Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7 Koneksi

Perjalanan pulang terasa begitu panjang. Di punclut tadi, kami membagi dua kelompok sesuai arah tempat tinggal. Dimobil Lyon yang tadinya ada Aku, Eii dan Oma sekarang hanya tinggal Aku dan Eii di tambah Sendy dan Radit yang tukar tempat dengan Oma. Karena rumahku dan Lyon paling dekat, aku jadi orang yang paling akhir diantar pulang, lagi pula Lyon dan Radit mengaku tak sanggup menyetir setelah minum begitu banyak. Sementara Eii yang kost paling jauh diantar duluan dilanjutkan pada Sendy yang tinggal tak jauh dari Eii.

“Thanks ya, Ga. Sorry lu jadi cape banget!” kata Sendy yang duduk disampingku.

“Nggak masalah, hati hati ya lu sampe kost.”

“Tenang aja, gua masih lebih waras dibanding lu kok “Kalo gua bisa, tadi paling gua yang nyetir balik. Tapi untung deh lu nggak setebleng dua orang ini.”

“Woi, pindah depan satu!” Sendy menepuk Radit yang tertidur di kursi belakangnya.

“Kalian beneran tepar ya?” kataku.

“Tau nih, terus ntar lu gimana?”

“Paling gua anterin si Kucay habis Radit. Trus ngangkot kerumah.”

“Serius lu, ini udah jam 2 lewat loh.”

“Alah angkot stand by kok.”

“Gua bisa kok!” Lyon bangun sambil mengusap wajahnya, “Sini biar gua yang bawa sekarang, lu pindah aja.” Lanjutnya padaku.

“Lu yakin?” Sendy nyengir ngeri.

Lyon mengangguk, lalu menggeleng gelengkan kepalanya dengan kencang, “Lu masih punya air putih Sen?”

Sendy merogoh kedalam tasnya dan mengeluarkan sebotol air minum yang benar benar berisi air minum dan menyerahkannya pada Lyon. Cowok itu meminumnya dua kali lalu keluar dari mobil disusul Sendy. Saat akan membuka pintu menyusul mereka berdua aku melihat Lyon menyiramkan sisa air minum diatas kepalanya. Sepertinya cowok itu belum sepenuhnya baik baik saja.

“Nggak apa apa lah, Yon. Gua aja yang bawa.” Kataku saat Lyon membuka pintu, “Lu duduk aja.”

“Nggak nggak, lu geser aja!” katanya sambil melambaikan tangannya menyuruhku bergeser, “Gua udah bisa kok, percaya deh.”

“Lu bawa anak orang tuh.” Sela Sendy.

“Kalian percaya deh, gua sanggup okeh?” aku mengiyakan dan bergeser dari kursi kemudi, “Kita balik ya Sen.” Lanjutku pada Sendy yang melambaikan tangan saat mobil melaju dan aku tak melihatnya lagi.

Suasana berubah hening. Lyon mengemudi tanpa bicara sama sekali. Sesekali aku melihat matanya terpejam, tapi caranya mengemudi masih sebaik saat dia tak mabuk. Aku mendengar Radit yang duduk dibelakang mengerang dan berbaring terlentang, mengangkat kakinya menjejak pada jendela.

Hal seperti ini bukanlah pertama kalinya untukku, sehingga aku tak aneh menghadapinya. Cowok cowok mabuk, anak anak cewek yang terpaksa nyetir pulang, atau malah tak pulang sampai pagi menunggu anak anak cowok sadar. Di mobil Kutu pun Haya yang menyetir mobil tadi, karena sang pemilik mobil tak bisa apa apa selain merebahkan kepalanya di pangkuan Ima yang juga teler, sementara oma tak bisa menyetir sama sekali. Kalau diingat ingat lagi, kehidupan sehari hari kami terlihat sangat berantakan. Orang orang pastilah mengira kami ini anak anak bengal yang tak benar sama sekali. Yah, kami memang bukan anak baik baik idaman para orang tua, tapi sebenarnya dalam diri kami juga ada kebenaran dan keinginan untuk menjadi orang yang pantas dibanggakan. Lagi pula hanya sebatas ini saja kelakuan buruk kami, kami tak lantas jadi penjahat lebih dari ini. Katakanlah ini hobby atau keisengan. Pada akhirnya kami tetap berusaha untuk hidup bahagia dan membahagiakan orang tua kami.

“Lu ngelamun mulu, Ga!”

Aku melirik Radit yang kini duduk bersandar di pintu memeluk lututnya yang ditekuk, “Lu tega yah maen rahasia rahasian ma kita.”

“Rahasia apa?” kataku panik. Takut Radit menyinggung masalah kehamilanku.

“Lu nggak enak hati karena kenal sama yang nyaris nyerempet lu itu kan?”

“Oh…” pekikku, reaksi spontan kelegaan. Bukan hal itu ternyata yang dimaksudnya.

“Kok malah oh?” Lyon yang menimpali, “Lu syok ketemu dia, atau gimana?”

“Kenapa gitu?”

“Dia cowok inceran lu?”

Aku tersenyum geli.

“Nggak ada yang lain apa? Jangan dia deh, biarpun dia cakep!” kata Radit seraya tersenyum sinis.

“Nggak usah dibahas lah!” kataku malas.

“Gua cuma peduli ama lu, nggak usah buang buang waktu.”

“Nggak kok.”

“Dia Gay lu tahu?”

Aku menatap Radit dengan marah, tak percaya apa yang diucapkannya.

“Gua kenal dia, temen temennya juga gua kenal. Mereka semua sama aja, setan di room 11, kalo nggak gigolo ya gay.”

“Udahlah lupain aja!”

“Lu yang mesti ngelupain!” Lyon menghentikan mobilnya, tanpa terasa kami sudah tiba di depan gang ke rumahku. “Mending sekarang lu tenangin diri lu, dan lupain si Rae itu.” Katanya keluar dari mobil, lalu berjalan ke pintu sampingku dan membukakannya untukku, “Hati hati jalannya, gua nggak nganter, nggak enak udah semalam ini. Kalo butuh bantuan lu hubungi gua, nggak usah segan ya!” lanjutnya mengusap usap poni dikeningku, “Gih sana!”

Aku melambaikan tanganku pada Radit yang melompat kedepan dan duduk dikursi yang tadi kududuki, lalu berbalik meninggalkan mereka setelah mengiyakan Lyon. Kepalaku terasa pusing lagi. Apa yang dikatakan Radit tadi meski pun aku ingin menyangkalnya tapi aku tahu itu benar. Sebelum ini aku sudah lebih dulu mendengarnya. Tapi seperti apapun keadaannya aku sama sekali tak lantas jadi membencinya bahkan il-feel pun tidak. Aku tetap memikirkannya, berharap dia akan memikirkanku juga suatu hari nanti.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel