Bab 3 Hasnu
Aku baru saja selesai kuliah. Jam digital di layar ponselku menunjukan jam 6:50 pm. Karena aku mahasiwa pindahan, jadwal kuliahku jadi agak sedikit berantakan. Aku masih harus ikut beberapa mata kuliah yang ternyata di kampus baruku ini adanya di semester semester awal. Sehingga akhirnya aku ikut kuliah di tiga kelas yang berbeda, kelas untuk tahun pertama, kedua dan ketiga sekaligus. Tidak terlalu sulit memang, hanya sedikit meropatkan karena bentrokan bentrokan jadwal yang membuatku kadang harus ikut kuliah di kelas karyawan juga. Beruntung, aku tipikal orang yang paling menikmati saat saat sibuk.
Aku mencegat angkot tujuan Dago. Malam ini aku ada janji bertemu teman sejak SMP. Teman baikku yang jadi satu satunya tempatku mengadu segala masalah yang menimpaku. Seperti biasanya Dago tak pernah sepi, selalu ramai oleh orang orang yang mencari kesenangan, refreshing di akhir pekan, dan tentu saja para penjual jajanan khas kota Bandung. Tepat di depan rumah sakit St. Boromeus aku menghentikan angkot yang kutumpangi, lalu berjalan masuk jalan kecil menuju Haznu – singkatan dari nama jalan Hasanudin yang pada akhirnya lebih terkenal dari pada nama aslinya sendiri karena lebih mudah disebutkan, sementara hurup ‘Z’ menggantikan huruf ‘S’ untuk menambahkan kesan keren, tempat biasa aku menghabiskan waktu bersama teman teman Room Bandung 7 – orang orang komunitas pengguna layanan Chatting.
“Oma!” kataku mengagetkan oma Inyong yang sedang sibuk membersihkan sampah guguran daun didepan kedainya.
“His, bikin kaget aja!” katanya mengusap dada. Sepertinya aku sukses membuatnya sport jantung.
Oma adalah tetua bagi kami semua para komunitas. Meski dia sendiri bukan lagi jadi penghuni tetap room mana pun, tapi dialah angkatan pertama di room 7. Dia juga pemilik tempat yang jadi tongkrongan tetap kami ini, pemilik kedai aneka sajian mie yang omset perharinya bisa diatas 500 porsi dengan jadwal buka 18 jam perhari. Orang yang sangat bijaksana menghadapi adik adik angkatannya, mau mendengar curhatan tanpa pernah menggurui, dan sama sekali tak pernah men-judge kesalahan. Karena itulah dia dipanggil oma, dan bukan karena usianya karena dia baru saja menginjak tahun ketiga puluhnya tahun ini.
“Sama siapa?” tanya oma, kembali melanjutkan pekerjaannya yang tinggal sedikit lagi.
“Sendirian.” Aku duduk di belakang lemari etalase rokok oma, “Si Eii udah dateng belom?”
Oma menggeleng, “Janjian ya, udah di SMS belum?”
“Tadi waktu baru jalan dari kampus, katanya sih baru di perempatan Jakarta sana.” Jelasku, “Oma sebungkus ya, kas bon!” pintaku, seraya mengacungkan rokok yang kuraih dari dalam etalase. Meski aku bilang kas bon aku tak pernah berutang. Saat akan pergi nanti aku baru membayar dagangan yang kuambil, itu yang aku maksud dengan kasbon.
“Koreknya masih di box yang dibelakang lu tuh.” Oma menunjuk sebuah kardus besar didekat kakiku, “Belum sempet beres beres nih.” Oma menyudahi pekerjaannya.
“Nggak, gua bawa korek sendiri kok.” Kataku mengacungkan zippo papa yang kumiliki sejak pertama aku merokok – aku mendapatkanny saat membereskan koleksi barang tua papa.
Oma kemudian duduk disampingku, “Paling sekarang udah nyampe Dago, bentaran lagi lah.”
“Ng…hm!” maksudku mengiyakan. Karena mulutku sibuk menyalakan rokok aku tak bisa bilang iya padanya, “Rada sepi ya oma?” kataku, asap putih keluar dari mulutku saat aku bicara.
“Anak anak SMA baru pada bubaran.”
“Terus anak room?”
“Kan katanya nanti jam delapanan.”
“Mau pada kesini ya?”
“Loh, kirain tau?” tanyanya, aku menggeleng, “Pantesan oma aneh kamu datengnya subuh amat, acara sendiri ternyata.”
“Berarti malem ini kita mau jalan nih?”
“Si Ima tuh pengen karokean.”
“Wah asik nih, oma ikut?”
Oma mengangguk, “Mumpung belum ada istri, jalan lah.”
“Aih oma, kapan jadinya? Pengen ya ikut seserahan.”
“Oh kudu, ntar dikabari.”
Aku mengiyakan. Bulan lalu aku dengar kabar bahwa oma akan segera menikah. Tapi aku baru dengar dari oma sendiri hari ini. Senang rasanya jika ada pernikahan. Tapi ada rasa duka juga karena merasa hal itu jauh sekali untukku. Aku punya alasan sendiri untuk menjauhi pikiran tentang pernikahan. Tapi bukan berarti aku tak mendambakan akan menjalaninya. Hanya saja aku punya ketakutan sendiri karena hal itu, 2 jenis alasan yang berbeda dan saling mendukung.
