu berpamitan padanya.
“Berangkat dulu bu.” Kataku pada ibu yang sedang mengenakan kerudungnya di depan kaca berbingkai emas yang sejak dulu ada dikamarnya.
Aku mengulurkan tanganku untuk menyalaminya. Lalu hatiku terasa perih.
Ibuku merogoh ke saku celananya, dan memberikan beberapa lembar uang ditanganku yang terulur. “Gunakan dengan baik! Jangan pakai untuk hal hal yang tak berguna sama sekali, apalagi merusak badanmu.” Kata ibu. Terlihat kemarahan dimatanya yang menatapku.
Aku tahu apa maksud ibu. Ibu memintaku untuk berhenti merokok sejak lama, tapi aku tak juga melakukannya. Tanpa bermaksud membela diri sama sekali, tapi bagiku rokok bukanlah kesalahan. Aku tak lantas jadi jablay seperti anggapan ibu dan enin karenanya. Aku justru merasa setiap batang rokok yang kuhisap itu adalah temanku yang mencegahku berbuat lebih buruk. Tempat aku mengadukan segala kegelisahanku dan meredakannya, dan menjauhi pikiran pikiran bodoh yang berakibat buruk bagiku.
“Kamu harus tahu, tak mudah bagi ibu untuk mendapatkan setiap uang yang kamu habiskan sementara papa sudah tak bekerja.” Kata ibu sedikit sengit, “Kamu sudah dewasa, seharusnya kamu tahu pasti batas kemampuan ibu yang sudah beranjak setua ini. Kamu adalah tanggungan, adik adikmu juga, sekarang ditambah oleh Elo. Sementara ibu bekerja sendirian.”
Seperti biasa aku hanya diam dan mendengarkan
“Ibu memang tak meminta kamu mengembalikan apa apa yang sudah ibu berikan untukmu, tapi setidaknya bantulah ibu. Dan jika tak bisa dengan materi yang sepeserpun belum bisa kamu peroleh dengan upayamu sendiri setidaknya tolonglah ibu dengan menjaga perilakumu. Hiduplah dengan benar! Punya tanggung jawab pada dirimu sendiri, pada anakmu sendiri.”
Skak mat.
Aku merasa benci sekali pada diriku medengar ucapan ibu.
Tapi egoku juga tak lantas menerima semua kemarahan ibu begitu saja. Kesalahanku dimata ibu adalah aku merokok. Tapi aku merasa seolah ibu mengatakan padaku untuk segera pergi dari rumah dan membawa Elo bersamaku dan berhenti jadi beban ibuku. Segera.
Andai aku bisa melakukannya. Sungguh ingin sekali rasanya aku segera lepas dari tanggungan ibu. Keluar dari rumah ibuku, berhenti mengulurkan tanganku untuk ratusan yang kudapat setiap minggunya, tak lagi melaporkan segala kebutuhanku, dan memenuhi sendiri segala biaya hidupku. Tapi aku ini apa, hanya seorang mahasiswa, tak punya pengalaman kerja, anti berorganisasi, tanpa keterampilan khusus. Dengan prestasi super biasa saja ditambah kemampuan kelas menengah. Entah pekerjaan apa yang bisa aku dapat jika pun sekarang aku mencarinya.
Andai aku tahu cara lainnya. Marketing dan penjualan jelas bukan kemampuanku, pelayanan umum juga tak cocok untuk nilai sosialisasiku, jelas prostitusi bukan bidang penangananku, juga tak cocok untuk wajah pas pasanku. Dengan penampilan ini aku bahkan terbiasa tak dilirik para pria. Sudah pasti aku tak berfikir bahkan untuk menjadi simpanan para om yang kelebihan anggaran dapur. Aku benar benar tak bisa memikirkan solusinya.
Dan pada akhirnya, tetap seperti duapuluh dua tahun hidupku sebelumnya, tetap bergantung pada uang pemberian ibu, mendengar semua nasehat juga omelan panjang dan pendeknya untukku dengan menggerutu hanya dalam hati, memasang wajah 'aku baik baik saja' mengulang perkataan 'maaf' dan 'sesal' berkali kali, lalu menangis bila ada kesempatan aku benar benar sendirian.
