Bab 4 Tragedy
Dago Plaza seperti biasanya ramai pengunjung. Lyon sampai kesulitan mendapat tempat parkir. Saat akhirnya bisa mendapatkan tempat, Yaris jingga milik Kutu, berada jauh dari tempat kami. Aku geli melihat mobil milik Kutu itu yang tampak mencolok diantara deretan mobil lain, meski pemiliknya super macho dengan tubuh tinggi besar dan wajah keras serta sedikit sangar, tapi warna kesukaannya sangat Jingga. Kutu pernah bilang padaku, penampilan tak selalu sama dengan hati. Namanya aslinya sendiri sebenarnya Reihan, aku tak pernah tahu alasannya di panggil Kutu. Mungkin julukan sejak lama, seperti Lyon yang juga biasa dijuluki Kucay. Bagaimana pun aku adalah orang yang terakhir bergabung dengan komunitas. Room 7 sendiri dihuni oleh lebih dari 50 orang masih eksis. Tapi aku tak kenal semuanya kecuali 27 penghuni seangkatanku yang beberapa kali aku temui di acara KopDar. Dan dari ke 27 orang itu hanya sebelas orang yang akrab denganku termasuk oma Inyong yang jadi leluhur dan Eii yang membawaku ke room pertama kali, dua orang lagi adalah Ojan dan Sayur. Dua orang itu sepertinya tak bisa hadir hari ini untuk malam mingguan bersama kami.
“Ga, tolong tanya si Ima mereka dimana?” kata Lyon saat kami menunggu pintu lift terbuka.
Tanpa banyak bicara aku merogoh tasku mencari ponsel yang selalu ku taruh di saku dalam tas. Aku mulai agak panik saat tak menemukan benda yang kucari, maka dengan buru buru aku merogoh keseluruh isi tas dan memang tak ada di dalam tas.
“Hape gua kayaknya ketinggalan di mobil lu deh.” Kataku pada Lyon.
“Udah sana Cay, temenin cari dulu. Biar kita yang cari anak anak.” Kata oma, “Ntar kita kasih tahu kita dimana.”
“Kayaknya lu punya penyakit lupa yang kronis ya?” kata Lyon sinis, tapi setelahnya dia tersenyum menandakan tak ada rasa benci dalam sindirannya.
“Udah tahu nanya.”
“By the way, tiga bulan terakhir lu kok ngilang sih? Ujug ujug sekarang nongol lagi.”
“Mau tau aja ah, lu. Gua juga kan butuh hiburan and liburan.”
“Maksudnya.”
“Ya ada masa masanya lah, nggak mesti melulu kan segala sesuatu itu.”
Lyon hanya bergidik tak acuh. Kecuali Eii dan oma tak ada yang tahu pasti tentang kehamilanku, dan dua bulan menjelang hari kelahiran bayiku, aku menjauh dari komunitas. Hanya pada Eii aku menceritakan A sampai Z permasalahanku. Juga tentang kehamilanku dan keadaanku setelah melahirkan dimana bayiku sekarang ini bersama ibuku sebagai adikku. Sementara pada oma aku hanya memberi tahunya aku punya bayi di luar pernikahan dan memintanya menyimpan hal ini sebagai rahasia kami. Lalu bunda – ibunya oma juga mama, kakaknya bunda, hanya tahu aku punya bayi – karena aku pernah berkunjung saat menjelang waktu kelahiran – dan tak pernah berkata atau pun bertanya apa pun.
Aku begitu bersyukur, karena seburuk buruknya kelakuanku, Tuhan masih berbaik hati padaku dan menyembunyikan aibku ini serapat mungkin. Meski selama 6 bulan masa kehamilan aku masih bersama sama dengan teman temanku, mereka sama sekali tak menyadari keadaanku yang sebenarnya. Bahkan setelah aku melahirkan, tak seorang pun yang mengomentari adanya perubahan padaku. Mereka masih tetap menganggapku seperti aku yang pertama kali mereka temui.
“Tidiiiiiiiiid!” aku terperanjat oleh bunyi klakson yang ditujukan padaku, tangan Lyon kurasakan melingkar dipinggangku dan dengan segera menarikku. Sebuah Jazz biru hampir saja menyerempetku.