“Aku datang!” Eii berdiri di samping warung roda, “Macet ih malem mingguan.”
“Alah kayak nggak tahu aja.” Cibir oma.
“Iya, tapi aku kan tetep we bête.” Eii duduk di sampingku, “Eh aku ditelepon ceu Ima, katanya mau pada kesini juga loh.”
“Udah tau kali!” kataku tak acuh, “Maneh mah lama ah, bête! Laper nih.”
“Hayu atuh kita ngabaso dulu!”
“Iya gih, karunya nih mahasiswa, yang kuliah dari pagi.” Kata oma.
Aku dan Eii masuk ke kedai bakso. Seperti biasa memilih kursi pojok dalam yang jadi tempat paling PW karena jauh dari meja meja lainnya dan yang paling lebar. Meja pavorit kami yang biasanya ngobrol kesana kesini, tertawa tawa membuat gaduh suasana. Tapi itulah kami, para penghuni room 7 yang dijuluki Komunitas Tebleng oleh penghuni room lain.
“Bunda, yamin 2 yah? Kayak biasa.” Pinta Eii, “Sok atuh, yey mau ngomong apa ke si eikeu?”
“Tulungan lah! Gua kagak tahan ceu.” Aku menyalakan lagi batang rokok baru.
“Maksudna apa ini teh?”
“Gua gila lama lama kalo gini terus. Kagak sanggup euy pisah ma budak, inget terus, nyeri hate. Mana si ibu dakwah wae!”
Eii mendesah, “Ya terus mau gimana? Gua kan udah pernah tanya, sanggup gitu lu milih jalan kayak gini? Nah lu sendiri bilangnya sanggup. Lagian tu anak ada di nyokap lu sendiri bukan orang lain. Takut apa coba?”
“Gua takut lupa posisi gua, takut ikatan hati jadi ilang sama sekali.” Suaraku parau, aku mulai sulit menahan tangis.
“Di enggak enggak juga dia anak lu, suatu saat dia pasti akan balik lagi sama lu.”
“Tapi kadang gua lupa kalo gua udah jadi ibu.”
“Itu perasaan lu aja, karena lu jauh dari dia makanya lu jadi sensitif kayak gini.”
Aku masih ingin menyela, tapi bunda keburu datang membawakan pesanan kami. Seperti biasa bunda ramah dan baik hati. Dengan penuh perhatian menanyakan kabar kami masing masing dan bertanya apa kegiatan kami hari ini.
“Oh iya sok atuh makan dulu.” Katanya setelah selesai wawancara, “Ini si ibu muda, kurangin atuh rokokna, kasihan si adenya.”
“Iya nih bun, nggak pernah nurut kalo disuruh.” Sela Eii, lalu bunda meninggalkan kami yang kemudian makan dengan tenang.
Sementara aku dan Eii makan, aku mendengar kedatangan seseorang di depan warung roda. Ribut bukan buatan. Pertanda yang baru saja tiba adalah Haya, anak paling berisik di komunitas kami. Suaranya yang tinggi melengking dan cara bicaranya yang seperti sedang dikejar kejar itulah ciri khasnya. Seorang gadis cantik dengan kulit putih dan mata agak sipit, anak orang kaya yang ramah dan baik hati.
“Ga, lu udah datang juga ya.” Ima memburu masuk dan duduk disebelahku, ternyata Haya datang bersama Ima dan Sendy. Aku bergegas membersihkan air mata yang sempat membasahi pipiku. “Eh, ceuceu tadi lihat Jazz biru itu loh. Parkir tuh di depan sana.”
“Iya, gitu ceu?” aku berusaha tak terdengar parau, agar tak dicurigai habis menangis “Liat yang punyanya juga nggak?”
“Eik tinta pake softlens cin, jadi nggak yakin. Tapi si Sendy yang liat.”
“Ada tuh lagi pada kumpul banyakan di counter depan.” Sendy menambahkan, “Lu nggak liat pas dateng tadi emang?”
Aku menggeleng, “Sutralah, ngapain juga ketang, nggak ngaruh buu…”
“Kali aja sekarang udah mau nyamperin.” Haya menggoda, “Lamun si kami mah dari dulu dulu kali udah ngelabrak.”
“Iya jelas da didinya mah bulldozer!” oma bergabung di meja kami, “Si euceu itu mah rada kalem tah hiji.”
“Kalem dari Hongkong!” kataku, “Pada makan dulu nggak?” Ima, Sendy dan Raya menggeleng sama sama. “Bentar atuhnya?”
“Kalem we, Radit, Kutu sama Kucay juga belum pada kesini.”
“Kata siapa?” cetus Lyon, ternyata ketiganya telah tiba, Radit dan Kutu kulihat melambaikan tangan dari mobil Kutu.
“Alah, gimana atuh? Si gue mah makannya juga lama.” Kataku memelas.
“Ditungguin lah.” Kata Lyon sambil menarik kursi, bergabung denganku, “Atau nggak yang kagak pada makan pergi duluan aja pake mobil si Kutu, tar sisanya sama gua.”
“Nah gitu ajalah, hayu barudak kita lets go!” Ima yang berdiri duluan mengajak Haya dan Sendy, “Oma nanti aja ya, biar si Kucay ini nggak ngerasa paling cakep sendirian.” Lanjutnya menunjuk Lyon, oma Inyong mengiyakan.
“Dapla kan, Ma?” tanya Lyon, Ima mengacungkan jempolnya.
