Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 Sagara POV

Aku menatap ibuku. Wajahnya terlihat cantik meski usia tak dapat menyembunyikan kerutan halus di sekitar matanya. Kulit putihnya kini tampak pucat dimakan usia, dan rambut putihnya yang dengan rapi diwarnai pacar Arab kini makin bertambah banyak. Usianya kini telah menjelang 50, tapi kesibukannya masih seperti dirinya di awal usia 30. Dia masih aktif menjalankan tugasnya sebagai wanita karir dan ibu rumah tangga yang baik.

Tentu aku menyayanginya dengan sangat. Hanya saja aku tak tahu dengan cara seperti aku menunjukan rasa sayangku. Aku selalu saja tampak salah dimatanya, juga di mata papaku. Aku tak cukup baik sebagai seorang anak bagi mereka. Karena ternyata kehendakku tak pernah benar menurut pandangan mereka. Dan harapan mereka pun selalu saja menjadi siksaan untukku, sebenar apapun bagi mereka, selalu terasa berat untukku.

Pada akhirnya aku menjadi pembangkang setelah lelah menuruti perintah mereka. Dan terjebak dalam penyesalan saat Tuhan menegurku dengan cobaan yang tak mampu ku tanggung sendirian. Aku terpuruk, seorang bayi hidup dalam rahimku, tanpa seorang suami disampingku. Aku hamil diluar nikah, dan tak akan pernah ada pertanggung jawaban dari seseorang yang seharusnya. Aku sakit hati karena ulahku sendiri.

Hal yang lebih menyakitkan. Kedua orang baik hati yang yang selalu menyayangiku sejak sebelum aku lahir ke dunia ini hingga sekarang itu, mereka dengan lapang dada menerima keadaanku. Aku tak pernah mendapat hukuman dari mereka, bahkan mereka tak memarahi apalagi sampai menganiyayaku. Mereka justru bersimpati pada nasib burukku, dan dengan sepenuh hati menyelematkanku dari rasa putus asa, juga dari cemooh orang orang disekitar dan rasa malu. Begitu besar rasa sayang mereka padaku padahal aku telah begitu melukai dan mengecewakan mereka. Dan memang bukankah seperti itulah kasih sayang orang tua pada anaknya? Bagiku, justru cinta mereka itulah hukuman terberat yang harus aku tanggung. Cinta tanpa syarat dan tanpa batas itulah yang menyadarkanku betapa aku berhutang pada mereka, hutang kasih sayang sepanjang masa yang tak akan pernah bisa kubayar.

Tatapanku lalu beralih pada bayi mungil di pangkuan ibuku. Dia tampak begitu damai dalam pelukan hangat ibu yang dulu pernah memelukku. Wajah tampannya yang tenang tanpa beban. Hidungnya bangir. Mulutnya kecil proporsional. Kulitnya putih bersih. Dan garis rahangnya halus. Dia begitu tampan dengan rambut hitam lebat yang melengkapi ketampananya. Hanya satu saja yang kusayangkan, matanya yang sipit khas wajah oriental yang biasanya dimiliki warga keturunan China. Membuatnya begitu jelas terlihat bahwa dirinya berbeda dengan keluargaku yang berwajah khas orang Sunda asli.

Dialah Rafelo Wirawan, putraku. Yang kulahirkan tepat saat usiaku mencapai 22 tahun. Wajah orientalnya itu dia warisi dari ayahnya yang seorang warga Tiong Hoa pribumi. Pria itu tak akan pernah kubiarkan masuk lagi ke dalam kehidupanku, meski secara fakta dirinya jadi bagian dari diri putraku. yang kini demi menyelamatkan kehidupan kami semua terutama aku dan putraku, malaikat kecilku itu harus kuakui dimata publik sebagai adikku. Putra ibuku.

“Jadi, kamu akan pulang hari ini?” tanya ibuku, aku mengangguk.

Sejak ibuku tahu aku hamil, ibu mengontrakan sebuah rumah untukku yang tak begitu jauh dari rumahku sehingga ibu bisa tetap mengawasi keadaanku tapi tak cukup dekat juga sehingga tak ada yang tahu keadaanku yang sebenarnya. Ibuku juga mengatur agar aku membias kuliahku di Bali dan melanjutkan di Bandung. Dengan alasan agar tak terlalu jauh dari kampusku, aku bisa tinggal sendirian tanpa kecurigaan apapun dari orang orang disekitarku. Sementara ibuku, menjalani harinya dengan berpura pura hamil sampai saatnya aku melahirkan lalu mengaku bahwa

Sebesar itulah rasa sayang ibu padaku. Sehingga dengan lapang dada ibu menerima kehadiran putraku yang jelas jelas menambah beban tanggung jawabnya. Dan karena besarnya cinta ibu padaku juga, ibu bisa mencintai putraku dengan sepenuh hati sebagai cucunya di mataku dan sebagai putranya dimata orang orang disekitarku, bahkan didepan keluarga besarku kecuali kakak dan kakak iparku yang membantu ibuku menyelamatkan kehormatanku dimata warga masyarakat. Sungguh cinta yang tanpa pamrih yang membuatku tahu betapa kurang ajarnya aku karena pernah merasa jemu dengan harapan harapannya padaku. Kini aku baru merasa menyesal dengan sikapku pada ibu dan papa.

“Gimana kuliah kamu?” tanya ibu lagi.

“Lancar. Semoga kedepannya nggak ada masalah.”

Ibu mengguk, “Semoga bisa cepat selesai. Setelah itu dapat kerjaan.”

“Amiin!”

“Satu lagi yang ibu harapkan.” Ibu menatapku penuh keragu raguan, “Jangan lantas merasa trauma dengan kejadian ini. Lanjutkan hidup kamu dengan benar, dan saat ada yang berusaha mendekatimu jangan tutup hati. Ibu yakin pasti masih ada pria baik yang akan mencintai kamu apa adanya dan menerima semua keadaan kamu suatu hari nanti. Karena Tuhan tidak buta, tidak tuli, tidak bodoh. Tuhan maha Adil. Tahu apa yang terbaik bagi kita semua. Perlihatkan kesungguhanmu dalam menjalani hari harimu selanjutnya. Tunjukan betapa kamu memohon pertolongannya. Ucapakan selalu dzikir dan doa doa untuk kebaikan hidupmu.”

Aku mengiyakan. Meski setelah kejadian ini aku tak lagi sepenuhnya mengharapkan sebuah kehidupan rumah tangga. Tapi seperti kata ibu, aku tak boleh menyerah begitu saja pada kehidupan ini. Aku malah harus menjadikan ini sebagai cambukan yang memicu agar aku terus menjalani hidup dengan semakin bijaksana. Aku harus bertahan demi aku, ibu dan putraku. Aku harus mandiri dan mapan. Aku harus terus hidup agar bisa merasakan manisnya rasa tidak menyerah dan putus asa. Karena bersedih dan terpuruk sama sekali tak berguna. Hanya menambah masalah. Hanya membuat gelisah.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel