Bab 12 Pesta (1)
Seperti janjinya kemarin, Lyon menjemputku sore ini – sejujurnya, Lyon malah datang lebih dulu karena aku pulang terlambat dari kampus. Karena ternyata banyak diantara kami, termasuk aku, yang tidak bisa bolos dari kuliah, kami sepakat – atas persetujuan oma tentu saja – untuk datang pada resepsinya saja pada malam hari. Sesuai perjanjian, aku dan kawan kawanku yang akan ikut ke pernikahan oma Inyong, akan berangkat dari kost Ima. Khusus untukku harus datang sejak sore karena aku meminta Ima sedikit memoles wajahku.
Aku tak biasa berdandan. Kecuali sedikit bedak, lip gloss dan eye liner, tak pernah kububuhkan kelengkapan make up diwajahku sendiri. Dan untuk acara formil seperti ini, aku sama sekali tak tahu harus melakukan apa pada wajahku. Aku bahkan bingung memilih kostum dan sepatu yang cocok semalaman.
“Oh, shit!” kataku kesal, Lyon menatapku heran.
Kami hampir tiba dirumah Ima. Tapi aku melupakan point terpenting.
“Apa yang kelupaan?” Lyon tahu penyakit lupaku memang kronis.
“Tas baju.” Aku nyengir, wajahku pasti terlihat jelek sekali, “Bisa kita balik lagi?”
Aku terlalu terburu buru sehingga lupa bahwa aku menyiapkan gaunku di tas terpisah karena tak ingin membuatnya kusut.
“Gampanglah, kita terus aja.” Kata Lyon tetap tenang, sementara aku panik.
“Gampang gimana?” kataku kesal.
“Ada Ima kan.”
“Tapi……”
“Udahlah, serahin dia aja. Waktu kita dikit nih.”
Saat tiba ditempat Ima, sang pemilik kamar sudah terlihat menawan dengan gaun pendek ungu pucatnya. Bagian punggungnya terbuka. Dan garis leher gaunnya jatuh hingga ke pinggang. Kurasa aku tak akan mau berdekatan dengannya. Atau aku akan mengasihani diriku karena kecantikannya.
Sementara di meja rias, aku melihat Haya yang tampak memukau dengan gaun satin peachnya yang berpotongan V neck. Memamerkan kulitnya yang putih merona, hampir sewarna gaunnya. Saat kulirik jam diatas meja aku jadi bertanya tanya, jam berapa mereka mulai berdandan, padahal sekarang belum sampai jam 7.
“Apa tema pesta pernikahan oma itu Barbie,?” hanya itu yang keluar dari mulutku saat Ima menarik tanganku dan mendudukanku disamping Haya. Aku terlalu kaget dengan penampilan mereka yang seperti akan datang diacara penyerahan Nobel. Aku jadi bersyukur karena lupa membawa gaun batikku.
“Duduk dan jangan banyak gerak!” kata Ima, terdengar jelas dia memerintahku dengan mutlak.
Entah berapa lama aku menghabiskan waktuku disini. Menjadi korban tak berdaya saat Ima memperlakukanku bagai Barbie percobaan. Dia berperan sebagai penata rias dan penata rambut. Terlihat jelas menikmati penderitaanku. Dia marah setiap kali aku bergerak kesal dan pegal, atau saat aku bertanya berapa lama lagi.
“Dandan itu kan mesti bener!” sengatnya galak, “Diem aja kenapa sih.”
Haya tertawa. Puas dengan ketidak sabaranku yang dibalas sengit oleh Ima. Sepertinya dia mengalaminya juga tadi.
“Oke.” Kata Ima puas lalu beranjak meninggalkanku, meraih sebuah kotak diatas tempat tidurnya dan mengambil isinya.
Aku mengenali gaun yang dipegang Ima. Gaun putih keperakan yang kucoba di butik Senin lalu. Sama sekali tak pernah menyangka Ima akan membelinya. Dan karena masih dalam kotak, Ima sendiri pasti belum memakainya. Aku yang mencobanya perdana.
“Baru ya?” kataku sedikit malu menanyakannya.
“Iya lah, sana pakai.”
“Tapi…”
“Banyak tapi deh dari tadi. Ayo cepet, si Kutu udah dateng tuh!”
Aku melihat Eii dan Sendy keluar dari mobil Jingga itu. Pemiliknya menyusul dibelakang. Aku baru sadar kalau hari ini tak ada Ninja merah milik Radit, tapi Blazer abunya yang parkir di depan mobil Lyon. Royal sekali hari ini.
Ima memelototiku karena bengong. Dengan tidak sabar melucuti bajuku dan membantuku mengenakan gaunnya. Baru kusadari ada perbedaan dengan gaun ini dan yang kemarin. Bagian belakangnya sudah tak sepanjang sebelumnya, sehingga aku tak terlihat seperti pengantin lagi. Tentu saja, pengantinnya malam ini kan bukan aku. Dan sepertinya Ima juga tak berniat memakainya saat menikah nanti. Terbukti dari dia yang tanpa beban menyuruhku mengenakannya.
Sekali lagi aku menatap bayanganku. Wajahku mengingatkanku pada Tifa Lockheart. Putih pucat bernuansa gold dan silver. Sama sekali tak seperti aku. Aku lalu teringat, sepatuku yang berwarna hitam, akan berbenturan dengan gaunku malam ini.
“Diatas meja ada kalung dan anting antingnya, kalo sepatunya masih ditempat tidur.” Ima menyalakan sebatang rokok sambil duduk di kursi yang tadi kududuki.
Pintu kamar terbuka. Eii dan Sendy masuk dan langsung menyerbuku. “Pangling ih!” kata Eii, seheboh biasanya.
Sepertinya konsep pesta oma memang Barbie. Kedua temanku yang baru datang pun bergaya seperti Haya dan Ima. Tampil dengan gaun berwarna pucat dan terbuka dimana mana. Tak ingin banyak berkomentar lagi, aku meraih kalung yang disebutkan Ima. Lalu mengenakan sepatu yang memang pasangan gaun yang kulihat dibutik kemarin.
Kami berangkat saat Radit memanggil keluar. Tepat jam 8.
Kali ini, Ima di mobil Radit tentu saja, katanya mereka akan menjemput Ojan dan Sayur yang menunggu di rumah Sayur. Sementara Haya dan Sendy bersama Eii di mobil Kutu. Lalu aku dengan Lyon. Aku sedikit terperanjat melihat Lyon. Baru kali ini aku melihatnya dalam balutan tuxedo formal. Rapi. Penampilan itu membuatku sedikit gugup.
