Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 11 With Lyonel Tarmadi

PVJ atau lengkapnya Paris Van Java, mungkin jadi hal yang paling diingat dari kota Bandung. Tentu saja mall itu jadi incaran para wisatawan, bahkan para penduduk lokal. Meski aku jarang mau kesana karena menurutku butuh dompet tebal untuk menjejakan kaki disana. Tentu saja, untuk makan tanpa rasa khawatir saja setidaknya perlu menyimpan uang seratus ribu perkepala.

Tapi oma sudah tahu tujuannya. Sepertinya dia sudah kemari sebelum ini. Karena oma dan Ima tak perlu berdiskusi sebelum dengan kompak masuk ke setiap butik. Aku hanya mengikuti dibelakang, dengan Lyon yang setia berjalan disampingku. Sepertinya dia heran karena aku sedikit kikuk berjalan di mall ini.

“Gua baru dua kali sama ini masuk sini.” Jelasku saat Lyon bertanya apa yang kupikirkan.

“Jangan becanda, masa lu serius sih!?”

“Bener kok, gua ngerasa nggak akan bertahan hidup kalo kesini.”

“Segitunya?”

“Habisnya, tempat ini cocoknya cuma buat warga menengah keatas. Bukan rakyat jelata macem gua.”

“Aneh aneh aja ni, pikirannya. Ya suka suka aja kali.”

Kali ini oma masuk kesebuah bridal shop. Aku tetap mengekor dibelakang. Entah berapa yang oma habiskan untuk semua belanjaannya ini. Tapi kenapa tidak? Pernikahan bahagia itu toh cuma sekali seumur hidup.

Seorang SPG menghampiriku. Karena aku dan Lyon terpisah dibelakang, gadis itu sepertinya mengira aku bukan bagian dari tamu yang telah disapanya sebelum aku datang. Atau mungkin dia memang sengaja pura pura tak tahu agar bisa menyapa Lyon. Buktinya, aku seolah diabaikan, sementara Lyon mendapat sambutan hangatnya. Aku lelah sekali berjalan disampingnya. Terlalu banyak yang tergila gila padanya, dan melihatku dengan tatapan tak senang. Berjalan sejajar dengannya seperti ini membuatku merasa seperti asbak kayu yang berdiri disamping vas kristal mahal. Sedikit menyedihkan.

“Ini pesanannya, silakan dilihat dulu!” kata seorang wanita yang aku pikir pemilik toko karena dia berpenampilan berbeda dengan SPG lainnya. Wanita itu menyerahkan sebuah tudung putih lengkap dengan tiaranya.

“Keren ih oma.” Kataku takjub.

“Puji Ima dong, dia yang gambarin.” Kata oma penuh ucapan terima kasih.

“Ima gua mau!”

“Tentuin aja dulu tanggalnya!” kata Ima sombong.

“Tanggal apaan?”

“Ya kawin lah, emang wafat pake ginian!”

“Lupain deh, jauh banget sih.”

“Kenapa sih, gua kan beneran ngomong gitu.”

“Gua juga beneran kok. Jangankan kawin…” aku malas melanjutkan perkataanku. Rasanya menyedihkan sekali.

“Kayak udah nggak ada lagi aja yang mau ama lu?” Ima menggodaku.

“Emang gitu kok.” kataku hampir berbisik, “Udah ah, topik sensitif tau?”

Aku meninggalkan kawan kawanku yang masih asik mengagumi pesanan oma. Berkeliling butik melihat gaun gaun yang terpajang dietalase lengkap dengan segala aksesorisnya. Ada satu yang menarik perhatianku. Sebuah gaun putih yang kurasa tingginya hanya sebatas lutut. Meski begitu bagian belakangnya menjuntai panjang hingga menyapu lantai. Aku suka sekali modelnya yang rumit, dengan bahu terbuka dan lengan panjang. Dililiti temali halus yang membuatnya tampak begitu keperakan. Sementara sepatu silvernya terbuat dari brukat yang sama dengan bagian dada.

Aku jadi berharap bisa memakainya.

Tapi pikiran itu segera aku tepiskan jauh jauh. Aku tak mungkin memilikinya. Toh untuk apa? Aku tak berniat menikah dalam waktu dekat ini.

“Ini silakan anda lihat dulu.” Wanita itu kembali melayani dengan sepenuh hati, tapi kali ini dia berhadapan dengan Lyon. Sebuah kotak beludru biru beralih ketangannya.

