Bab 6 Resah
Aku melirik jam di layar ponselku, jam sebelas dua puluh saat ini. Bukit bintang seperti biasa gelap tanpa cahaya lampu yang berlebihan, tentu saja gunanya adalah agar cahaya bintang tak terlihat redup. Aku duduk di atas sebuah batu yang cukup besar, menggenggam sebuah botol Aqua kecil berisi Vodka milik Kutu. Aku bukanlah seorang pecandu minuman beralkohol, tapi aku memang meminumnya. Seperti malam ini yang terasa sangat dingin hampir sedingin hatiku. Aku meminumnya untuk mencoba menghangatkannya.
“Ente tebleng nyi?” Ima duduk disampingku, dari suaranya terdengar jelas dia mabuk, “Aing udah denger da dari si Kucay, maneh ketemu sama si Rae?”
Aku hanya tersenyum menanggapinya.
“Lain dilabrak we sekalian, tong kagok carekan. Bilang ‘sedeng siah maneh, ek maehan aing?’ gitu.”
“Kalo dia jawab iya.” Kalimatku itu lebih berupa pernyataan dari pertanyaan.
Ima menatapku tajam, meski dalam kegelapan aku dapat melihat sorot matanya yang terkejut karena pernyataanku, seperti dia tiba tiba sadar dari mabuknya. “Lu serius Ga?” akhirnya hanya itu yang diucapkannya. Sebelum dia tertawa ngakak sambil berlari menuju anak anak lain, membuktikan bahwa dia sama sekali belum sadar.
Setelah kejadian ketahuannya perasaanku oleh Rae aku memaksakan diri untuk tidak mengungkit apalagi menceritakan lagi hal ini. Jika pada akhirnya Ima, Haya dan Sendy tahu siapa Rae, itu karena Eii yang menceritakannya. Tapi sejauh apa hal ini menjadi permasalahanku bahkan Eii pun tak tahu. Mereka hanya tahu sebatas bahwa Rae adalah ambisi terbesarku.
Mereka tak mengerti bahwa Rae adalah satu satunya yang menarik hatiku, tak tahu bahwa Rae adalah mimpi indah dan buruk bagiku, tak tahu bahwa Rae adalah penyemangat dan penghancur hidupku. Mereka tak tahu bahwa Rae adalah duri dalam dagingku, yang membuatku seperti mayat hidup yang meski pun bisa berdiri kokoh tapi kebas pada segala hal. Andai saja aku tak pernah melahirkan seorang putra, mungkin saja aku akan benar benar tak punya hati nurani, dan kehilangan semua kebenaran.
“Pada blunder gini gimana kita balik ntar?” Eii juga duduk disampiku, sepertinya Lyon menceritakan kejadian tadi pada semuanya, “Kita disini pada seneng seneng kenapa lu malah ketiban duka sih?”
Aku menggeleng, meneguk lagi isi botol ditanganku.
“Lu jangan malah ikutan sableng lah, cadangan supir malem ini kan Cuma lu.”
“Tenang, gua waras kok.” Kataku, lalu minum lagi.
“Beneran lu tadi diserempet Rae?”
“Gua bisa ngerti kalo si Kucay cerita kejadian tadi, tapi kok kalian pada tahu yang nabrak tu orang?”
“Dikasih tau si Radit, dia ternyata anak room 11.”
“Radit kenal?”
Eii mengangguk, “Dia mah selalu kenal sama semua, tu anak suka ikutan kopdar di Bandung 11 dan kenalan sama si raja tega itu.”
Bandung ternyata sempit. Ada saja tali penghubung dari satu orang ke orang lain, meskipun sangat tipis sekali pun. Andai tadi aku sedang dengan Radit, kira kira akan seprti apa kejadiannya? Aku sama sekali tak bisa berhenti berpikir. Sejak tadi dalam pikiranku terus saja bertanya tanya kenapa sampai seprti ini kejadiannya. Apa Rae benar benar punya pikiran untuk mencelakakanku? Sebenarnya apa salah dan dosaku dimatanya sampai sampai aku diperlakukan tidak adil seperti ini?
Aku merasa seperti semut saja. Yang bisa dibantai dengan mudah hanya karena sangat menyukai gula. Padahal belum tentu juga semut itu berniat memiliki gula yang dibauinya betapapun menginginkannya. Aku pernah berjanji dalam hatiku, aku tak akan meminta untuk memilikinya kecuali pada Tuhan. Dan sampai saat ini pun aku masih memegang janji itu. Aku bahkan tak pernah mendekatinya. Tapi kenapa dia menilai aku sebagai pengganggu hidup damainya?
“Lu tuh merana banget ya! Satu masalah belum kelar udah dateng lagi masalah yang lain.” Eii meraih botol ditanganku, “Hebat banget sih lu, gudang permasalahan.”
“Sebenernya masalah gua satu aja sih, nggak pernah lepas dari masalah.”
“Semua orang juga gitu.”
Aku mengangguk, “Tapi yang salah di gua, gua udah numpahin seluruh cinta pertama gua sama tu orang, dan numpahin cinta terakhir gua buat anak cowok dirumah nyokap gua.”
“Trus lu mau gimana?”
“Gua belum tau, dalam otak gua dipenuhi dengan gimana cara biar bisa dapetin anak gua.”
“Married.” Cetus Eii.
“Lu pikir gua bisa?”
“Kenapa nggak, lu cantik, pinter, menarik.”
“Tapi hati gua kebas.”
“Maksud lu?”
“Gua sama sekali nggak berniat ngejalanin pernikahan, kecuali sama dia.”
“Tebleng lu!”
“Karena gua nggak mau jadi istri yang mikirin cowok yang bukan laki gua.”
“Jadi kalo nggak dapet si Rae, lu mau jadi perawan tua , gitu?”
“Kalo harusnya gitu ya gimana lagi.”
“Edan lu ya!”
“Gua udah mikir lama, dengan ngelihat keadaan gua yang nggak pernah jatuh cinta sama cowok cowok yang gua pacarin selama ini. Dan dari pengalaman itu gua tahu hal itu nggak ngenakin. Lagi pula haram hukumnya sebuah perkawinan yang ngebohongin salah satu pihaknya.”
“Haram lu bilang, emang kayak ginian halal heh?” Eii mengacungkan botol ditangannya.
“Seenggaknya gua nggak mau jadi penzina seumur hidup gua.”
“Maksud lu?”
“Zina jatuhnya kalo lu ngelayanin suami lu tapi mikirin cowok lain.”
“Au ah, gua pusing. Pikiran lu tuh ribetnya bukan maen. Pantes aja lu kagak pernah damai, masalah lu cari sendiri sih.”
“Rumit buat lu, baku buat gua. Kayak ginilah gua, mau gimana lagi?”
“Seenggaknya lu nikmati aja hidup lu.” Eii berdiri dan menyerahkan kembali botol minumku, “Lu butuh dikit gele deh kayaknya.”
“Ogah, gua udah laper.” Aku ikut berdiri bersamanya, “Hei, cabut yu! Gua udah laper lagi nih!” kataku pada oma yang duduk bersama yang lain dibukit paling atas. Setelah ini kami akan menuju Punclut untuk makan tengah malam.