“Kampret!” maki Lyon, “Ini tempat parkir woi! Sedeng lu, jalanin kayak gitu.”
Masih dalam keadaan syok aku menatap plat mobil yang hampir saja membuatku celaka itu. Aku mengenalnya dengan pasti. Selama empat tahun kuliah di Bali, setiap akan kembali ke Bali aku menungguinya di depan rumahnya hingga mobil itu keluar dari sarangnya. Demi bisa sekilas saja melihat wajah pemiliknya. Mobil yang tadi dilihat Ima saat dia menuju Haznu. Milik seorang pria yang membuatku gila selama hampir delapan tahun karena rasa yang tak bisa terungkapkan. Rae.
“Lu nggak apa apa?” Lyon tampak khawatir, aku dengan segera mengangguk sebagai ganti kata ‘aku tak apa apa’. “Siapa sih mereka, pada tebleng ya?”
“Hei, kalian nggak kenapa kenapa kan?” seorang pria yang wajahnya mengingatkanku pada sosok Gu Jun Pyo dalam film Boys Before Flower, keluar dari Jazz itu dan berlari menghampiriku.
“Enak aja lu bilang nggak apa apa! Yang nyupir sedeng ya, mana dia?” Lyon tampak sangat marah.
“Udah lah Yon, gua cuma kaget doang.”
“Nggak bisa dong Ga, andai gua nggak sempet nolong lu gimana coba?”
“Tapi sempet kan? Udah lah!”
Seluruh penumpang Jazz itu lalu turun menyusul kawannya, semuanya ada empat orang. Tapi sepertinya pintu pengemudi malah belum terbuka, dan malah terus saja memarkirkan mobilnya. Mengambil tempat, tepat disebelah mobil Lyon. Aku rasa sebelum aku menyesal aku harus mengajak Lyon pergi dari tempat ini.
“Sorry ya, teh, sorry banget! beneran nggak apa apa?” tanya si Gu Jun Pyo lagi, sementara ketiga temannya hanya menatapku seolah aku adalah suatu keanehan.
“Gua nggak apa apa.” Kataku menggamit tangan Lyon, “Udahlah!”
“Ga?”
“Gua nggak apa apa, jangan rusak suasana anak anak malem ini!” aku sedikit membentak pada Lyon yang melihatku dengan mimik kebingungan.
“Eh bilangin ma temen lu yang nyetir tuh, jangan seenaknya!” Lyon segera berpaling dariku, dan berteriak marah tanpa bisa kucegah, aku semakin kuat menarik tangannya mengejar lift yang terbuka.
Saat pintu Lift tertutup aku melihat Rae yang berdiri disamping mobilnya. Keempat temannya mengelingi, dan tampaknya menanyakan keadaannya. Sesaat aku dengar nada nada tinggi yang terlontar untuknya. Aku jadi berfikir mungkin saja kejadian tadi memang disengaja olehnya saat melihatku.
Tahun lalu, aku pernah mendapatkan surat ancaman tanpa nama yang isinya adalah peringatan untuk tidak pernah mencoba mengusik hidup Rae atau pun sekedar muncul dihapannya atau aku akan celaka nantinya. Saat itu aku begitu syok karena selama aku menjadi pengagumnya aku hanya melakukannya dengan diam diam. Aku sendiri menyesal Rae tahu isi hatiku dan berharap hal itu tak pernah terjadi. Dan berharap seandainya Rae tahu, aku tak pernah bermaksud untuk mengusiknya. Awalnya aku hanya berpikir ingin membagi cerita cintaku ini dengan seseorang yang mungkin bisa mengerti aku. Maka aku bercerita tentang kegalauanku sejak aku merasa jatuh cinta, kepada sahabat masa kecilku. Tapi entah dengan maksud apa orang itu malah menceritakan secara langsung isi hatiku pada Rae. Sahabatku menghianatiku dan membuatku merasa dibenci oleh Rae, selamanya. Tapi sampai saat ini, setelah tujuh tahun hal itu terjadi aku tak pernah bisa menjelaskan apapun padanya. Aku tak punya keberanian sama sekali bahkan hanya untuk sekedar menyapanya. Dan sekarang aku malah berfikir Rae sepertinya ingin sekali membunuhku.