“Nih, liat dulu.” Lyon langsung saja menyerahkan kotak itu pada oma yang menatapnya heran, “Udah ah, kagak pake bengong. Cek tuh!”

Oma membuka kotaknya. Batu permata biru yang pertama kali tertangkap oleh mataku. Tapi saat kulihat baik baik, ternyata isinya adalah kalung. Sebuah liontin berbentuk setangkai mawar menghiasi rantainya yang putih mengkilat. Batu biru itu cantik berada tepat ditengah bunga.

“Apaan nih?” kata oma bingung.

“Gua bingung mau kasih hadiah apa buat oma, jadi buat oma putri aja ya?” Lyon menggaruk tengkuknya.

“Lu nggak perlu kayak gini lagi, Yon.” Muka oma bersemu malu dan haru.

“Alah, dikasih hadiah aja panggilnya Lyon, biasanya Juga Cay, Cay, Kucay.” Dengusnya lalu tersenyum semanis biasanya.

“Thanks!” oma memeluk Lyon yang meringis bingung. “Kasihin sendiri ya ntar!”

“Lyonel, gua married ntar dapet juga nggak?” Ima sedikit merayu, Radit yang jemu, mengibaskan tangannya dan menghindar, menghampiriku yang masih berdiri didekat gaun silver yang cantik itu.

“Nggak minta juga lu?” kata Radit sedikit menggodaku, aku menggeleng sedikit memberikan senyuman mengejek untuk menggodanya, “Gua kere sih, jadi si Ima mintanya ma si Kucay.” Lanjutnya, kali ini aku tertawa.

“Lu liat ini dari tadi?” tanya Radit lagi.

“Cantik ya, agak unik?”

“Minta cobain aja, dikasih kok pasti. Secara, transaksi kelas tinggi loh mereka tuh.”

“Nggak…” kalimatku terpotong, seorang SPG telah mendekatiku lebih dulu.

“Mari kesini!” katanya, aku menatap Radit yang sama bingungnya. Temanku itu lalu menunjuk Lyon yang tersenyum jahil.

“Udah Ga, coba aja!” kata Ima, “Siapa tahu cocok, kan bisa dibeli tuh!”

Ima sedeng. Buat apa?

“Kearah sini, mari silakan!” SPG itu menuntuku dengan ramah, tapi aku lihat dia sedikit terpaksa melakukannya. Sepertinya dia iri karena ingin mencoba gaun ditangannya juga.

Aku berdiri diruang dengan cermin tiga arah. Gadis itu telah meninggalkanku setelah menyampirkan gaun yang kukagumi tadi. Masih sedikit enggan, aku melepas bajuku, menggantinya dengan gaun putih silver itu.

Aku menatap diriku dalam cermin. Berharap akan melihat lagi aku yang seperti saat ini. Rasa perih menyerang hatiku lagi. Harapanku sia sia. Hanya akan jadi asa kosong selamanya. Aku menyeka air mataku tepat saat Ima masuk. Cewek itu membelalakan matanya dan tersenyum sementara tangannya mengacung menunjukan kedua jempolnya. Lalu tangan kirinya melambai lambai didepan lehernya, dengan mulut yang dibuat menganga.

“Apa sih maksud lu.” Kataku sedikit geer.

“Perfect.” Katanya sambil merogoh kedalam tasnya, “Almost, butuh sedikit sentuhan disini.” Ima mengacungkan sebuah jepit rambut cantik sebelum meraih rambutku.

Aku merasa sedikit kesakitan saat Ima menggenggam rambutku. Memintir dan menggulungnya, lalu menusuknya dengan jepitan yang tadi diacungkan didepanku. Dengan kedua tangannya, Ima lalu mengangkat wajahku menghadap cermin.

“Cocok banget jadi pengantin. Kapan nyusul oma?” katanya pasti.

Aku sedikit terperanjat melihat bayanganku sendiri. Mimpiku menjadi seorang pengantin tumbuh lagi. Entah aku memang cantik atau karena baju ini. Aku merasa jatuh cinta pada diriku sendiri yang ada di dalam cermin. Aku membalikan badanku saat Ima membuka tirai. Dan yang pertama kulihat adalah senyum Lyon yang bersembunyi dibalik sorot matanya yang baru aku kenal.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel